Terpopuler 24 Jam Terakhir
1
Soal Berbagi Sembako, Inul Daratista Balas Kritikan Netizen
Umum
16 jam yang lalu
Soal Berbagi Sembako, Inul Daratista Balas Kritikan Netizen
2
Mila Kunis dan Ashton Kutcher Tolak Perankan Kembali Film "That '90s Show" Season 2
Umum
17 jam yang lalu
Mila Kunis dan Ashton Kutcher Tolak Perankan Kembali Film That 90s Show Season 2
3
Susanto Jinakkan Torre Lewat Jebakan Krisis Waktu
Olahraga
15 jam yang lalu
Susanto Jinakkan Torre Lewat Jebakan Krisis Waktu
4
Perjuangan Melawan Penyakit SPS, Celine Dion Berharap Mukjizat
Umum
16 jam yang lalu
Perjuangan Melawan Penyakit SPS, Celine Dion Berharap Mukjizat
5
KPU DKI Jakarta Buka Pendaftaran PPK Untuk Pilkada
Pemerintahan
16 jam yang lalu
KPU DKI Jakarta Buka Pendaftaran PPK Untuk Pilkada
6
Ditanya Lebih Bangga Indonesia atau Korsel Yang Lolos ke Olimpiade 2024 Paris, Ini Jawaban Shin Tae-yong
Olahraga
13 jam yang lalu
Ditanya Lebih Bangga Indonesia atau Korsel Yang Lolos ke Olimpiade 2024 Paris, Ini Jawaban Shin Tae-yong
Home  /  Berita  /  GoNews Group

Mengenal Saksi Perjuangan Suku Kayan Dayak dan Nenek Usia 102 Tahun di Desa Miau Baru

Mengenal Saksi Perjuangan Suku Kayan Dayak dan Nenek Usia 102 Tahun di Desa Miau Baru
GoNews.co saat mendampingi Wakil Ketua MPR RI, Mahyudin ke perkampungan suku Dayak Kayan. (Muslikhin)
Sabtu, 17 Februari 2018 00:38 WIB
Penulis: Muslikhin Effendy
KUTAI TIMUR - Seiring perkembangan zaman, Suku Kayan Dayak di Desa Miau Baru, Kutai Timur, Kalimantan Timur tak lagi tinggal dihutan-hutan atau bertingkah primitif. Namun mereka sudah sangat moderen, bahkan hampir rata-rata sudah berbaur dengan suku lain seperti Batak, Bugis, Jawa dan lainnya.

Di desa itu, penduduk suku Kayan Dayak juga sudah mengenal ponsel pintar, menggunakan mobil, dan juga tak sedikit yang sudah bergelar sarjana. Bahkan ada juga yang duduk di pemerintahan sebagai pejabat daerah, anggota DPRD sampai menjadi pengusaha.

Saat GoNews.co berkesempatan langsung singgah ke pemukiman mereka, yakni Jumat (16/2/2018), bahkan tak satupun ditemui warga Kayan yang hidup primitif. Namun begitu, para penduduk Suku Kayan ini tetap memegang adat istiadat serta budaya nenek moyang.

Dari beberapa kepala suku dan pelaku sejarah Suku Kayan, ada satu perempuan yang usianya sudah mencapai 102 tahun. Nik Nilam, itu sebutan warga untuk menyapanya. Ia merupakan salah satu saksi hidup Suku Kayan, dan tertua di kampung itu.

Meski usianya sudah 102 tahun, Nik Nilam masih terlihat sehat, segar bugar. Tak disangka, perempuan keriput dengan telinga panjang dan dipenuhi tato di lengan dan kakinya itu, adalah salah satu dari ribuan warga Suku Kayan, yang melakukan perjalanan kaki dari perbatasan Malaysia dengan jarak tempuh sampai 10 tahun hingga sampai ke Kalimantan Timur.

Ya..., Suku Kayan adalah suku Dayak dari rumpun Kenyah-Kayan-Bahau yang berasal dari Sarawak. Ketika memasuki Kalimantan Timur suku Kayan pertama-tama menetap di daerah Apau Kayan disepanjang aliran sungai Kayan.

Nik Nilam kepada GoNews.co menuturkan, memilih daerah itu karena alasan saat itu sedang ada perang antar suku. Maka mereka termasuk Nik Nilam mencari daerah yang lebih subur.

