Terpopuler 24 Jam Terakhir
1
Taylor Swift dan Travis Kelce Kepergok Bersantai Mesra di Pantai Bahamas
Umum
20 jam yang lalu
Taylor Swift dan Travis Kelce Kepergok Bersantai Mesra di Pantai Bahamas
2
Adelia Pasha Kemalingan di Paris, Tas Istri Pasha Ungu itu Raib
Umum
20 jam yang lalu
Adelia Pasha Kemalingan di Paris, Tas Istri Pasha Ungu itu Raib
3
Eva Mendes Mundur dari Dunia Akting Demi Anak
Umum
20 jam yang lalu
Eva Mendes Mundur dari Dunia Akting Demi Anak
4
Kalah Lawan Sri Lanka, Timnas Putra Bersiap Hadapi Korsel di Kualifikasi Grup B FIBA 3X3 Asia Cup 2024
Olahraga
20 jam yang lalu
Kalah Lawan Sri Lanka, Timnas Putra Bersiap Hadapi Korsel di Kualifikasi Grup B FIBA 3X3 Asia Cup 2024
5
Berkolaborasi dengan Galestra, Donner Buka Toko Flagship Pertama di Jakarta
Umum
20 jam yang lalu
Berkolaborasi dengan Galestra, Donner Buka Toko Flagship Pertama di Jakarta
6
Zayn Malik Rindu Kejayaan Masa Lalu
Umum
21 jam yang lalu
Zayn Malik Rindu Kejayaan Masa Lalu

Sosok Jurnalis Jamal Khashoggi, Teman Usamah bin Ladin yang Diduga Dibunuh dan Dimutilasi di Konsulat Arab Saudi

Sosok Jurnalis Jamal Khashoggi, Teman Usamah bin Ladin yang Diduga Dibunuh dan Dimutilasi di Konsulat Arab Saudi
Jamal Khasoggi. (abc57.com)
Jum'at, 19 Oktober 2018 11:11 WIB
JAKARTA - Raibnya jurnalis Jamal Khashoggi di konsulat Arab Saudi di Istanbul, Turki 2 Oktober lalu, masih menjadi misteri. Informasi yang beredar, Khashoggi diduga dibunuh dan dimutilasi saat mendatangi konsulat Arab Saudi tersebut.

Dikutip dari merdeka.com, Khashoggi pernah berada di lingkaran dekat Kerajaan Saudi dan menjadi penyambung lidah elit kerajaan kepada rakyat Saudi, namun dia kemudian berubah menjadi orang yang kerap mengkritik rezim, terutama Putra Mahkota Pangeran Muhammad bin Salman. Sejak tahun lalu Khashoggi memilih tinggal di Washington, Amerika Serikat karena khawatir soal keselamatannya. Dia menjadi penulis kolom di harian the Washington Post dan kerap melontarkan kritik tajam ke pemerintah Saudi.

Keberadaan Khashoggi hingga kini masih menjadi misteri. Sejumlah laporan dari media Turki menyebut dia dibunuh dan jasadnya dimutilasi di dalam konsulat Saudi. Kasus ini kemudian menjadi sorotan internasional, tapi menurut kolumnis John R Bradley di laman Spectator pekan lalu, perhatian dunia terhadap kasus Khashoggi itu berpijak pada alasan yang salah. Khashoggi dikatakan sosok yang liberal, penganjur kebebasan dan demokrasi dan menjadi martir lantaran menyuarakan kebenaran di hadapan rezim Saudi.

Bukan hanya salah, kata Bradley, tapi penilaian seperti itu juga mengalihkan perhatian kita dari memahami dinamika kekuasaan internal di dalam Kerajaan Saudi. Kasus Khashoggi adalah kisah seorang pria yang terlibat dengan lingkar elit Saudi yang selama ini beroperasi seperti organisasi Mafia. Sekali Anda bergabung, itu artinya seumur hidup, kalau keluar artinya setor nyawa. Bradley adalah rekan dari Khashoggi dan bekerja bersama dia di media Arab News.

Menurut Bradley, Khashoggi sebetulnya tidak punya waktu untuk mengusung demokrasi pluralis asal Barat. Pada 1970-an dia bergabung dengan Ikhwanul Muslimin yang bersemangat ingin menghapus pengaruh Barat di dunia Islam. Dia adalah sosok politisi Islamis yang belum lama ini menyanjung Ikhwanul Muslimin di the Washington Post. Dia juga mendukung kelompok Islamis yang menjadi oposisi di Suriah. Khashoggi berulang kali mencoba menutupi paham Islamisnya dengan mengusung demokrasi dan kebebasan. Tapi dia tidak pernah menyembunyikan dukungannya kepada jaringan Ikhwanul Muslimin di Timur Tengah.

Pembelaannya kepada Pangeran bin Salman dalam tulisannya adalah tidak untuk merangkul demokrasi ala Barat tapi untuk kebangkitan politik Islam yang menjadi pemantik Musim Semi Arab di Timur Tengah. Bagi Khashoggi, sekularisme adalah musuh.

