Presiden Bisa Depak Moeldoko dari KSP karena Masyarakat Bisa Mempresepsi Istana Terlibat
"Tanpa tindakan nyata, tentu masyarakat akan mempersepsi keterlibatan Istana dalam mengantarkan Moeldoko menjadi Ketum hasil KLB yang ilegal," kata Jamil dikutip GoNews.co dari pernyataan persnya, Sabtu (6/3/2021).
Selain itu, kata Jamil, Menteri Hukum dan HAM (Hak Asasi Manusia) juga harus taat aturan dengan melihat keabsahan KLB (Kongres Luar Biasa) di Sibolangit berdasarkan Undang-Undang Partai Politik dan AD/ART (Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga) Partai Demokrat. Ini adalah wujud menanggalkan kepentingan politik, menurut Jamil. Seperti diketahui, MenkumHAM, Yasonna Laoly adalah kader partai PDIP (Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan).
"Hanya dengan cara itu, pemerintah benar-benar netral dalam menilai hasil KLB ilegal tersebut," tandas Jamil.
Peran MenkumHAM juga disorot oleh Pendiri lembaga survei SMRC, Saiful Mujani. Menurut dia, apabila menteri asal partai 'moncong putih' itu merestui penetapan Moeldoko sebagai Ketua Umum Partai Demokrat serta kepengurusannya lewat hasil KLB 5 Maret 2020, dan membatalkan kepengurusan Partai Demokrat yang dipimpin Ketua Umum Partai Demokrat versi Kongres 15 Maret 2020, AHY (Agus Harimurti Yudhoyono), maka lonceng kematian Partai Demokrat makin kencang. Pandangan ini disampaikan Saiful melalui akun media sosialnya.
Sikap Pemerintah
Sementara itu, Menko Polhukam (Menteri Koordinator bidang Politik Hukum dan Keamanan Republik Indonesia), Mahfud MD pernah mengatakan bahwa sesuai Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 (UU tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum), pemerintah tidak bisa melarang atau mendorong kegiatan yang mengatasnamakan kader Partai Demokrat di Deli Serdang, Sumatera Utara, Jumat, kemarin.
Mengutip nusadaily.com, menurut Mahfud, jika hasil KLB didaftarkan ke KemenkumHAM, pemerintah baru akan meneliti keabsahannya berdasarkan undang-undang dan AD/ART partai.
Artinya, bola tidak berhenti di KemenkumHAM karena kata Mahfud, "Keputusan pemerintah bisa digugat ke Pengadilan. Jadi pengadilan lah pemutusnya,".
Dalam lansiran itu, Mahfud juga membandingkan sikap pemerintahan Megawati Soekarnoputri ketika Matori Abdul Jalil mengambil Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dari Gus Dur. Belakangan Matori kalah di pengadilan pada 2003. Saat itu, Mega tidak melarang maupun mendorong secara hukum karena menganggapnya masalah internal PKB.
"Sama juga dengan sikap pemerintahan Pak SBY ketika (2008) tidak melakukan pelarangan saat ada PKB versi Parung (Gus Dur) dan versi Ancol (Cak Imin). Alasannya, itu urusan internal," ujarnya.
Sebagai pengingat, dorongan agar Moeldoko lepas dari embel-embel KSP juga sempat muncul dari politisi senior Partai NasDem (Nasional Demokrat), Irma Suryani Chaniago. Teknisnya, Moledoko mundur.
Dalam pernyataan persnya pada Jumat, Irma juga menegaskan bahwa Presiden tidak mencampuri urusan yang sifatnya pribadi dari para pembantunya, termasuk Moeldoko.***
Editor | : | Muhammad Dzulfiqar |
Kategori | : | Politik, Nasional, DKI Jakarta |