Terpopuler 24 Jam Terakhir
1
Dengan Tema Mawar Hitam, Pameran Busana Migi Rihasalay Pukau Pengunjung Indonesia Fashion Week 2024
Umum
8 jam yang lalu
Dengan Tema Mawar Hitam, Pameran Busana Migi Rihasalay Pukau Pengunjung Indonesia Fashion Week 2024
2
Nova Arianto Panggil 36 Pemain untuk Seleksi Timnas U-16 Tahap Kedua
Olahraga
7 jam yang lalu
Nova Arianto Panggil 36 Pemain untuk Seleksi Timnas U-16 Tahap Kedua
3
Langsung Pantau Persiapan, Menpora Dito Ingin Berikan Kado Terbaik buat Presiden Jokowi dari Olimpiade 2024 Paris
Olahraga
9 jam yang lalu
Langsung Pantau Persiapan, Menpora Dito Ingin Berikan Kado Terbaik buat Presiden Jokowi dari Olimpiade 2024 Paris
4
Lawan Bali United, Thomas Doll Harapkan Pemain Persija Jakarta Bugar
Olahraga
6 jam yang lalu
Lawan Bali United, Thomas Doll Harapkan Pemain Persija Jakarta Bugar
5
Mahesa Jenar Terlecut Dukungan Panser Biru
Olahraga
7 jam yang lalu
Mahesa Jenar Terlecut Dukungan Panser Biru
6
Cinta Laura Tetap Produktif di Bulan Ramadan
Umum
9 jam yang lalu
Cinta Laura Tetap Produktif di Bulan Ramadan
Home  /  Berita  /  GoNews Group

RKUHP: Kepala Desa Bisa Adukan Pasangan Kumpul Kebo

RKUHP: Kepala Desa Bisa Adukan Pasangan Kumpul Kebo
Ilustrasi. (Net)
Kamis, 19 September 2019 15:02 WIB
JAKARTA - Draf Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) revisi 15 September 2019 memperluas celah pengenaan pidana terhadap perbuatan hidup bersama atau tinggal serumah tanpa ada status pernikahan atau biasa disebut kumpul kebo. Kepala desa jadi dapat mengadukan pasangan kumpul kebo kepada Kepolisian.

Mulanya ancaman pidana pada Pasal 419 hanya bisa dilakukan jika ada pengaduan dari suami, istri, orangtua atau anak. Namun berdasar revisi terbaru, tim panitia kerja DPR sepakat untuk menambah pihak pengadu, yakni kepala desa.

Pasal 419 RKUHP ayat 1 berbunyi, "setiap orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan dipidana dengan pidana penjara paling lama enam bulan atau pidana denda paling banyak kategori II."

Lalu ayat 2 pasal ini mengatur penuntutan hanya bisa terjadi jika ada pengaduan dari suami, istri, orang tua dan anak.

Kemudian pembahasan pada 15 September 2019 lalu, ada penambahan ayat 3 yang menyatakan, "pengaduan sebagaimana dimaksud dapat juga diajukan oleh kepala desa atau dengan sebutan lainnya sepanjang tidak terdapat keberatan dari suami, istri, orang tua dan anak."

Perubahan itu menuai kritik dari Institute for Criminal Justice (ICJR). Mereka menilai perubahan tersebut berpotensi memperburuk kondisi penegakan hukum.

"Memiliki celah kesewenang-wenangan yang lebar, selain keberadaan pasal tersebut juga merupakan masalah overkriminalisasi," kata Direktur ICJR Anggara melalui keterangan tertulis, Rabu (18/9).

Menurut dia, pengaturan pasal perzinahan dan kumpul kebo dalam RKUHP tanpa disertai pertimbangan yang matang bakal membahayakan 40 hingga 50 juta anggota masyarakat adat serta 55 persen pasangan menikah di rumah tangga miskin. Dia menilai itu sangat bisa terjadi mengingat ada kesulitan untuk membuat pencatatan perkawinan bagi kalangan tertentu.

"Tanpa sosialisasi yang jelas, laporan dari Kepala Desa untuk tindak pidana kesusilaan seperti kohabitasi (hidup bersama di luar perkawinan) berpotensi memidanakan 40% remaja yang sudah melakukan aktivitas seksual," ungkap Anggara bertolok pada data Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) pada 2014.

DPR berencana mengesahkan RKUHP pada 24 September mendatang. Mereka tetap memasang target dalam waktu dekat meski banyak poin revisi yang dianggap kontroversi oleh sejumlah pihak.

Misalnya Pasal 432 tentang penggelandangan. Dalam beleid tersebut, penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) seperti gelandang bisa dikenakan pidana denda.

Aliansi Nasional Reformasi KUHP menyebut pemerintah juga memiliki mental penjajah karena berusaha membangkitkan pasal-pasal antidemokrasi dalam RKUHP.

Misalnya, pasal 223 dan 224 soal larangan penyerangan terhadap harkat martabat presiden dan wakil presiden. Dua pasal itu dinilai mengancam orang yang menghina presiden dengan hukuman maksimal 3,5 tahun dan 4,5 tahun penjara.

Aliansi juga menyoroti pasal-pasal yang memidanakan makar, seperti pasal 195, 196, dan197. Berkaca dari peristiwa reformasi 1998 dan akhir-akhir ini, Aliansi berujar pasal itu hanya akan jadi bentuk antidemokrasi pemerintah.***

Editor:Muslikhin Effendy
Sumber:CNNIndonesia.com
Kategori:GoNews Group, Peristiwa, Hukum, Pemerintahan, Politik, DKI Jakarta
wwwwwwhttps://green.radenintan.ac.id/max/https://bkpsdm.tanahlautkab.go.id/galaxy/https://143.198.234.52/sonic77