Khashoggi menjadi jurnalis di era 1980-an dan 1990-an, tapi dia kemudian berubah menjadi pemain ketimbang pengamat.

Sebelum bekerja di lingkaran pangeran Kerajaan, dia menjadi editor di koran Saudi.

Adalah Yasin Aktay, bekas anggota parlemen Turki dari Partai berkuasa Pembangunan dan Keadilan (AKP) yang diminta Khashoggi menjadi orang yang harus dihubungi oleh tunangannya jika dia tidak keluar dari konsulat Saudi. AKP adalah cabang Ikhwanul Muslimin di Turki. Teman yang paling dia percaya itu adalah penasihat Presiden Recep Tayyip Erdogan.

Khashoggi dipecat dari editor surat kabar Saudi Al Watan pada 2003 karena dia mengizinkan seorang penulis kolom mengkritik seorang ulama yang dianggap sebagai pendiri paham Wahabisme. Dalam waktu sekejap Khashoggi kemudian dikenal sebagai sosok liberal progresif.

Ikhwanul Muslimin sebetulnya bertentangan dengan gerakan Wahabi. Khashoggi dan sesama rekannya meyakini Islam perlu diterapkan lewat proses demokrasi. Sedangkan Wahabi menolak demokrasi karena berasal dari Barat. Pada kesimpulannya, kedua gerakan itu punya cara berbeda untuk mencapai tujuan yang sama: Teokrasi Islamis.

Meski bin Salman menolak Wahabi untuk menyenangkan Barat, dia masih menilai Ikhwanul Muslimin sebagai ancaman utama yang bisa menghalangi visinya untuk wajah Arab Saudi yang baru. Sebagain besar ulama di Saudi yang dipenjara dalam dua tahun terakhir adalah teman Khashoggi dan punya kaitan dengan Ikhwanul Muslimin. Khashoggi secara tidak langsung adalah pemimpin Ikhwan cabang Saudi. Lantaran sosok dan pengaruhnya, Khashoggi kemudian menjadi ancaman politik bin Salman di luar lingkar keluarga Kerajaan.

Lebih buruk lagi, dari kaca mata Kerajaan, Khashoggi punya dosa dalam kaitan Saudi dengan Al Qaidah pada peristiwa serangan 11 September di Amerik Serikat. Dia diketahui berteman dengan Usamah Bin Ladin di medio 1980-an dan 1990-an di Afghanistan dan Sudan. Kala itu dia membela jihad melawan Soviet. Di saat yang sama Khashoggi bekerja untuk intelijen Saudi buat membujuk Bin Ladin agar mau berdamai dengan keluarga Kerajaan Saudi.

Khashoggi adalah satu-satunya orang bukan keturunan bangsawan kerajaan yang punya hubungan dekat dengan Al Qaidah sampai terjadinya serangan 11/9. Dia kemudian menjadi penasihat duta besar Saudi untuk Inggris lalu Amerika Serikat, Pangeran Turki Al Faisal. Faisal kemudian menjadi kepala intelijen Saudi sejak 1977 hingga sepuluh hari sebelum peristiwa 11/9 dia mengundurkan diri. Ketika menjadi penasihat itulah dia masih harus melaporkan soal Bin Ladin di samping bekerja sama dengan pejabat intelijen Inggris dan AS. Dengan kata lain, dia bisa memperoleh informasi penting dari orang dalam.

Saudi juga kemudian khawatir Khashoggi dimanfaatkan jadi aset AS. Pada 2005 di Washington, pejabat senior Pentagon mengatakan mereka punya rencana konyol membawa 'Saudi keluar dari Arab'. Makna dari kalimat itu adalah membentuk semacam dewan yang terdiri dari orang-orang Saudi terpilih di Makkah untuk memimpin pemerintahan di bawah arahan AS setelah mereka menguasai minyak Saudi. Pejabat Pentagon itu menyebut tiga nama orang Saudi yang kerap menjalin kontak dengan mereka soal proyek ini. Salah satunya adalah Khashoggi. Tentu saja proyek itu hanya angan belaka, namun itu memperlihatkan betapa pentingnya sosok Khashoggi.

Beberapa pekan lalu, menurut seorang teman Khashoggi, bin Salman menawarkan damai dengan cara tradisonal suku Arab. Khashoggi ditawari menduduki jabatan penasihat kerajaan jika dia mau kembali ke Saudi. Khashoggi menolak dengan alasan moral dan agama. Keputusan itu boleh jadi fatal, apalagi awal tahun ini Khashoggi mendirikan partai politik di AS dengan nama Demokrasi untuk Dunia Arab Sekarang yang akan mendukung gerakan Islamis melalui pemilu demokratis. Mimpi buruk bin Salman soal Khashoggi seolah menjadi kenyataan: dia menjadi ancaman serius bagi rezim Saudi.

Nasib Khashoggi kini menjadi gambaran nyata apa yang sebetulnya sedang terjadi di Arab Saudi.***

Editor:hasan b
Sumber:merdeka.com
Kategori:Ragam
wwwwwwhttps://green.radenintan.ac.id/max/https://bkpsdm.tanahlautkab.go.id/galaxy/https://143.198.234.52/sonic77