Terpopuler 24 Jam Terakhir
1
Langsung Pantau Persiapan, Menpora Dito Ingin Berikan Kado Terbaik buat Presiden Jokowi dari Olimpiade 2024 Paris
Olahraga
7 jam yang lalu
Langsung Pantau Persiapan, Menpora Dito Ingin Berikan Kado Terbaik buat Presiden Jokowi dari Olimpiade 2024 Paris
2
BPJPH Rilis Indonesia Global Halal Fashion, Targetkan Kejayaan di Pasar Dunia
Ekonomi
8 jam yang lalu
BPJPH Rilis Indonesia Global Halal Fashion, Targetkan Kejayaan di Pasar Dunia
3
Dengan Tema Mawar Hitam, Pameran Busana Migi Rihasalay Pukau Pengunjung Indonesia Fashion Week 2024
Umum
5 jam yang lalu
Dengan Tema Mawar Hitam, Pameran Busana Migi Rihasalay Pukau Pengunjung Indonesia Fashion Week 2024
4
Cinta Laura Tetap Produktif di Bulan Ramadan
Umum
6 jam yang lalu
Cinta Laura Tetap Produktif di Bulan Ramadan
5
Nova Arianto Panggil 36 Pemain untuk Seleksi Timnas U-16 Tahap Kedua
Olahraga
5 jam yang lalu
Nova Arianto Panggil 36 Pemain untuk Seleksi Timnas U-16 Tahap Kedua
6
Mahesa Jenar Terlecut Dukungan Panser Biru
Olahraga
4 jam yang lalu
Mahesa Jenar Terlecut Dukungan Panser Biru
Catatan 13 Tahun Tsunami

Cinta Terpendam Aceh-Turki

Cinta Terpendam Aceh-Turki
Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf (kanan) dan Wakil Perdana Menteri Turki, Fikri Isik (sebelah kanan Irwandi) saat Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh, Jumat (13/10/2017).
Rabu, 27 Desember 2017 09:05 WIB

Oleh Azwir Nazar

Saat gempa dan tsunami meluluhlantakkan Aceh pada Minggu pagi, 26 Desember 2004, saya sedang mandi di pantai Uleelheue, Banda Aceh. Wilayah pantai yang ramai dikunjungi warga kota Banda Aceh setiap harinya ini, nyaris hilang pascabencana. Hanya Masjid Baiturrahim di bibir pantai yang masih kokoh berdiri megah.

Dari pantai ini pula terdapat banyak peninggalan sejarah keajaiban dunia terbentangkan. Salah satunya, kapal PLTD apung berbobot 2.600 ton yang terseret gelombang tsunami dan sampai kini berada di kawasan Punge Blang Cut, Banda Aceh. Ini semua, tentu, menjadi bukti kekuasaan Allah Swt atas bencana yang memangsa lebih 200 ribu orang pada 26 Desember 2004 silam.

Di seluruh Aceh, peristiwa tsunami diperingati sebagai hari duka yang mendalam. Meski sudah 13 tahun, namun kejadian itu masih dan akan selalu diingat oleh para korban maupun warga Aceh dan Indonesia sebagai musibah terbesar di abad 21. Tsunami yang meluluhlantakkan Aceh tersebut meninggalkan banyak cerita duka dan nestapa. Tapi ada pula hikmah yang dirasakan masyarakat. Tsunami telah membuka nurani dunia yang terketuk pintu hatinya untuk membantu Aceh. Solidaritas seluruh dunia terbangun tanpa perintah, tak mengenal ras, suku, bahkan agama. Segala jenis orang dari beragam profesi ikut menyumbang untuk Aceh.

Damai Aceh pun tercipta setelah tsunami. Bangsa-bangsa di dunia hadir dengan berbagai bendera. Baik melalui NGO, relawan, maupun pemerintah negara. Para tokoh, selebriti dan pemimpin dunia silih berganti mengunjungi Aceh. Sebut saja, seperti Erdogan, Bill Clinton, Mursi, Jackie Chan hingga Cristiano Ronaldo. Tak ketinggalan aktor Paul Walker (Fast Furious) pernah pula menginjakkan kaki di bumi Iskandar Muda. Rehab rekom Aceh pun kebajiran dana triliunan rupiah. Badan Rehabilitasi dan Rekontruksi (BRR) Aceh-Nias dibentuk untuk mengkoordinasikan rehab rekom. Tak sedikit LSM dan lembaga donor yang langsung turun ke masyarakat untuk membantu di ke wilayah bencana.

