Terpopuler 24 Jam Terakhir
1
Dengan Tema Mawar Hitam, Pameran Busana Migi Rihasalay Pukau Pengunjung Indonesia Fashion Week 2024
Umum
13 jam yang lalu
Dengan Tema Mawar Hitam, Pameran Busana Migi Rihasalay Pukau Pengunjung Indonesia Fashion Week 2024
2
Lawan Bali United, Thomas Doll Harapkan Pemain Persija Jakarta Bugar
Olahraga
11 jam yang lalu
Lawan Bali United, Thomas Doll Harapkan Pemain Persija Jakarta Bugar
3
Nova Arianto Panggil 36 Pemain untuk Seleksi Timnas U-16 Tahap Kedua
Olahraga
12 jam yang lalu
Nova Arianto Panggil 36 Pemain untuk Seleksi Timnas U-16 Tahap Kedua
4
Cinta Laura Tetap Produktif di Bulan Ramadan
Umum
14 jam yang lalu
Cinta Laura Tetap Produktif di Bulan Ramadan
5
Persis Solo Pantau Fisik Pemain Selama Ramadan
Olahraga
11 jam yang lalu
Persis Solo Pantau Fisik Pemain Selama Ramadan
6
Langsung Pantau Persiapan, Menpora Dito Ingin Berikan Kado Terbaik buat Presiden Jokowi dari Olimpiade 2024 Paris
Olahraga
14 jam yang lalu
Langsung Pantau Persiapan, Menpora Dito Ingin Berikan Kado Terbaik buat Presiden Jokowi dari Olimpiade 2024 Paris
Home  /  Berita  /  GoNews Group

RCEP Berpotensi Merugikan Bangsa, Perpres juga Bisa Batal Demi Hukum

RCEP Berpotensi Merugikan Bangsa, Perpres juga Bisa Batal Demi Hukum
(Regional Comprehensive Economic Partnership
Jum'at, 18 Oktober 2019 16:05 WIB
Penulis: Muhammad Dzulfiqar
JAKARTA - Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Ekonomi yang terdiri dari Indonesia for Global Justice (IGJ), Indonesia AIDS Coalition (IAC), Solidaritas Perempuan, Kesatuan Perjuangan Rakyat (KPR), Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) dan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), meminta pemerintah untuk menjeda sementara perjanjian perdagangan bebas atau free trade agreement (FTA) khususnya RCEP (Regional Comprehensive Economic Partnership) di ASEAN.

Penjedaan dinilai penting sampai bisa dipastikan bahwa isi RCEP turut melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darahnya, serta memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana diamanatkan UUD 1945.

Perundingan ASEAN RCEP (Regional Comprehensive Economic Partnership) yang akan difinalisasi pada November 2019 di Bangkok, dinilai koalisi, bisa membahayakan Indonesia. Pasalnya, sementara pemerintah tak punya guide line dalam melakukan perjanjian internasional, proses-proses pembahasan dengan dunia internasional justru terkesan tertutup dan kurang akomodatif terhadap masukan dan pertimbangan dari masyarakat Indonesia sebagai penerima dampak dari RCEP.

Soal Investasi Asing, Hak Kekayaan Intelektual (HKI), perlindungan perburuhan, de-regulasi dan privatisasi layanan publik, serta investasi pertanahan yang menggusur pertanian subsisten, menjadi poin-poin yang menjadi catatan kegagalan proses yang tak cukup aspiratif itu.

"Ya sampai masyarakat ini benar-benar dilibatkan. Karena ini juga dampaknya luas hingga kepada revisi UU Ketenagakerjaan. Ada isu soal hubungan kerja, pesangon, dan gaji yang kualitasnya terus menurun dari tahun ke tahun-meskipun secara nominal memang naik," kata perwakilan KPR, Herman dalam konferensi pers di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Jumat (18/10/2019).

Di tempat yang sama, perwakilan IGJ, Maulana mengungkapkan, pihaknya sangat menyoroti 'chapter' soal investasi dalam bicoran draf perundingan RCEP. "Soal investasi itu, ada perlindungan yang berlebih terhadap investor, sehingga investor bisa menggugat negara melalui arbitrase internasional,".

"Ini kan artinya meletakkan posisi negara kita di bawah investor," ujar Maulana.

Secara teknis, terang Maulana, jika RCEP rampung difinalisasi pada November mendatang, maka presiden akan membuat Perpres (peraturan presiden) sebagai acuan di dalam negeri. Dan teknis ini keliru karena pasal 10 UU Perjanjian Internasional (UU 24/2000) telah bersinggungan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 13/PUU-XVI/2018.

Berdasarkan putusan MK itu, DPR RI harus menilai terlebih dahulu dampak sebuah perjanjian internasional sesuai dengan kategori yang terdapat dalam Pasal 11 ayat (2) UUD 1945, yakni menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang.

Sehingga, kata Maulana, jika praktis diterbitkan Perpres, maka Perpres itu bisa batal demi hukum, "karena dia tidak mematuhi hukum tata negara,".

"Yang paling jelas adalah, Presiden tidak mematuhi putusan Mahkamah Konstitusi," tegas Maulana.

Karenanya, Maulana meminta DPR lebih pro aktif dalam membenahi perjanjian-perjanjian internasional.***

Editor:Muslikhin Effendy
Kategori:GoNews Group, Umum, Pemerintahan, DKI Jakarta
wwwwwwhttps://green.radenintan.ac.id/max/https://bkpsdm.tanahlautkab.go.id/galaxy/https://143.198.234.52/sonic77https://159.223.193.153/