Terpopuler 24 Jam Terakhir
1
Iwan Bule: Putusan MK Tepat, Tak Ada Cawe-Cawe Presiden di Pemilu 2024 Lalu
Politik
24 jam yang lalu
Iwan Bule: Putusan MK Tepat, Tak Ada Cawe-Cawe Presiden di Pemilu 2024 Lalu
2
Bernard van Aert Resmi Lolos ke Olimpiade 2024 Paris
Olahraga
12 jam yang lalu
Bernard van Aert Resmi Lolos ke Olimpiade 2024 Paris
3
PERBASI Panggil 14 Pemain untuk Ikut TC Tahap Kedua Timnas Basket U-18 Putri di Bali
Olahraga
12 jam yang lalu
PERBASI Panggil 14 Pemain untuk Ikut TC Tahap Kedua Timnas Basket U-18 Putri di Bali
4
PT Pertamina Siap Dukung PB Percasi Lahirkan Pecatur Andal
Olahraga
2 jam yang lalu
PT Pertamina Siap Dukung PB Percasi Lahirkan Pecatur Andal
5
Susanto Megaranto Kalah, IM Gilbert Elroy Tarigan Bermain Remis
Olahraga
1 jam yang lalu
Susanto Megaranto Kalah, IM Gilbert Elroy Tarigan Bermain Remis
Home  /  Berita  /  GoNews Group

Miliki Kewenangan Terlalu Besar, Perlu Lembaga Untuk Mengawasi

Miliki Kewenangan Terlalu Besar, Perlu Lembaga Untuk Mengawasi
Jum'at, 21 September 2018 19:16 WIB
Penulis: Muslikhin Effendy
JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) adalah lembaga negara yang memiliki wewenang cukup besar, namun MK juga satu-satunya lembaga negara yang lemah pengawasan. MK menjadi satu-satunya lembaga negara yang tidak diawasi dan memiliki alat kontrol (pengawasan) dari lembaga lain.

"Ini cukup berbahaya. Karena tidak memiliki alat kontrol dan pengawasan, maka MK memiliki potensi besar untuk abuse of power," kata anggota MPR dari Kelompok DPD, Benny Ramdhany, dalam diskusi Empat Pilar MPR dengan tema “Batas Kewenangan MK dalam (Menafsir) Konstitusi” di Media Center MPR/DPR Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen, Senayan, Jumat (21/9/2019).

Turut berbicara dalam diskusi yang diadakan Koordinatoriat Wartawan Parlemen bekerjasama dengan Biro Humas MPR adalah Pakar Hukum Tata Negara Benny Sabdo dan anggota MPR dari Fraksi PDI Perjuangan Masinton Pasaribu.

Benny Ramdhany memberi contoh akibat tidak adanya alat kontrol dan pengawasan terhadap MK munculah perkara yang melibatkan hakim MK. "Tidak adanya pengawasan itulah menjadi penyebab munculnya perkara hakim di MK termasuk kasus Patrialis Akbar dan Akil Mochtar," katanya.

Padahal, menurut Benny Ramdhany, pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono pernah dibuat Perppu terkait MK. Perppu itu mengatur tentang rekrutmen hakim dan pengawasan oleh Komisi Yudisial. "Namun, MK membatalkan Perppu itu. Akhirnya MK tidak diawasi lagi oleh Komisi Yudisial," tuturnya.

"Selain itu, DPR juga pernah merevisi UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK. Namun, MK juga membatalkan revisi UU tesebut. Jadi, MK tidak mau dikontrol pihak lain," sambungnya.

Walaupun MK sekarang memiliki Dewan Etik, lanjut Benny Ramdhany, namun pengawasan internal ini menyimpan banyak masalah sehingga tidak bekerja efektif. Problem terbesar Dewan Etik adalah karena lembaga ini dibentuk sendiri oleh MK berdasarkan peraturan MK.

"Para hakim MK (pimpinan MK) memegang peranan penting dalam proses pengangkatan anggota dan kerja Dewan Etik. Bahkan, para hakim MK bisa mempengaruhi tahap pembentukan Majelis Kehormatan yang akan mengadili dugaan pelanggaran etik hakim MK. Dengan demikian secara kelembagaan dan atmosfer bekerja, Dewan Etik akan menghadapi kendala-kendala yang muncul akibat relasi kuasa antara pimpinan MK dan Dewan Etik. Secara aturan dan kelembagaan, Dewan Etik berada di bawah kontrol MK, lembaga yang seharusnya diawasi," papar anggota DPD dari Sulawesi Utara ini.

Menurut Benny, MK masih menjadi mekanisme nasional yang efektif untuk penegakan HAM dan rule of law. Tapi ada sejumlah catatan untuk bekal perbaikan di masa yang akan datang. Selain tidak adanya lembaga pengawas, ada persoalan lain di MK antara lain soal kewenangan absolut MK.

"Persoalan lainnya terkait dengan akuntabilitas dalam proses seleksi hakim dan terkait dengan manajemen perkara. Masalah-masalah ini yang menyebabkan potensi abuse (penyalahgunaan) bisa terjadi," ujarnya.

Sementara itu pakar Hukum Tata Negara, Benny Sabdo juga mengungkapkan adanya potensi abuse of power MK itu. Kasus yang menimpa Akil Mochtar dan Patrialis Akbar menjadi bukti adanya potensi abuse of power tersebut.

"Putusan MK memang harus diikuti karena sifatnya final dan mengikat. Namun MK tidak selalu benar. Artinya, masih ada kasus di MK seperti Akil Mochtar dan Patrialis Akbar. Sehingga ada juga potensi abuse of power dari MK," pungkasnya.***

wwwwwwhttps://143.198.234.52/sonic77https://159.223.193.153/https://64.23.207.118/http://152.42.220.57/