Terpopuler 24 Jam Terakhir
1
Okto Jadi Saksi Sejarah Indonesia Kalahkan Australia di Piala AFC U-23
Olahraga
18 jam yang lalu
Okto Jadi Saksi Sejarah Indonesia Kalahkan Australia di Piala AFC U-23
2
Kalahkan Australia di Piala Asia U 23, Erick Thohir: Luar Biasa Penampilan Indonesia
Olahraga
18 jam yang lalu
Kalahkan Australia di Piala Asia U 23, Erick Thohir: Luar Biasa Penampilan Indonesia
3
Hadapi Red Sparks, Agustin Wulandari: Kami Akan Berikan Penampilan Terbaik
Olahraga
13 jam yang lalu
Hadapi Red Sparks, Agustin Wulandari: Kami Akan Berikan Penampilan Terbaik
4
HUT ke-94, PSSI Berbagi Kebahagian dengan Legenda Timnas Indonesia
Olahraga
14 jam yang lalu
HUT ke-94, PSSI Berbagi Kebahagian dengan Legenda Timnas Indonesia
5
Uruguay Jajaki Kerja Sama Jaminan Produk Halal dengan Indonesia
Pemerintahan
15 jam yang lalu
Uruguay Jajaki Kerja Sama Jaminan Produk Halal dengan Indonesia
6
Billie Eilish Unjuk Kedalaman Emosional di Album Terbaru 'Hit Me Hard and Soft'
Umum
12 jam yang lalu
Billie Eilish Unjuk Kedalaman Emosional di Album Terbaru Hit Me Hard and Soft

BPK Nilai Izin Impor Beras yang Dikeluarkan Kemendag Tidak Akuntabel

BPK Nilai Izin Impor Beras yang Dikeluarkan Kemendag Tidak Akuntabel
Ilustrasi. (int)
Senin, 21 Mei 2018 17:19 WIB
JAKARTA - Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menilai izin impor beras yang dikeluarkan pemerintah melalui Kementerian Perdagangan (Kemendag) tidak pruden dan akuntabel, karena mengabaikan data kebutuhan beras secara nasional.

Dikutip dari sindonews.com, pada tahun ini, Kemendag telah dua kali mengeluarkan izin importasi beras. Sebanyak 500 ribu ton pada Februari 2018, kemudian saat ini telah dikeluarkan lagi izin impor beras tambahan sebanyak 500 ribu ton dan berlaku hingga Juli 2018.

''Penetapan angka impor tidak sepenuhnya pruden dan akuntabel. Angka ini tidak dipertimbangkan sepenuhnya, yaitu kebutuhan, produksi nasional, selisih antara kebutuhan dan produksi nasional, dan alokasi impor berdasarkan persetujuan impor,'' kata Anggota BPK RI Rizal Djalil di Gedung BPK, Jakarta, Senin (21/5/2018).

Sejatinya, BPK tidak ikut campur mengenai keputusan pemerintah untuk mengimpor beras. Namun, pemerintah seharusnya memperhatikan kondisi yang ada di Tanah Air. Mengingat, saat ini beberapa wilayah di Indonesia masih panen raya dan pembukaan keran impor berpotensi merusak harga petani.

''Kalau pemerintah memutuskan memang perlu impor silakan saja. Tapi tolong perhatikan juga, kalau pada saat panen raya terus kita lakukan impor 1 juta. Bulog telah melaksanakan operasi pasar, pertanyaannya mengapa harga tidak turun juga. Jadi silakan impor, tapi lakukan dengan pruden dan memperhatikan sesungguhnya pendapat dari kementerian yang bertanggungjawab terhadap pengadaan pangan,'' tandasnya.

BPK menemukan fakta bahwa hingga saat ini persoalan data konsumsi beras nasional masih tidak akurat. Hal ini tentu menjadi persoalan saat Indonesia akan memutuskan untuk membuka keran importasi beras.

Rizal Djalil mengatakan bahwa saat ini Badan Pusat Statistik (BPS) diberikan mandat oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi)  sebagai sumber data, termasuk data pangan nasional. Oleh karena itu, jika pemerintah akan melakukan impor beras maka sudah seharusnya mengacu pada data yang telah dirilis BPS.

''Pemerintah melakukan impor harus berdasarkan data BPS, pangan yang tersedia berapa, kebutuhannya berapa, baru impornya ditetapkan. Nah jangan sampai kementerian yang terlibat, tidak dilibatkan sepenuhnya. Itu saja,'' ujarnya.

Kendati demikian, Rizal juga berharap bahwa kecepatan BPS dalam menyediakan data pangan juga harus ditingkatkan. Pasalnya, persoalan pangan merupakan persoalan darurat dan tidak bisa menunggu lama hanya untuk masalah data.

''Saya tahu teman BPS diberikan mandat Presiden bahwa BPS satu-satunya sumber data. Untuk itu tenaga ditambah, anggaran ditambah, regulasi diperbaiki. Tapi kami ingatkan ke BPS, tolong dipercepat, gunakan teknologi canggih, sehingga kebutuhan data yang diperlukan pemerintah bisa tersedia dalam waktu yang cepat,'' imbuh dia.

Selain persoalan data, lanjut dia, permasalahan pangan di Indonesia juga disebabkan karena sistem pelaporan produktivitas padi nasional tidak akuntabel, data luas lahan yang tidak akurat, dan angka cadangan pangan ideal pemerintah yang hingga kini belum ditetapkan.

''Data luas lahan tidak akurat. Terutama di Karawang, alih fungsi lahannya luar biasa. Dan ini harus kita antisipasi semua bagaimana mencegah alih fungsi lahan ini,'' tutur dia.

Senada dengan Rizal, Ketua DPR Bambang Soesatyo mengatakan bahwa Indonesia memerlukan data pangan yang valid yang menjadi dasar pengambilan keputusan, termasuk keputusan mengenai impor. Pasalnya, hingga saat ini masih terdapat perbedaan data antar-instansi di pemerintahan.

''Untuk mengakhiri polemik impor, perlu data pangan yang valid yang jadi dasar pengambilan keputusan, termasuk kebijakan impor. Indonesia belum punya data pangan yang valid dan jadi rujukan stakeholder, dan sering terjadi perbedaan data antara pemerintah. Misalnya antara Kementan, Kemendag, dan Bulog. Mudah-mudahan pak Jokowi segera memanggil ketiganya agar bicara keyakinan dan tujuan yang sama,'' tandasnya.***

Editor:hasan b
Sumber:sindonews.com
Kategori:Ragam
wwwwwwhttps://143.198.234.52/sonic77https://159.223.193.153/https://64.23.207.118/http://152.42.220.57/