Terpopuler 24 Jam Terakhir
1
Kalahkan Australia di Piala Asia U 23, Erick Thohir: Luar Biasa Penampilan Indonesia
Olahraga
10 jam yang lalu
Kalahkan Australia di Piala Asia U 23, Erick Thohir: Luar Biasa Penampilan Indonesia
2
Okto Jadi Saksi Sejarah Indonesia Kalahkan Australia di Piala AFC U-23
Olahraga
9 jam yang lalu
Okto Jadi Saksi Sejarah Indonesia Kalahkan Australia di Piala AFC U-23
3
Uruguay Jajaki Kerja Sama Jaminan Produk Halal dengan Indonesia
Pemerintahan
6 jam yang lalu
Uruguay Jajaki Kerja Sama Jaminan Produk Halal dengan Indonesia
4
Hadapi Red Sparks, Agustin Wulandari: Kami Akan Berikan Penampilan Terbaik
Olahraga
4 jam yang lalu
Hadapi Red Sparks, Agustin Wulandari: Kami Akan Berikan Penampilan Terbaik
5
HUT ke-94, PSSI Berbagi Kebahagian dengan Legenda Timnas Indonesia
Olahraga
6 jam yang lalu
HUT ke-94, PSSI Berbagi Kebahagian dengan Legenda Timnas Indonesia
6
Megawati Ungkap Rahasia Kuat Bertahan dan Meraih Sukses di Red Sparks
Olahraga
4 jam yang lalu
Megawati Ungkap Rahasia Kuat Bertahan dan Meraih Sukses di Red Sparks

Dibiarkan Pemda Saat Jatuh Sakit, Mantri Patra Hembuskan Napas Terakhir di Pedalaman Papua

Dibiarkan Pemda Saat Jatuh Sakit, Mantri Patra Hembuskan Napas Terakhir di Pedalaman Papua
Ilustrasi jenazah. (lp6c)
Senin, 24 Juni 2019 13:46 WIB
TELUK WONDAMA - Nama lengkapnya Patra Marinna Jauhari. Namun warga di tempatnya bertugas di pedalaman Kabupaten Teluk Wondama, Papua Barat, memanggilnya Mantri Patra.

Dikutip dari merdeka.com, sudah empat 4 bulan lebih dia mengabdikan diri untuk masyarakat di Kampung Oya Distrik Naikere, Teluk Wondama. Dia memilih setia dalam tugasnya, di saat rekan kerjanya memutuskan pulang dan tak kembali lagi ke sana. Dalam kesendirian dan kesepian, Mantri Patra melayani warga hingga ajal menjemputnya.

Petugas medis dari Dinas Kesehatan Teluk Wondama ini berada di Kampung Oya sejak Februari 2019. Dia adalah satu dari sekian tenaga kesehatan yang ditunjuk untuk memberikan pelayanan di daerah pedalaman Oya, salah satu kampung di pedalaman distrik Naikere yang masih terpencil dan terisolir. Tidak ada akses jalan darat apalagi sarana telekomunikasi.

Dilansir Antara, wilayah di perbatasan Teluk Wondama dengan Kabupaten Kaimana ini hanya bisa dijangkau dengan berjalan kaki atau menggunakan helikopter.

Untuk mencapai pusat distrik di Naikere, warga setempat biasanya berjalan kaki selama tiga sampai empat hari. Jalanan yang dilewati masih berupa jalan setapak menyusuri gunung dan lembah di tengah hutan belantara.

Pada awal Februari lalu, Mantri Patra bersama seorang rekannya diantar menggunakan helikopter ke Kampung Oya. Mereka dijadwalkan bertugas selama tiga bulan. Terhitung Februari hingga Mei. Lalu akan dijemput kembali dan diganti petugas berikutnya.

Namun hingga akhir Mei 2019, belum juga ada helikopter yang datang menjemput mereka. Persediaan bahan makanan mulai dari beras, minyak goreng yang dibawanya tiga bulan lalu telah lama habis. Termasuk stok obat-obatan. Semuanya habis terpakai.

