Terpopuler 24 Jam Terakhir
1
Start Awal Urutan 21, Qarrar Firhand Finish di Podium 3
Olahraga
15 jam yang lalu
Start Awal Urutan 21, Qarrar Firhand Finish di Podium 3
2
Soal VAR, Ini Proses Persetujuan Dari FIFA
DKI Jakarta
15 jam yang lalu
Soal VAR, Ini Proses Persetujuan Dari FIFA
3
Pelatih Timnas Wanita Panggil 34 Pemain Uji Coba Lawan Singapura
Olahraga
16 jam yang lalu
Pelatih Timnas Wanita Panggil 34 Pemain Uji Coba Lawan Singapura
4
Aura Positif Ruang Ganti Persib Bandung Jelang Final Championship Series
Olahraga
15 jam yang lalu
Aura Positif Ruang Ganti Persib Bandung Jelang Final Championship Series
5
Ada Rekayasa Lalin di Dua Ruas Jalan Ini Mulai 22-26 Mei 2024
Umum
13 jam yang lalu
Ada Rekayasa Lalin di Dua Ruas Jalan Ini Mulai 22-26 Mei 2024
6
Dispusip DKI Rilis Buku Pemenang Hari Anak Jakarta
Umum
13 jam yang lalu
Dispusip DKI Rilis Buku Pemenang Hari Anak Jakarta
Home  /  Berita  /  Peristiwa

Pakar: Indonesia Wajib dan Harus Kritis dengan Soft Power Tiongkok

Pakar: Indonesia Wajib dan Harus Kritis dengan Soft Power Tiongkok
Foto: Istimewa)
Minggu, 21 Mei 2023 15:38 WIB
Penulis: Muslikhin Effendy

JAKARTA - Bangsa Indonesia harus tetap kritis dalam memandang Tiongkok. Boleh memuji dan menghargai sukses pemerintah RRC dalam usahanya menjadikan negara dan bangsanya besar.

Tetapi kritiklah hal-hal yang menurut kita tidak cocok, khususnya dengan aturan dalam pergaulan antar bangsa,” demikian disampaikan oleh Profesor A Dahana, pendiri sekaligus Ketua Dewan Penasihat Forum Sinologi Indonesia (FSI) dalam sambutan tertulisnya di sebuah acara diskusi berjudul “Menakar Ulang Soft Power Tiongkok di Indonesia: Sebuah Tinjauan Kritis,” yang diselenggarakan FSI di Jakarta, 20 Mei 2023.

Dalam diskusi tersebut, hadir Dr. R. Tuty N Mutia, pengajar senior pada Program Studi Cina Universitas Indonesia (UI), didampingi oleh Johanes Herlijanto, ketua FSI dan pengajar pada Program Magister Ilmu Komunikasi Universitas Pelita Harapan (UPH). Mereka memberikan wawasan yang mendalam tentang upaya Soft Power Tiongkok di Indonesia.

Menurut Profesor Dahana, Tiongkok sedang berusaha menjadikan dirinya sebagai kekuatan imperial budaya melalui upaya meningkatkan Soft Power-nya di pelbagai negara, termasuk Indonesia. Salah satu contoh dari alat Soft Power Tiongkok yang disoroti oleh Dahana adalah Confucius Institute (Institut Konfusius).

"Di Amerika Serikat, Institut Konfusius yang dibangun di berbagai universitas telah ditutup pada tahun 2021 karena dianggap sebagai misi asing Republik Rakyat Tiongkok (RRT)," ujarnya.

Di Indonesia, institusi serupa hadir dengan nama Pusat Bahasa Mandarin (PBM) dan telah didirikan di sekitar enam universitas. Dahana juga menyoroti pemberian beasiswa oleh Tiongkok untuk studi di negaranya sebagai bentuk lain dari Soft Power Tiongkok.

Dalam hal ini, Dr. R. Tuty N Mutia mengkritik strategi Soft Power Tiongkok yang cenderung hanya menekankan keunggulan Tiongkok tanpa memperhatikan kepentingan dan keunikan budaya Indonesia.

"Narasi itu cenderung mengedepankan ‘keunggulan’ Tiongkok sehingga lebih terasa sebagai upaya ‘sinifikasi’ (pencinaan)," paparnya.

Tuty juga mencatat bahwa strategi seperti pendirian Institut Konfusius dan pemberian beasiswa belum memberikan hasil yang signifikan dalam meningkatkan citra Tiongkok.

Johanes Herlijanto, ketua FSI, menyoroti posisi komunitas Tionghoa di Indonesia dalam upaya Tiongkok meningkatkan Soft Power-nya. Ia mengungkapkan bahwa ada upaya Tiongkok untuk merangkul komunitas Tionghoa dan menjadikannya sebagai jembatan dalam hubungan antara Indonesia dan Tiongkok.

Namun, Johanes menekankan bahwa tidak semua komunitas Tionghoa positif terhadap ajakan tersebut. Ia mengutip pernyataan seorang Tionghoa dalam sebuah seminar, "Bagaimana kalau saya tidak mau menjadi jembatan?" Johanes berpendapat bahwa Tionghoa tidak harus selalu menjadi jembatan antara kedua negara.

Selain itu, Dr. R. Tuty N Mutia juga mencermati strategi Tiongkok dalam merangkul umat Islam di Indonesia melalui pemberian beasiswa kepada para santri. Menurutnya, strategi ini bisa dikaitkan dengan upaya Tiongkok untuk meredam isu Hak Asasi Manusia yang menimpa penduduk Muslim di Uyghur. Tuty heran dengan fakta bahwa sebagian alumni Tiongkok selalu menyuarakan keunggulan Tiongkok tanpa mengkritik hal-hal yang kontroversial.

Secara umum, upaya Tiongkok dalam meningkatkan Soft Power-nya di Indonesia belum memperoleh hasil maksimal, menurut Tuty. Ia berpendapat bahwa narasi yang digunakan lebih mengedepankan keunggulan Tiongkok dan terkesan sebagai upaya "sinifikasi". Selain itu, Tuty juga mengingatkan agar pemerintah Indonesia mengawasi persebaran dan aktivitas Pusat Bahasa Mandarin (PBM) yang kurang memperhatikan muatan berbasis budaya dan masyarakat Indonesia dalam pengajaran mereka.

Johanes menyimpulkan dengan mempertanyakan tujuan sebenarnya dari Soft Power Tiongkok di Indonesia. Ia berpikir bahwa Tiongkok mungkin tidak memiliki niat untuk merangkul masyarakat akar rumput di Indonesia, tetapi hanya fokus pada kepentingan elit bisnis dan politik mereka di negara ini.

Diskusi ini memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang upaya Soft Power Tiongkok di Indonesia dan pentingnya sikap kritis dalam menyikapi pengaruh dan intervensi negara lain. Masyarakat Indonesia dihimbau untuk tidak hanya memuji keunggulan Tiongkok, tetapi juga mengkritisi hal-hal yang tidak cocok dengan aturan dalam pergaulan antar bangsa.***

wwwwwwhttps://143.198.234.52/sonic77https://159.223.193.153/https://64.23.207.118/http://152.42.220.57/