Aktivis: Negara Berkewajiban Mencatat Pernikahan Beda Agama
"Kementerian Agama RI harus mencatat pernikahan beda agama itu," kata Nukila merujuk pada pernikahan Stafsus Presiden RI baru-baru ini, sebagai contoh.
Dasarnya, kata Nukila, adalah putusan MA 1400/K/PDT/1986. "Peristiwa tahun 1986 kala itu, menunjukkan pada kita bahwa tidak adalah halangan bagi mereka (pasangan beda agama, red) untuk menikah," kata Nukila.
Ia menjelaskan, pernikahan di Indonesia telah diatur dalam Undang-Undang 16/2019. "Negara melalui Undang-Undang tentang Perkawinan itu mengamanatkan bahwa pernikahan diserahkan pada ketentuan agama dan kepercayaan masing-masing,".
"Jadi, nikah beda agama boleh sebenarnya. Tinggal nanti, secara seremoni tergantung pada pemuka agama masing-masing," ujar Nukila.
Nukila melanjutkan, bahwa jika merujuk pada Undang-Undang 24/2013 tentang Adminduk (Administrasi Kependudukan), pernikahan itu kan tetap akan dicatat.
"Sehingga tinggal memilih saja agama mana yang akan dicatat di Adminduk," kata Nukila.
Lebih jauh, lanjut Nukila, rights to marry atau hak untuk menikah dan berkeluarga merupakan hak setiap setiap orang dan dijamin UU 39/1999. "Deklarasi HAM Universal juga jadi konsensus hukum kita lho,".
"Jadi, saya mengerti bahwa perdebatan mengenai pernikahan beda agama akan selalu ada, tapi bagi saya, kembali kepada aturan perundangan adalah pilihan terbaik dalam menentukan sikap," kata Nukila.
Ia memungkasi, jika peraturan perundangan dianggap masih debatable maka rakyat bisa mendorong agar UU Perkawinan direvisi untuk lebih memberi kepastian hukum bagi warga negara.***
Editor | : | Muhammad Dzulfiqar |
Kategori | : | Hukum, Nasional, DKI Jakarta |