Sejarah Haji di Indonesia dari Aceh Abad 16
Cerita dimulai pada awal abad 16, saat itu hubungan antara Nusantara dengan Arab memasuki babak baru. Hal tersebut ditandai dengan semakin maraknya pedagang sekaligus ulama Nusantara yang ikut serta dalam pelayaran ke Asia Barat. Pada tahun 1526 armada dari Nusantara, khususnya dari Aceh, memulai pelayarannya ke Jeddah untuk berdagang.
Mereka kemudian banyak yang menetap di Haramain sembari menuntut ilmu agama. Disebutkan dalam buku "Historiografi Haji Indonesia" karya Shaleh Patuhena, pada tahun 1556 telah ada lima kapal besar Aceh yang berlabuh di Jeddah. Ulama Aceh yang berdatangan ke tanah Arab itu selain menimba ilmu ternyata juga manfaatkan waktunya untuk berhaji.
Selama mencari pengetahuan bersama ulama-ulama besar di Arab ternyata di saat yang sama bangsa Eropa mulai melakukan pelayarannya ke Nusantara. Mereka ingin mencari harapan baru setelah pusat perdagangan di Konstantinopel, Turki ditutup.
Kedatangan mereka menjadi masalah karena selama mereka ingin berkuasa di Nusantara juga ingin menyingkirkan Islam. Namun di tengah hambatan itu, masyarakat Nusantara yang ingin ke Makkah tetap secara sporadis bisa bergantian untuk belajar di Arab sekaligus menunaikan ibadah haji.
Menurut catatan Louis Barthema, Syarif Hidayatullah atau lebih dikenal dengan Sunan Gunung Jati juga pergi ke Makkah setelah kota kelahirannya, Pasai, ditaklukkan Portugis pada tahun 1521. Ia di sana selama tiga tahun. Selain berhaji, saat itu Sunan Gunung Jati juga tampil sebagai diplomat untuk meminta bantuan Turki Utsmani agar mengusir Portugis di Pasai.
Sepanjang periode abad ke-16, para pedagang dan ulama tersebut kemudian membentuk komunitas orang Nusantara di negeri asal Rasulullah tersebut. Komunitas ini yang kemudian menjadi titik awal semakin giatnya orang Aceh hingga Ternate yang secara bergantian mengunjungi negeri Arab.
Selepas menimba ilmu di Makkah dan Madinah, para ulama sekaligus pedagang tersebut kemudian memutuskan untuk kembali ke kampung halamannya. Masyarakat Nusantara pun diberikan ilmu soal ibadah haji. Kala itu pemahaman masyarakat tentang Islam masih minim.
Singkat cerita, beberapa pusat pemerintahan di Nusantara dari Jawa hingga Ternate dijadikan para ulama sebagai pelabuhan embarkasi haji pada kuartal akhir abad ke-17. Hal ini membuat kesempatan mereka yang ingin pergi ke Makkah untuk berlayar ke Jeddah menjadi lebih terbuka.
Puncak perkembangan pesat yang mendasar dalam perjalanan ibadah haji dimulai pada tahun 1826. Dalam catatan pemerintah Belanda "Resolutie van den Gouveumeur Generaal van Nederlandsche Indie" yang diterbitkan Oktober tahun 1825, 200 orang pribumi yang berasal dari Batavia dan residen lainnya menghadap polisi Belanda untuk meminta paspor jalan ibadah haji. Mereka melaporkan ingin berhaji bersama kapal Magbar milik Syaikh Umar Bugis.
Pemerintah Belanda pun mengizinkan dengan mengeluarkan resolusinya.
"Dengan disposisi ini untuk pengesahan kepada mereka yang telah menghadap polisi untuk memperoleh paspor ke Makkah dengan kapal Magbar telah diizinkan berangkat ke sana," kutipan terjemahan dari bahasa Belanda dari Resolutie van den Gouveumeur Generaal van Nederlandsche Indie yang diterbitkan Oktober tahun 1825.
Editor | : | Kamal Usandi |
Sumber | : | detik.com |
Kategori | : | Ragam |