Banyak berubah
Setelah 13 tahun tsunami, wajah Aceh sudah banyak berubah. Sisa-sisa tsunami hanya sedikit yang bisa ditemukan, terutama di Kutaradja. Tumpukan kayu, bangunan roboh, tenda pengungsian, sudah tak lagi ada. Banda Aceh juga sudah jadi kota bersih dan lebih teratur. Rumah bantuan lebih ratusan ribu unit berjejer di sepanjang pesisir pantai dan wilayah relokasi tsunami. Umumnya masyarakat memilih pulang kampung, sebab profesi mengharuskannya untuk mencari nafkah demi melangsungkan kehidupan. Walau sampai saat ini masih juga ada yang tidak kebagian rumah.

Salah satu rumah bantuan rumah paling bagus adalah dari Turki. Ini menjadi rahasia umum di Aceh. Palang Merah Turki malah membuat sebuah perkampungan baru di Desa Lampu’uk, Aceh Besar. Perkampungan yang menjadi primadona wisata sebelum tsunami ini rata dengan tanah terkena hempasan air bah. Lagi-lagi hanya Masjid Rahmatullah yang berdiri megah menjadi saksi sejarah.

Bila Anda pernah menonton film Hafalan Shalat Delisa karya Tere Liye, maka Masjid Rahmatullah adalah masjidnya Delisa. Masjid Rahmatullah dibangun dari dana penjualan sarang burung walet yang dimiliki Desa Lampu’uk yang terletak di pegunungan kapur. Sehingga seluruh masjid ini di cat putih, sebagaimana warna sarang walet. Di sisi belakang masjid masih ada bukti tiang yang roboh dan rusak, plus beberapa foto yang dipajang dalam Miracle Mosque Lampuuk.

Selain membangun rumah, community center Sultan Selim, Turkijuga berkomitmen dalam bidang pendidikan. Turki melalui Yayasan membangun sekolah bertaraf Internasional pertama di Aceh. Siswa siswinya banyak menjuarai berbagai olimpiade di berbagai negara. Kini para alumninya banyak yang melanjutkan kuliah di Turki. Selain dari beasiswa yayasan juga melalui beasiswa pemerintah (YTB) yang memiliki kuota hanya 40-50 orang pertahun seluruh Indonesia. Kini ada sekitar 100-san lebih putra putri Aceh kuliah S1, S2 dan S3 yang tersebar di berbagai kota di bumi Alfatih yang memesona.

Karakter orang Turki yang keras kepala, penidur pagi, dan ramah tak jauh beda seperti orang Aceh. Sehingga masa awal rehab-rekon Aceh, relawan Turki begitu membaur dengan para korban. Mereka juga memproduksi roti jumbo bernama Ekmek, lalu dibagikan untuk warga yang melintas sore hari di depan kantornya di kawasan Lueng Bata, Banda Aceh. Di Aceh juga ada dua Desa Turki, yaitu Gampong Bitai dan Gampong Emperum, Kecamatan Jaya Baru, Banda Aceh. Di Kompleks Teungku di Bitai ini tampak jelas jejak Turki di Aceh.

Aceh-Turki
Kisah cinta Aceh-Turki bukan isapan jempol. Selain perkampungan Turki yang masih tersisa di Darud Dunya, istilah Kutaradja pada masa Iskandar Muda (1607-1636). Banyak pula dokumen, arsip dan surat antara Kerajaan Ustmani dengan Kerajaan Aceh Darussalam. Saya pernah melihatnya tiga tahun lalu di kantor arsip Perdana Menteri di Istanbul. Ada lebih 73 metin (judul) manuskrip Aceh masih tersimpan di sana. Sejak 1565 dua kerajaan ini sudah menjalin kerja sama. Dukungan Utsmani terhadap kesultanan Aceh ditandai dengan pengiriman 500 pasukan dan Armada perang untuk menghalau serangan Portugis. Kapal-kapal Aceh yang sering diganggu penjajah Portugis malah diizinkan memakai bendera bintang bulan Turkisupaya aman di pelayaran dari perompak dan musuh.

Armada dan pasukan Turki yang dikirim pada masa Sultan Selim II (1524-1574) terdiri dari para prajurit tangguh, pembuat senjata, ahli bela diri dan juga insinyur. Mereka kemudian mengajarkan Aceh membuat meriam perunggu dan senjata seperti senapan putar bergagang yang telah diproduksi sendiri pada abad ke-17. Catatan sejarah menyebutkan ekspedisi itu dipimpin oleh Kurdoglu Hizir Reis yang kemudian mendapat gelar Sultan Aceh sebagai Gubernur (Wali) Nanggroe Aceh Darussalam.

Ekspedisi Turki Ustmani tersebut bukan saja mengkhawatirkan bagi Portugis kala itu, karena dianggap letak Aceh yang strategis dan akan menguasai perdagangan rempah-rempah, tapi juga menyebabkan berkembangnya sektor perdagangan, militer, budaya dan agama bagi kedua kerajaan. Rakyat Aceh pun membayar kapal Turki dengan mutiara dan berlian. Kisah Laksamana Malahayati juga menjadi film kartun salah satu program anak TV Turki.

