MPR Bicara Radikalisme, Polarisasi Idiologi dan Metode Tangkal jadi Sorotan
Wakil Ketua Badan Pengkajian MPR RI, Agun Gunandjar Sudarsa mengatakan, polarisasi tersebut terjadi di partai politik yang dampaknya, "Akhirnya kebijakan-kebijakan yang lahir pun tidak merespons terhadap keinginan publik. Kebijakan diselesaikanĀ melalui lobi-lobi yang akhirnya pragmatisme,".
Hal tersebut disampaikan Agun dalam diskusi gelaran Kehumasan MPR RI bersama wartawan Senayan di Kompleks MPR RI, Jakarta, Senin (5/4/2021).
"Kalau saya sih, tegas saja idiologi kita ya Pancasila," tandas politisi Golkar yang juga membahas riwayat hilangnya Blok Barat dan Blok Timur yang berdampak pada globalisasi dan hidupnya demokrasi, serta perubahan peradaban ke era digital.
Dalam diskusi bertajuk "Penanaman Nilai-Nilai Kebangsaan untuk Menangkal Radikalisme bagi Generasi Muda" itu, Agun juga bicara mengenai pentingnya penanaman nilai-nilai Pancasila di kalangan muda saat ini.
"Digitalisasi ini memaksa orang jadi individiualistik, memaksa orang angkuh, sombong, padahal bangsa kita bangsa yang tidak begitu" kata dia. Menurutnya, penting bagi generasi muda untuk mengenaljati dirinya sebagai anak bangsa dan hamba Tuhan untuk bisa bersikap toleransi, berkolaborasi dalam keberagaman dan konsisten dalam integritas pikiran, ucapan dan laku.
Terkait tema tersebut, Wakil Ketua MPR RI, Arsul Sani menyebut pentingnya metode yang lebih efektif dalam penangkalan radikalisme. Politisi PPP ini mendorong pemerintahan Jokowi menerapkan paradigma Money Follow the Program dalam penangkalan radikalisme dengan menjadikan BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) sebagai leading sector. Toh, UU 5/2018 (UU Terorisme) telah memadai sebagai pijakan untuk melaksanakan kesiapsiagaan nasional yang tak over lapping.
"Kita belum berhasil mengukur kontra radikalisasi dan deradikalisas karena blm ada parameter yang jelas. Padahal anggaran ya kalau dijumlah total semua Kementerian dan Lembaga, barangkali bisa mencapai triliunan rupiah," ujar Arsul.
Lebih jauh, menurut Arsul menangkal radikalisme juga bisa ditempuh melalui politik akomodatif di tengah apa yang disebut sebagai polarisasi tadi.
Arsul menjelaskan, kontra radikalisme dan deradikalisasi sebaiknya tidak semata-mata bicara Pancasila, tapi juga bsa dilakukan antara lain; dalam semua proses penyelenggaraan negara ini ruang partisipasi publiknya dibuka lebih besar.
"Kontra radkal ya memang harus di tengah-tengah. Akarnya radikal adalah interkasi/pertarungan idiologis," tandas Arsul.
Ketidakpuasan dari hasil keputusan dan kebijakan yang melibatkan pertentangan idiologi dalam prosesnya, jelas berpotensi memicu reaksi yang bersifat radikalis. Dan fakta lapangan menunjukkan bahwa generasi muda kerap menjadi terlibat, sehingga perlu metode yang lebih mengena bagi generasi muda sebagai titik hilir.
MPR dengan keterbatasannya tentu terus berupaya mengoptimasi peran program Sosialisasi 4 Pilar MPR RI dalam upaya menanamkan konsensus kebangsaan ke generasi muda dan meningkatkan partisipasi kalangan muda tersebut, dengan keluar dari metode indoktrinasi. Sebagai langkah nyata, kata Arsul, dirinya baru-baru ini menggandeng anak-anak muda dari siswa-siswa kejar pake A, B dan C, beserta para sukarelawan guru, Arsul juga menggandeng Putri Indonesia dan Puteri Pariwisata untuk menamakan kecintaan pada alam dan budaya Indonesia.
"Saya sedang rancang ini dengan teman-teman LSM, agar anak-anak muda kita beri pelatihan kerja, nanti kita kait-kaitkan lah dengan (konsensus-konsensus kebangsaan kita, red)" kata Arsul.***
Editor | : | Muhammad Dzulfiqar |
Kategori | : | Nasional, MPR RI, DKI Jakarta |