Terpopuler 24 Jam Terakhir
1
Rohmalia Pecahkan Rekor Dunia Cricket di Seri Bali Bash International
Olahraga
10 jam yang lalu
Rohmalia Pecahkan Rekor Dunia Cricket di Seri Bali Bash International
2
Melaju ke Semifinal Piala Asia U 23, STY Sebut Meningkat Kepercayaan Timnas U 23 Indonesia
Olahraga
11 jam yang lalu
Melaju ke Semifinal Piala Asia U 23, STY Sebut Meningkat Kepercayaan Timnas U 23 Indonesia
3
Timnas Cricket Putri Indonesia Kalahkan Mongolia di Bali Bash Internasional
Olahraga
10 jam yang lalu
Timnas Cricket Putri Indonesia Kalahkan Mongolia di Bali Bash Internasional
4
Penuhi Target ke Semifinal Piala Asia U 23, Timnas Indonesia Selangkah Lagi Raih Tiket ke Paris
Olahraga
23 jam yang lalu
Penuhi Target ke Semifinal Piala Asia U 23, Timnas Indonesia Selangkah Lagi Raih Tiket ke Paris
5
Cetak Sejarah Baru, Timnas U 23 Indonesia Melaju ke Semifinal Piala Asia U 23
Olahraga
22 jam yang lalu
Cetak Sejarah Baru, Timnas U 23 Indonesia Melaju ke Semifinal Piala Asia U 23
6
Seleksi Lokakarya Wasit dan Asisten Wasit Liga 3 Tahun 2023/2024 Bergulir
Olahraga
5 jam yang lalu
Seleksi Lokakarya Wasit dan Asisten Wasit Liga 3 Tahun 2023/2024 Bergulir
Home  /  Berita  /  GoNews Group

Kisah Ekstrem Fazham Fadlil, Pria Asal Riau yang Berlayar Pakai Perahu Sendirian dari New York ke Kampung Halaman, Dihantam Badai dan Navigasinya Rusak di Segitiga Bermuda

Kisah Ekstrem Fazham Fadlil, Pria Asal Riau yang Berlayar Pakai Perahu Sendirian dari New York ke Kampung Halaman, Dihantam Badai dan Navigasinya Rusak di Segitiga Bermuda
Fazham Fadlil. (liputan6.com)
Senin, 09 Januari 2017 08:26 WIB
JAKARTA - Fazham Fadlil yang kini berusia 65 tahun, sangat mencintai laut sejak kecil. Setelah hidup selama 20 tahun di Amerika Serikat (AS), Fazham memutuskan untuk melakukan hal ekstrem, pulang ke kampung halamannya di Indonesia dengan berlayar seorang diri.

Fazham yang dikenal pula sebagai Sam, lahir di Pulau Buluh, Riau. Sosoknya akrab dengan kehidupan laut sejak kanak-kanak.

Ketika dewasa, ia bekerja di sebuah perusahaan kapal pesiar mewah. Pekerjaannya membawa Sam menempuh perjalanan panjang ke luar negeri hingga akhirnya ia berlabuh di New York pada tahun 1970-an.

"Sejak saat itu saya menetap di Brooklyn, salah satu kota di New York," ujar Sam seperti dikutip dari Brilio, Senin, (9/1/2017).

Selama tinggal di Brooklyn, ia sempat bekerja sebagai pencuci piring, penjual makanan di kereta, dan juga pengantar makanan. Sementara di malam harinya ia meluangkan waktu untuk membaca buku di perpustakaan umum dan mengambil kursus seni hingga suatu waktu ia mendapatkan pekerjaan tetap sebagai kaligrafer di sebuah studio disain grafis.

Seperti dikisahkan di dalam bukunya "Mengajar Pelangi di Balik Gelombang", di saat yang sama ketika ia mulai hidup nyaman, gairahnya untuk kembali berlayar pun muncul. Sam kala itu mampu membeli sebuah perahu di Chesapeake Bay di Maryland.

Ia menamai perahunya itu "Stray". Dan dengan "Stray", hasratnya untuk kembali ke Indonesia tak terbendung. Dan setelah memulai cukup banyak persiapan tepatnya Desember 1992, Sam memulai perjalanan "ekstrem''nya via laut dari New York ke Indonesia.

Setelah berlayar selama beberapa hari, Sam ternyata menghadapi cuaca dan gelombang yang tak pernah diduganya. Dan tujuh hari mengarungi lautan, pria itu memutuskan untuk kembali ke New York.

"Akhirnya saya putuskan untuk kembali ke New York karena saya takut tidak bisa menanganinya," cerita Sam.

Tidak Menyerah

Namun Sam tidak menyerah. Enam bulan berikutnya ia melakukan persiapan kembali untuk mengarungi lautan.

Dalam perjalanannya, ia harus menyeberangi Samudera Atlantik, Laut Karibia, Terusan Panama, dan perairan terbesar di dunia, Samudera Pasifik. Setelahnya ia masih harus menyeberangi Selar Torres sebelum akhirnya memasuki Laut Arafura.

Hari pertama di perjalanannya, ia mulai beradaptasi dengan gelombang. Rintangan pertamanya adalah arus teluk dari New York ke Panama.

Setelah itu Sam harus mengarungi Segitiga Bermuda yang misterius. Di sana ia berjuang menghadapi badai dan alat navigasi yang rusak.

Di lain waktu, ia juga dihadapkan pada tantangan lainnya. Termasuk sistem GPS yang rusak. Namun Sam beruntung, ia memahami astronomi.

"Setiap hari, saya membaca sebuah buku dan Al Quran," kata pria itu.

Suatu waktu, mesin perahunya mati dan meninggalkan ia terombang-ambing di laut. Dan sembari menunggu angin untuk melanjutkan perjalanan, ia pun menghabiskan diri membaca.

Angin pun bertiup dan ia melanjutkan pelayarannya ke Panama melalui Mona Passage. Dan setibanya ia di Panama, ia pun dapat memperbaiki perahunya.

Ia harus membongkar mesin kapalnya. Dan seketika dana perjalanannya berkurang karena beberapa bagian ada yang harus diganti.

Sam lagi-lagi mendapat "pertolongan". Melalui teman-teman baru yang ditemuinya di perjalanan ia mampu mengumpulkan uang untuk melanjutkan pelayarannya ke Indonesia. Ia pun siap untuk menghadapi Samudera Pasifik.

Dari Panama ia berlayar ke selatan menuju perairan Indonesia melalui Selat Torres. Sam sempat berhenti selama tiga hari di Papua Nugini.

Meski tak mudah, namun pelayarannya di Selat Torres berjalan lancar. Ia pun tiba di Laut Arafura, Indonesia dan sempat berlabuh sementara di Bali sebelum akhirnya merapat di Tanjung Priok.

"Ketika tiba di Bali, saya tidak memiliki satu rupiah pun. Yang saya punya hanya US$ 5. Hal pertama yang saya lakukan setelah berlabuh adalah menelepon ibu saya," imbuhnya.

Pelayaran Sam dilakukan selama lima bulan dan selama itu pula ia telah menempuh perjalanan sejauh 15.000 mil!***

Editor:hasan b
Sumber:liputan6.com
Kategori:GoNews Group
wwwwwwhttps://143.198.234.52/sonic77https://159.223.193.153/https://64.23.207.118/http://152.42.220.57/