Patra tinggal seorang diri setelah temannya sesama perawat memutuskan turun ke kota Wasior dengan berjalan kaki. Dia memberi pelayanan medis dengan kondisi serba kekurangan.

Untuk mengisi hari-harinya, bujangan kelahiran 1988 ini selalu berinteraksi dengan warga setempat. Dia rajin berkunjung ke rumah warga, bermain bersama pemuda setempat hingga ikut berkebun bersama warga.

''Tiap sore dia pergi dengan anak-anak menyanyi-menyanyi,'' kata seorang warga Oya yang dikisahkan Kepala Puskesmas Naikere Tomas Waropen di Wasior, Minggu.

Hari terus berlalu, helikopter yang ditunggu tak juga tiba. Kesetiaan Patra tetap tak luntur. Dia tetap bertahan meski di hatinya memendam kecewa terhadap instansi tempatnya bekerja. Hingga akhirnya sang mantri jatuh sakit.

Mengetahui kondisinya kian memburuk, seorang warga kampung Oya memutuskan berjalan kaki untuk memberitahukan kondisi sang mantri kepada kepala Puskesmas Naikere. Meskipun demikian, tetap saja tidak ada helikopter yang datang untuk mengevakuasinya ke kota guna mendapatkan perawatan medis.

Hingga pada 18 Juni 2019, Patra menghembuskan napas terakhir di tempat tugasnya. Dia meninggal dalam kesendirian. Tanpa ada keluarga, teman maupun kerabat yang mendampingi. Jenazah Patra baru dievakuasi empat hari setelah meninggal atau pada 22 Juni 2019 menggunakan helikopter yang disewa Pemda dari Nabire.

Kematian Patra yang terbilang tragis menjadi keprihatinan banyak pihak. Kepala Puskesmas Naikere Tomas Waropen menyatakan nyawa Patra mungkin bisa tertolong jika pihak dinas kesehatan maupun instansi terkait lainnya cepat merespon laporannya terkait kondisi Patra dan meminta segera dikirim helikopter.

''Kami sudah rapat sampai tiga kali dengan Dinas Kesehatan, Kesra dan Pak Sekda tapi tetap tidak ada jalan. Sampai akhirnya dia sudah meninggal baru helikopter bisa naik,'' ujar Waropen

Bagi Waropen, Patra adalah pahlawan kemanusiaan yang mendedikasikan hidupnya untuk masyarakat di pedalaman Naikere tanpa banyak mengeluh dan menuntut. Tindakan mulia yang justru selalu dihindari banyak petugas medis lainnya.

''Patra adalah pahlawan bagi masyarakat di pedalaman Mairasi (nama suku di pedalaman Naikere). Sementara kita anak-anak negeri ini banyak yang jadi Judas (murid yang mengkhianati Yesus),'' kata Tomas Waropen.

Tokoh Pemekaran Teluk Wondama Hendrik Mambor juga turut menyampaikan rasa duka mendalam atas kepergian almarhum. Melalui pernyataannya yang kami kutip dari akun facebook-nya, mantan Kepala Bappeda Wondama ini memberikan penghargaan dan rasa terima kasih yang tinggi atas pengabdian Patra selama hidup.

''Mewakili Lembaga Masyarakat Adat Teluk Wondama dan seluruh pejuang pemekaran Kabupaten Teluk Wondama kami hanya bisa mengucapkan penghargaan atas dedikasimu dan jerih lelahmu bagi masyarakat khususnya masyarakat di Pedalaman Udik Simo, Kampung Oya. Kami tidak mampu membalas jasa baikmu,'' tulis Mambor. ***

Editor:hasan b
Sumber:merdeka.com
Kategori:Ragam
wwwwwwhttps://143.198.234.52/sonic77https://159.223.193.153/https://64.23.207.118/http://152.42.220.57/