Persekutuan dua kerajaan Islam adikuasa ini (dua lagi yaitu Dinasti Safawi di Iran dan Dinasti Mughal di India) akhirnya dapat mengusir Portugis di Aceh. Kerajaan Aceh juga menaklukkan Tano Batak pada 1539 dan 1564 menaklukkan Aru dan Johor berkat dukungan diplomatik Kesultanan Turki Utsmani. Peristiwa ini tak terbantahkan. Sekaligus menggambarkan kebesaran Kerajaan Aceh Darussalam di masa lalu. Fakta sejarah ini bisa diteliti dan didalami dalam beberapa buku seperti, The Cambridge History of Southeast Asia (Nicholas Tarling), Islam in the Indonesian Word; an Account of Institutional Formation (Azyumardi Azra), A Splendid Exchange; how trade shape the word (William J Berntein), dan lain-lain.

Cinta terpendam 
Maka tak heran saat Wakil Perdana Menteri Turki Fikri Isik, Jumat (13/10/2017) memilih transit di Aceh usai lawatannya dari Korea Selatan, Singapura, dan Jakarta. Bagi orang Turki yang paham sejarah, bila ke Indonesia tak singgah di Aceh adalah sebuah “aib”, katanya. Saya mendengar banyak hal menakjubkan dari 16 anggota rombongan saat berkesempatan menemani mereka hampir 9 jam di Aceh. Pejabat dan parlemen Turki ini sangat menghormati ulama. Ketika dipersilahkan oleh Gubernur Irwandi Yusuf menyampaikan pidato di atas mimbar, Wakil PM Turkiberkata, “Itu tempat yang mulia, tempatnya para guru dan ulama kita, saya cukup dan nyaman di sini saja (di bawah),” tuturnya usai shalat Jumat di Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh.

Saya juga dibuat takjub oleh ketua tim Paspampres yang menguasai betul sejarah Aceh mulai abad ke-13, simbolik dan patriotiknya rakyat Aceh mempertahankan Masjid Raya Baiturrahman sampai era Wali Nanggroe. Tak tertahan, tiga orang Paspampres kemudian berziarah ke makam Hasan Tiro (1925-2010) di sela kunjungan. Seperti ada cinta terpendam Aceh Turki yang sudah terkubur lama.

Alhamdulillah, kini 13 tahun pascatsunami kami bisa berada di Turki. Tak hanya untuk melanjutkan pendidikan di negeri dua benua yang menjadi primadona dan tapak jelajah para Nabi. Tapi juga seperti adik yang berkunjung ke kampung kakak tertua. Menelusuri kisah dan kasih masa lalu endatu yang akrab bersahabat. Seperti menyambung lagi masa lalu, masa kini dan masa depan. Merajut sisa cinta yang terpendam untuk bercahaya kembali.

Tsunami Aceh memang taqdir yang tak tertolak. Aceh pun berada di Lempeng Indo-Australia dan Lempeng Eurasia yang langganan gempa. Tapi Tsunami Aceh telah menjadi jembatan cinta kembali antara Aceh dan Turki. Sejarah masa lalu yang tertutup debu mulai sedikit demi sedikit dibersihkan. Apa yang tersembunyi di bawah karpet, mesti dibentangkan. Supaya keramahan dan kesetiaan saudara tetua Turki kepada adiknya Aceh, bukan saja kisah usang tanpa makna. Sebaliknya, menjadi tugas penuntut ilmu di pusat khilafah Islam terakhir untuk mendalami, menelusurinya, dan menuliskannya.

Ke depan nanti, kita mengharapkan agar Pemerintah Aceh membangun House of Aceh di Turki yang berisi bukti sejarah yang menjadi khazanah dan tamadun Aceh di masa lalu. Potensi mahasiswa yang beragam seyogyanya menjadi penyambung dan duta untuk membangkitkan lagi sejarah tamadun menuju peradaban dunia. Semoga Pemerintah Aceh, Wali Nanggroe dan semua kita bercita-cita demikian adanya. Pada akhirnya, tahun-tahun peringatan tsunami harus jauh lebih bermakna sebagai spirit untuk bangkit dan belajar atas kegigihan dan persaudaraan pendahulu kita.

* Azwir Nazar, mantan Presiden Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Turki 2016-2017, pendiri Cahaya Aceh Foundation. Email: azwirchannel@gmail.com

Editor:Kamal Usandi
Sumber:Serambi Indonesia
Kategori:Ragam
wwwwwwhttps://green.radenintan.ac.id/max/https://bkpsdm.tanahlautkab.go.id/galaxy/https://143.198.234.52/sonic77