Soal Permintaan Penghapusan Pasal Penista Agama, Fahri Hamzah: Pemerintah Lemot
Penulis: Muslikhin Effendy
Menurut dia, selama ini yang berkomentar soal isu tersebut hanya DPR, pengamat, dan masyarakat. "Kalau Presiden punya pandangan, harusnya disampaikan," kata Fahri di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin, (15/5/ 2017).
Fahri menyayangkan sikap Istana yang tidak pernah mengeluarkan pendapatnya. Padahal, penghapusan pasal penistaan agama merupakan isu yang harus cepat diselesaikan.
"Emang lemot nih Istana, payah. Gak ngomong soal begini, ini masalah penting. Masalah krusial harus cepet," tuturnya.
Ia berujar, Istana harusnya meniru pemerintahan Amerika Serikat. Pihak Gedung Putih, kata dia, memiliki satu pejabat khusus yang siap bertemu dan menjawab pertanyaan media. "Ini (Istana Negara) enggak. Semua peristiwa, Istana diem aja. Istana kerjanya apa?" ucapnya.
Fahri menuturkan tiap masalah penting dan krusial seharusnya dibicarakan setiap hari oleh Istana. "Harusnya Istana ngomong duluan. Salah Istana kalau katakan kerja, kerja, kerja, tapi gak ngomong," ujarnya.
Dorongan untuk menghapus pasal itu muncul setelah Gubernur DKI Jakarta nonaktif Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok divonis bersalah dalam tuduhan menodai agama Islam. Ahok dihukum dua tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Bahkan dunia Internasional turut memberikan komentarnya.
Kasus Ahok membuat Perserikatan Bangsa-Bangsa berkomentar. Melalui Kantor Komisioner Tinggi Hak Asasi Manusia Asia Tenggara PBB (OHCHR), mereka mendesak Indonesia meninjau kembali pasal-pasal penistaan agama. Protes juga datang dari Amnesty International. Mereka menyatakan vonis Ahok adalah cerminan ketidakadilan di Indonesia.
Sementara itu, Wakil Ketua DPR lainnya, Agus Hermanto berpendapat saat ini Pasal 156a KUHP masih ada. Ia meminta seluruh pihak menghormatinya. "Kalau memang ada perubahan memerlukan waktu yang lama. Ini, kan diusulkan juga belum," ucap politikus Partai Demokrat ini. ***
Kategori | : | GoNews Group, Peristiwa, Pemerintahan, Politik, DKI Jakarta |