Terpopuler 24 Jam Terakhir
1
Aditya Bagus Arfan Tuntaskan Misi di Pertamina Indonesian Grand Master Tournament 2024
Olahraga
18 jam yang lalu
Aditya Bagus Arfan Tuntaskan Misi di Pertamina Indonesian Grand Master Tournament 2024
2
Digosipkan Pacari Putri Zulkifli Hasan, Venna Melinda Dukung Verrel Bramasta
Umum
14 jam yang lalu
Digosipkan Pacari Putri Zulkifli Hasan, Venna Melinda Dukung Verrel Bramasta
3
Tom Holland dan Zendaya Rahasiakan Persiapkan Pernikahan
Umum
14 jam yang lalu
Tom Holland dan Zendaya Rahasiakan Persiapkan Pernikahan
4
Kadis Nakertransgi: Pemprov DKI Berkomitmen Tingkatkan Kesejahteraan Pekerja
Pemerintahan
17 jam yang lalu
Kadis Nakertransgi: Pemprov DKI Berkomitmen Tingkatkan Kesejahteraan Pekerja
5
Prilly Latuconsina Bikin Film Horor 'Temurun' Jadi Ajang Fun Run
Umum
14 jam yang lalu
Prilly Latuconsina Bikin Film Horor Temurun Jadi Ajang Fun Run
Home  /  Berita  /  Riau

Aviliani: Dana Restorasi Gambut Harus G to G

Aviliani: Dana Restorasi Gambut Harus G to G
Kamis, 10 Maret 2016 09:31 WIB
JAKARTA - Pendanaan asing baik hibah maupun pinjaman untuk kegiatan Badan Restorasi Gambut (BRG)  harus menjadi kebijakan Government to Government (G to G).

Pengamat ekonomi Aviliani mengatakan,  kebijakan G to G menjamin penguatan transparansi dan akuntabilitas. Pendanaan langsung kepada kelompok tertentu dan LSM lingkungan harus dihindari agar tidak menimbulkan kontroversi.  Apalagi,  masyarakat dan dunia usaha di Indonesia “tidak percaya” kepada kredibilitas LSM lingkungan.

Aviliani juga meminta  pemerintah mengumumkan nama-nama LSM terlibat dalam kegiatan restorasi tersebut. “Masalahnya, banyak LSM yang tidak kredibel di sekitar pemerintahan. Mereka  kerap mengatasnamakan lingkungan, namun mengusung kepentingan lain,” kata Aviliani di Jakarta, Selasa (8/3).

Menurut Aviliani, pemerintah tidak boleh mengabaikan peran dunia usaha yang telah menginvestasikan dana cukup besar pada kegiatan  sosial dan lingkungan. “Jauh sebelum BRG berdiri, dunia usaha seperti industri kepala sawit dan Hutan Tanaman Industri (HTI) telah  membantu kehidupan sosial masyarakat dan merehabilitasi kawasannya. “

Direktur Tropical Peat Research Laboratory (TPRL) Malaysia Lulie Melling mengatakan, semua kegiatan pemanfaatan lahan perkebunan  di Malaysia diatur pemerintah agar terintegrasi.

Pemerintah  juga menaruh perhatian tinggi dan mendanai riset pemanfatan lahan untuk menjaga keseimbangan ekologi dan ekonomi. Semua kegiatan riset  berlangsung dalam perencanaan jangka panjang yang hasilnya dihormati bersama.

Itu berarti, ketika pemerintah memberi izin konsesi, pemerintah juga melindungi kegiatan korporasi tersebut dari semua gangguan, termasuk kampanye hitam LSM yang juga marak di Malaysia.

”Pemerintah sangat memproteksi korporasi  karena teruji dan memberi dampak bagi pertumbuhan ekonomi. Malaysia tiga kali terselamatkan dari krisis ekonomi karena peran industri perkebunan,” kata Lulie Melling.

Pengamat Lingkungan dan kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) Ricky Avenzora sependapat jika pendanaan BRG yang bersumber dari negara donor perlu diamati serta diawasi aturan mainnya.

''Jangan sampai negara dan bangsa kita diatur bangsa asing serta kemudian dijerat utang. Kita harus belajar dari pengalaman REDD (Reducing Emission from Deforeststasion and Forest Degradation),'' ujarnya.

“Saya yakin Presiden Jokowi sangat paham duduk perkara kegagalan REDD, namun sayang presiden sepertinya belum merdeka dari jajahan para mafia donor lingkungan yang berkeliaran di sekitar beliau,” kata Ricky.

Menurut Ricky , bukti keberhasilan dalam proses rehabilitasi hutan justru ditunjukkan perusahaan sawit dan HTI. Berbagai areal terbengkalai berupa padang alang-alang, semak belukar, ataupun hutan sekunder muda berhasil dihijaukan kembali oleh perusahaan sawit dan HTI. Keanekaragaman hayati juga terus ditingkatkan melalui skema kewajiban High Conservation Value (HCV) dan berbagai sertifkasi lingkungan terkait.

“Untuk mewujudkan hal tersebut, sebaiknya pemerintah merangkul perusahaan-perusahaan terkait. Potensi finansial berbagai perusahaan sawit dan HTI di Indonesia jauh lebih dari cukup untuk menghijaukan semua kawasan hutan yang terbengkalai selama ini. Perlu kita ingat bahwa beban negara bukan hanya mencakup 2 juta hektar yang menjadi tanggung jawab BRG, melainkan mencapai 37 juta hektar yang rusak karena kekeliruan politik lingkungan pada masa lalu,” kata dia. ***

Editor:Hermanto Ansam
Kategori:Umum, Riau
wwwwwwhttps://143.198.234.52/sonic77https://159.223.193.153/https://64.23.207.118/http://152.42.220.57/