Terpopuler 24 Jam Terakhir
1
Bernard van Aert Resmi Lolos ke Olimpiade 2024 Paris
Olahraga
19 jam yang lalu
Bernard van Aert Resmi Lolos ke Olimpiade 2024 Paris
2
PERBASI Panggil 14 Pemain untuk Ikut TC Tahap Kedua Timnas Basket U-18 Putri di Bali
Olahraga
19 jam yang lalu
PERBASI Panggil 14 Pemain untuk Ikut TC Tahap Kedua Timnas Basket U-18 Putri di Bali
3
PT Pertamina Siap Dukung PB Percasi Lahirkan Pecatur Andal
Olahraga
8 jam yang lalu
PT Pertamina Siap Dukung PB Percasi Lahirkan Pecatur Andal
4
Susanto Megaranto Kalah, IM Gilbert Elroy Tarigan Bermain Remis
Olahraga
8 jam yang lalu
Susanto Megaranto Kalah, IM Gilbert Elroy Tarigan Bermain Remis
Home  /  Berita  /  Hukum

Melindungi Masyarakat Melalui UU ITE

Melindungi Masyarakat Melalui UU ITE
Ilustrasi UU ITE (merdeka.com)
Selasa, 08 November 2016 10:31 WIB

JAKARTA - Setelah melewati dua kali rapat kerja dan lima kali rapat Panitia Kerja (Panja), akhirnya substansi Rancangan Undang-Undang mengenai Revisi UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) rampung dibahas dan disetujui oleh Panja DPR RI.


 

Rancangan UU ITE telah diselesaikan pembahasannya dalam pembicaraan Tingkat I pada 20 Oktober 2016, dengan keputusan menyetujui untuk diteruskan ke tahap selanjutnya yaitu Pengambilan Keputusan atau Pembicaraan Tingkat II dalam Rapat Paripurna DPR RI.

Selanjutnya pada 26 Oktober 2016, Rapat Paripurna DPR RI menyetujui revisi Rancangan Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (RUU ITE) untuk disahkan menjadi Undang-Undang.

Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara menyampaikan terima kasih dan apresiasi kepada Tim Pemerintah di bawah pimpinan Prof Dr Henri Subiakto, Sekjen Kementerian Kominfo Farida Dwi Cahyarini dan Plt Dirjen Aplikasi Informatika Mariam F Barata yang telah mengawal pembahasan RUU ini hingga rampung di tingkat Panja.

Setelah disahkan oleh DPR, selanjutnya Presiden menuangkannya dalam berita negara dan undang-undang yang telah mengalami perubahan itu pun akan langsung berlaku.

Menurut Menkominfo Rudiantara, perubahan UU ITE ini hanya dilakukan dalam beberapa hal saja, yang bertujuan supaya bisa menyesuaikan dengan dinamika teknologi dan tidak ada pihak yang bisa memanfaatkan UU ITE untuk melakukan kriminalisasi pada pihak lain.

Terdapat tujuh muatan materi pokok revisi UU ITE yang diharapkan mampu menjawab dinamika tersebut. Ketujuh hal tersebut adalah:

Pertama, menambahkan sejumlah penjelasan untuk menghindari multi tafsir terhadap ketentuan penghinaan/pencemaran nama baik pada pasal 27 ayat 3.

Ada tiga perubahan dalam pasal tersebut yakni menambahkan penjelasan atas istilah "mendistribusikan, mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik".

Kemudian menegaskan bahwa ketentuan tersebut adalah delik aduan bukan delik umum, serta menegaskan bahwa unsur pidana pada ketentuan tersebut mengacu pada ketentuan pencemaran nama baik dan fitnah yang diatur dalam KUHP.

Kedua, menurunkan ancaman pidana pencemaran nama baik, dari paling lama enam tahun menjadi empat tahun, dan denda dari Rp1 miliar menjadi Rp750 juta. Selain itu, juga menurunkan ancama pidana kekerasan pasal 29, sebelumnya paling lama 12 tahun, diubah menjadi empat tahun dan denda Rp2 miliar menjadi Rp750 juta.

Ketiga, melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi atas pasal 31 ayat 4 yang semula mengamanatkan pengaturan tata cara intersepsi atau penyadapan dalam Peraturan Pemerintah menjadi dalam Undang-Undang. Kemudian menambahkan penjelasan pada ketentuan pasal 5 ayat 1 dan ayat 2 mengenai keberadaan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagai alat bukti hukum yang sah.

Keempat, melakukan sinkronisasi ketentuan hukum acara pada pasal 43 ayat 5 dan ayat 6 dengan ketentuan hukum acara pada KUHAP, yakni penggeledahan dan/atau penyitaan yang semula harus mendapatkan izin Ketua Pengadilan Negeri setempat, disesuaikan kembali dengan ketentuan KUHAP.

Selain itu, penangkapan penahanan yang semula harus meminta penetapan Ketua Pengadilan Negeri setempat dalam waktu 1x24 jam, disesuaikan kembali dengan ketentuan KUHAP.

Kelima, memperkuat peran penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) UU ITE pada pasal 43 ayat 5, dengan menambahkan kewenangan untuk memutuskan akses terkait tindak pidana teknologi informasi dan kewenangan meminta informasi dari penyelenggara sistem elektronik terkait tindak pidana teknologi informasi.