"Daerah asal (Apau Kayan) sangat tertinggal dan terisolir, selain perang suku dan wabah penyakit, kami terpaksa meninggalkan Apau Kayan," ujarnya.

Padahal kata dia, tempat itu telah mereka tempati selama 300 tahun. Namun mereka terpaksa bermigrasi menuju daerah-daerah yang lebih maju agar dapat lebih berkembang kehidupannya, lokasi itu yakni di daerah aliran sungai Wahau (daerah Suku Wehea) di Kabupaten Kutai Timur terutama di Desa Miau Baru sejak tahun 1969.

"Saat itu masih zaman Kerajaan Kutai Martadipura (Kutai Mulawarman), kami memasuki Kalimantan Timur setelah terjadi kekacauan pada sekitar tahun 1863, saat itu ada suku Iban yang bermigrasi ke daerah hulu sungai Saribas dan sungai Rejang, dan menyerang suku kami," ceritanya.

"Dari perbatasan Malaysia, kami berjalan kaki, hampir kurang lebih 10 tahun. Karena setiap kami kehabisan bekal, kami akan menetap di daerah itu dan bercocok tanam. Setelah itu baru kami jalan lagi hingga sampai ke sini," ceritanya sambil sesekali mengusap air mata yang jatuh disela-sela pipi keriputnya.

Saat ini, Suku Kayan merupakan 1,4% dari penduduk Kutai Barat. Dan sebagian menetap di Desa Miau Baru. Desa ini merupakan salah satu desa di Kecamatan Kung Beang/Kong Beng yang mayoritas masyarakatnya berasal dari Suku Dayak Kayan (Uma’ Lekan) dan sejak tahun 1969 sudah mulai menetap di lokasi perkampungan yang ada saat ini.

Perkampungan Desa Miau Baru sebelumnya bernama Long Kejiak 'Long' Sungai, 'Kejiak' nama sungai dalam bahasa Suku Dayak Wehea dan lokasi perkampungan saat ini juga merupakan bekas perkampungan dan perladangan dari masyarakat Suku Dayak Wehea yang sebelumnya juga mendiami wilayah tersebut.

Sejak tahun 1969, perladangan dan perkampungan Long Kejiak kemudian dihuni oleh Masyarakat Dayak Kayan Uma' Lekan yang kemudian pada tahun 1974, perkampungan Long Kejiak dijadikan proyek resetelmen penduduk (respen) yang merupakan program dari Pemerintah Pusat dalam paket pembinaan masyarakat suku terasing di Kalimantan Timur.

Para penduduk desa ini juga diberikan bantuan berupa pembangunan perumahan, hewan peliharaan, tanaman keras, sayur mayur. Selain itu, mereka juga difasilitasi dengan pengadaan tenaga guru, pelatihanan kerajinan dan pertukangan termasuk peralatan pandai besi. 

Dari keterangan Wakil Ketua MPR RI, Mahyudin yang juga mantan Bupati Kutai Timur, Proyek ini berakhir pada tahun 1978, dan nama kampung Long Kejik diubah menjadi Desa Miau Baru  dengan status Desa Persiapan. 

"Jadi pada tahun 1997 Desa Miau Baru diresmikan sebagai desa definitif," ujar Mahyudin.

Masyarakat Dayak Kayan Uma' Lekan adalah penduduk pendatang yang bermigrasi ke wilayah Wehea. Mereka berasal dari tiga kampung di daerah Apo Kayan (Kabupaten Malinau sekarang), yaitu kampung Long Hiban, Long Belerang dan kampung Pura.

Sesuai cerita dari Nik Nilam, perpindahan mereka dari Apo Kayan ke Wahau bermula dari tahun 1962 dan 1963, ketika beberapa tokoh masyarakat dari kampung Long Hiban dan Long Belerang datang melakukan perjalanan panjang dari Apo Kayan menuju Kabupaten Kutai untuk mencari kawasan permukiman baru.

Mereka ingin mencari tempat permukiman baru agar lepas dari berbagai kendala ekonomi, sosial dan komunikasi yang menghambat mereka karena lokasi kampung yang terpencil di balik perbukitan dan jauh dari pusat-pusat kemajuan.

