Terpopuler 24 Jam Terakhir
1
Dengan Tema Mawar Hitam, Pameran Busana Migi Rihasalay Pukau Pengunjung Indonesia Fashion Week 2024
Umum
15 jam yang lalu
Dengan Tema Mawar Hitam, Pameran Busana Migi Rihasalay Pukau Pengunjung Indonesia Fashion Week 2024
2
Lawan Bali United, Thomas Doll Harapkan Pemain Persija Jakarta Bugar
Olahraga
13 jam yang lalu
Lawan Bali United, Thomas Doll Harapkan Pemain Persija Jakarta Bugar
3
Nova Arianto Panggil 36 Pemain untuk Seleksi Timnas U-16 Tahap Kedua
Olahraga
14 jam yang lalu
Nova Arianto Panggil 36 Pemain untuk Seleksi Timnas U-16 Tahap Kedua
4
Cinta Laura Tetap Produktif di Bulan Ramadan
Umum
16 jam yang lalu
Cinta Laura Tetap Produktif di Bulan Ramadan
5
Persis Solo Pantau Fisik Pemain Selama Ramadan
Olahraga
13 jam yang lalu
Persis Solo Pantau Fisik Pemain Selama Ramadan
6
Langsung Pantau Persiapan, Menpora Dito Ingin Berikan Kado Terbaik buat Presiden Jokowi dari Olimpiade 2024 Paris
Olahraga
16 jam yang lalu
Langsung Pantau Persiapan, Menpora Dito Ingin Berikan Kado Terbaik buat Presiden Jokowi dari Olimpiade 2024 Paris
Home  /  Berita  /  Lingkungan

Skip Challenge, Fenomena Pencarian Identitas Remaja yang Bisa Mencabut Nyawa, Orangtua dan Guru Diimbau Waspada

Skip Challenge, Fenomena Pencarian Identitas Remaja yang Bisa Mencabut Nyawa, Orangtua dan Guru Diimbau Waspada
Ilustrasi skip challenge. (wartakota)
Sabtu, 11 Maret 2017 09:18 WIB
JAKARTA - Skip challenge atau pass out challenge belakangan marak dilakukan remaja, terutama remaja di wilayah perkotaan. Padahal aktivitas ini sangat membahayakan, bahkan bisa mencabut nyawa orang yang melakukannya.

Dikutip dari tempo.co, Sabtu (11/3/2017), psikolog Tika Bisono mengatakan, skip challenge atau pass out challenge merupalkan fenomena pencarian identitas pada remaja. Permainannya dengan cara menekan dada sekeras-kerasnya selama beberapa waktu itu adalah ciri dunia remaja yang memang banyak hal aneh dan abnormalnya.

 ''Dunia remaja, adalah masa turbulensi,'' katanya.

Tak heran jika pada masa itu banyak hal aneh dan abnormal. Ciri khasnya itu banyak istilah cemen, tulalit, bodoh, dan tolol bermunculan di dunia remaja.

''Mereka itu pada masa transit dari anak-anak menuju usia dewasa. Sensasi keremajaannya ya begitu itu, apa pun jadi dinilai jelek,'' katanya.

Namun jangan masukkan paradigma dewasa kepada para remaja itu. ''Kita harus memahami dunia remaja,'' ujar Tika.

Semua ahli harus bicara. Dokter misalnya, harus bicara apa efek skip challenge itu? Kerusakan apa yang bakal terjadi, jika tidak rusak apa yang akibat yang akan muncul? Guru juga bicara apa yang terjadi jika melakukan skip challenge? konsekuensinya apa, efeknya apa, dan sebagainya.

Dunia remaja, menurut Tika, sedang mencerna, mereka tidak langsung mendengar, mereka akan mengolah masukan yang datang, kemudian belajar memutuskan untuk mengadopsi atau tidak. Peran orang tua dan para ahli di sini sangat menentukan. Bagaimana kisi-kisi yang diberikan kepada para remaja itu, Tika melanjutkan, sehingga mereka bisa melewati masa turbulensi itu dengan selamat.

Dengan kisi-kisi yang diberikan para orang tua dan ahli itu, tantangan apa pun yang datang pada mereka, para remaja itu akan melaluinya dengan smart. Karena masa remaja itu tidak bisa diabaikan. Semua orang akan melaluinya. ''Hanya beda eranya saja. Dulu zaman saya itu eranya disko. Sekarang itu mungkin eranya tantangan seperti skip challenge itu. Tapi istilah tolol, bodoh, tulalitnya sih sama saja di dunia remaja mana pun,'' ujar Tika.

Karena itulah, sekali lagi, Tika wanti-wanti agar para orang tua, guru, dan ahli lain terus mengawal masa transit dunia remaja itu. Tantangan seperti skip challenge itu harus disikapi dengan benar. Para orang tua, guru, dan para ahli itu harus asertif dan demokratis. ''Iya kan? Sekarang kita mau mereka tumbuh seperti apa, menjadi jati diri yang berkembang atau cetakan?'' katanya.

Renggut Jiwa

Berikut ini sejumlah fakta di balik munculnya tantangan yang juga disebut choking game itu:

1. Tren di Inggris sejak 2005

Harian The Independent menyebut fenomena choking game telah muncul sejak 2005 lalu di Inggris, setelah menimbulkan sejumlah kematian.

Dalam tantangan itu peserta harus ditekan dadanya sekeras mungkin selama beberapa waktu.

Akibat tekanan itu suplai oksigen ke otak berkurang dan kondisi ini berujung hilangnya kesadaran hingga kematian.

Salah satu korban meninggal adalah Karnel Haughton asal Birmingham, pada 1 Juni 2016 lalu.

Pihak keluarga mengklaim Karnel meninggal karena sesak napas, dan meyakini hal ini karena choking game.

Mereka tidak percaya sang putra sengaja berusaha untuk bunuh diri.

2. Menjadi tren karena internet

Sama halnya seperti "ice bucket challenge" dan permainan di internet lainnya, choking game juga populer karena internet.

''Yang internet lakukan salah satunya adalah melegalkan perilaku-perilaku tak aman dan tak sehat,'' ujar psikolog asal Inggris Emma Citron.

3. Dilakukan bahkan oleh anak muda yang cerdas

Lembaga amal di Amerika Serikat mengungkapkan tantangan ini biasanya dilakukan anak-anak muda berusia 9-16 tahun yang rata-rata cerdas dan berprestasi, bukan mereka yang merupakan pecandu alkohol dan narkotika.

Pada 2016, mereka memperkirakan sekitar 250-1000 orang anak meninggal di Amerika Serikat karena memainkan tantangan choking game.

4. Tantangan dilakukan karena ingin jajal keberanian

Citron mengatakan bagi remaja, skip challenge dianggap sebagai permainan menjajal keberanian atau dare game.''Mereka memandang sebagai dare game. Saya tidak berpikir mereka merasa itu merugikan diri sendiri, mereka hanya tidak cukup dewasa untuk menyadari betapa sangat berbahaya permainan itu,'' tutur dia.

''Di sini ada unsur kompetitif-bagaimana saya bisa berani? Berapa banyak yang dapat saya lakukan?'' sambung Citron.***

Editor:hasan b
Sumber:tempo.co dan wartakota.com
Kategori:GoNews Group, Umum, Pendidikan, Lingkungan
wwwwwwhttps://green.radenintan.ac.id/max/https://bkpsdm.tanahlautkab.go.id/galaxy/https://143.198.234.52/sonic77https://159.223.193.153/