Keenam, menambahkan ketentuan "right to be forgotten" pada pasal 26, yaitu kewajiban menghapus konten yang tidak relevan bagi penyelenggara sistem elektronik. Pelaksanaannya dilakukan atas permintaan orang yang bersangkutan berdasarkan penetapan pengadilan, dan setiap penyelenggara sistem elektronik juga wajib menyediakan mekanisme penghapusan Informasi Elektronik yang sudah tidak relevan.

Ketujuh, memperkuat peran pemerintah untuk mencegah penyebarluasan konten negatif di internet, dengan menyisipkan kewenangan tambahan pada ketentuan pasal 40 yakni pemerintah wajib melakukan pencegahan penyebarluasan Informasi Elektronik yang memiliki muatan yang dilarang.

Pemerintah juga berwenang melakukan pemutusan akses dan/atau memerintahkan kepada Penyelenggara Sistem Elektronik untuk melakukan pemutusan akses terhadap Informasi Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar hukum.

Lindungi Masyarakat
Ketua Tim Antar-Kementerian untuk pembahasan Revisi UU ITE Henri Subiakto mengharapkan UU ITE yang baru dapat lebih bermanfaat dan melindungi masyarakat di dunia maya.

"Revisi UU ITE yang diajukan pemerintah ini bertujuan supaya masyarakat terlindungi hak dan nama baiknya, tanpa juga mengharuskan mereka kehilangan ruang untuk berkomunikasi," ujar Henri.

Berkurangnya ancaman hukuman pidana pencemaran nama baik, dari enam tahun menjadi empat tahun, sengaja dilakukan supaya tersangka yang diduga melanggar UU ITE tersebut tidak perlu ditahan selama persidangan berjalan, sebab mereka juga belum mendapatkan keputusan bersalah secara hukum. Hal itu pun berkesesuaian dengan KUHAP.

Henri menambahkan, dengan ketentuan ini, maka masyarakat tak perlu khawatir menyampaikan aspirasinya di dunia maya. Namun, pasal tentang pencemaran nama baik tetap dipertahankan.

"Pasal pencemaran nama baik juga merupakan perlindungan negara bagi masyarakat, dengan begitu masyarakat juga terjaga hak dan nama baiknya. Pencemaran nama baik yang dimaksud itu seperti fitnah, misalnya," tutur Henri.

Tepis Kekhawatiran

Sementara itu, Kepala Divisi Riset dan Jaringan LBH Pers, Asep Komaruddin, menilai pasal hak orang untuk dilupakan kesalahannya (right to be forgotten) yang dimasukkan dalam UU ITE dikhawatirkan mengancam kebebasan pers.

Menurut Asep, pasal tersebut dikhawatirkan akan menjadi problem baru karena ketentuan itu menjadi alat ganda pemerintah di samping adanya kewenangan penapisan konten.

Penambahan pasal tersebut dikhawatirkan akan dimanfaatkan pemerintah untuk menyensor pemberitaan media. Ketentuan ini dinilai bisa berakibat negatif karena dapat menjadi alat baru untuk melakukan sensor atas berita publikasi media dan jurnalis di masa lalu.

Pasal hak orang untuk dilupakan kesalahannya dinilai bertentangan dengan UU Pers, khususnya pasal 4 ayat 2, karena ketentuan tersebut tidak memiliki aturan yang rinci dalam memberikan hak seseorang menghapus berita negatif.

Dengan demikian, potensi penyensoran, pembredelan, atau pelarangan penyiaran menjadi besar dan mungkin disalahgunakan.

Menjawab kekhawatiran tersebut, Henri Subiakto menegaskan, pasal "right to be forgotten" atau hak orang untuk dilupakan kesalahannya, tidak mengebiri kebebasan pers.

Pasal right to be forgotten itu tak serta merta bila si pemohon datang lalu dikabulkan, tetapi masih ada waktu verifikasi satu sampai tiga tahun untuk pelaksanaannya.

Nantinya setelah pengadilan melakukan verfikasi laporan tersebut, barulah diputuskan boleh atau tidaknya pemberitaan orang tersebut yang dulunya ditetapkan sebagai tersangka dihapus.

"Kami juga paham dengan adanya kebebasan pers makanya pengadilan verifikasi dulu. Tapi kan juga harus dipikirkan orang yang dirugikan akibat pemberitaan di masa lalu yang sudah tak relevan dengan kondisi dirinya saat ini," kata Henri Subiakto menjawab kekhawatiran tersebut.

Oleh karena itu, penerapan pasal terkait hak untuk dilupakan dalam UU ITE akan diperjelas melalui peraturan pemerintah (PP).

Di sisi lain, sejumlah pihak menilai seharusnya penyebaran informasi di internet disikapi oleh pejabat publik sebagai sebuah kritik, sehingga mereka harus hati-hati dalam melakukan tindakan.

Pemerintah tampaknya harus jeli merumuskan penjelasan mengenai hal tersebut dalam PP karena selama PP belum terbit, maka tafsir atas pasal itu berlaku secara umum, yakni berlaku untuk seluruh lapisan masyarakat, termasuk pejabat negara. (antaranews.com)

Editor:Wie Dya
Sumber:antaranews.com
Kategori:Pemerintahan, Hukum, Umum
wwwwwwhttps://143.198.234.52/sonic77https://159.223.193.153/https://64.23.207.118/http://152.42.220.57/