Tiba di Wehea, mereka menemui kepala adat dan tokoh-tokoh masyarakat Dayak Wehea di Nehes Liah Bing, kelompok etnis yang sudah lebih dahulu menempati wilayah Muara Wehea (Lebeng Wehea), dan meminta izin untuk diberikan tempat membangun kampung.

Orang Dayak Wehea menerima permintaan itu dan mengalokasikan kawasan di muara Sungai Miau sebagai cikal bakal perkampungan orang Dayak Kayan Uma' Lekan yang akan pindah tersebut.

"Pada tahun 1963 kedua kelompok suku ini membuat ikrar persaudaraan menurut adat Dayak untuk hidup secara harmonis di wilayah adat Dayak Wehea," cerita Mahyudin.

Perjalanan kehidupan warga suku Kayan Uma' Lekan yang pindah dari Apo Kayan tersebut selanjutnya menjadi bagian dari sejarah berdirinya Desa Miau Baru yang sekarang. Mata pencaharian utama mereka di tempat baru adalah berladang, dengan memanfaatkan jalur sungai sebagai akses masuk membuka lahan.

Saat ini, penduduk Desa Miau Baru yang mayoritas masyarakatnya berasal dari Suku Dayak Kayan Uma’ Lekan berjumlah 5.066 jiwa dengan perbandingan jumlah penduduk laki-laki dan perempuan adalah 2.697 jiwa berbanding 2.371 jiwa.

Sebagai sebuah desa eks program respen, Desa Miau Baru cukup tertata baik terutama dalam penataan permukiman kampung dan di desa tersebut terdapat sebuah lamin (rumah adat) yang menarik dan dipenuhi motif ukiran khas Suku Dayak Kayan termasuk sebuah lumbung padi yang juga dipenuhi ukiran.

Sebagai desa yang kini menjadi pusat kecamatan Kung Beang (hasil pemekaran dari Kecamatan Muara Wehea), terlihat memang sangat berkembang apalagi disana juga sudah berdiri Kantor Camat yang berada dalam wilayah desa serta UPT Puskesmas Kung Beang dan juga didukung oleh adanya beberapa sekolah mulai dari tingkat pendidikan dasar hingga menengah atas.

"Dayak Kayan Miau Baru merupakan suku yang masih memegang teguh adat istiadatnya, walaupun tidak primitif seperti dulu. Karena masyarat Dayak Kayan Miau Baru 97% memeluk agama Kristen Protestan,dan sisanya 3% memeluk agama lain," tandasnya.

Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Dayak Kayan Miau Baru hidup dalam bercocok tanam mulai dari berladang, berkebun, bersawah dan ada juga berburu. "Saat saya menjabat jadi Bupati, saya sudah bangun satu bendungan untuk irigasi sawah. Dan alhamdulillah, meraka bisa menanam padi tidak lagi menunggu air hujan," ujar Mahyudin.

Di desa itu kata Mahyudin, masyarakatnya masih menjunjung tinggi yang namanya persatuan dan gotong royong, ini terlihat dari acara kematian, acara nikah, dan acara keagamaan. Salah satu dari acara tersebut masyarakat Dayak Kayan menyempatkan diri untuk ambil bagian. "Jadi setiap orang dilarang melakukan aktivitas sehari-harinya kecuali yang mengajar,PNS,dan yang sekolah jika ada acar-acara seperti keagamaan maupun ada orang meninggal," tandasnya.

Mahyudin yang sejak 12 tahun hijrah ke Jakarta, kembali bernostalgia di kampung itu. Ia pun menyempatkan diri menikamti suguhan atraksi seperti tari-tarian yang dibawakan sekelompok pelaku seni dari tingkat anak-anak hingga dewasa. Mahyudin pun napak tilas ke beberapa tempat, mengunjungi tetua adat termasuk juga memberikan santunan kepada Nik Nilam.

Iapun berharap, agar budaya dan kesenian adat Dayak di Kalimantan Timur, bisa terjaga dengan baik dan tidak punah. "Kesenian dan adat istiadat ini harus dijaga. Inilah Indonesia, kaya akan keberagaman budaya. Ini tak boleh punah," pungkas Mahyudin. ***

wwwwwwhttps://143.198.234.52/sonic77https://159.223.193.153/https://64.23.207.118/http://152.42.220.57/