Polisi Arogan Kepung Mahasiswa Papua di Jogja, Setara Institute Mendesak Kapolri dan Pemerintah Bersikap Tegas
Penulis: Muslikhin Effendy
Dimana saat itu sejumlah aparat dengan beberapa organisasi massa mengepung Asrama Mahasiswa Papua di Kamasan I, Jalan Kusumanegara, Yogyakarta, yang mengakibatkan kelaparan para penghuni asrama. Terlebih lagi sikap arogan aparat Kepolisian yang menghadang bantuan logistik dari masyarakat sekitar.
Selain melakukan pengepungan, polisi juga menyemprotkan gas air mata, menyita beberapa sepeda motor, melakukan penangkapan sewenang-wenang dan melakukan pemukulan terhadap warga Papua di asrama mahasiswa tersebut.
Menurut Setara Institute, tindakan kepolisan ini jelas keluar dari jalur konsititusi dimana kebebasan berekspresi diatur dalam pasal 28E ayat (3) UUD 1945 dan UU No. 9 Tahun 1998 tentang kemerdekaan menyatakan pendapat di muka umum.
Setara Institute juga mencatat pada tahun 2015 di Papua terjadi pelanggaran HAM sebanyak 13 peristiwa dan 20 tindakan. Korban tewas sebanyak 9 orang, luka-luka 49 orang, dan ditangkap 42 orang. Sebagai pelaku, aparat Kepolisian melakukan tindakan pelanggaran sebanyak 12 kali. Bentuk kekerasan yang dialami oleh orang Papua tak hanya secara fisik namun juga mengalami stigma separatis dan diskriminasi rasial, sehingga secara tidak langsung warga Papua tersudutkan di berbagai ruang publik.
"Demonstrasi adalah bentuk kebebasan berekspresi apapun tema yang disampaikannya. Bahkan aspirasi pembebasan Papua juga sah untuk disampaikan dalam sebuah demonstrasi sebagai bentuk protes atas ketidakadilan yang dialami oleh warga Papua. Selama demonstrasi itu disampaikan secara damai dan tidak adanya tindakan permulaan yang menunjukkan adanya makar, maka polisi apalagi ormas tidak boleh membatasi, melarang, dan menghakimi dengan kekerasan," ungkap Ismail Hasani, Direktur Riset Setara Institute dan Pengajar Hukum Tata Negara UIN Syarif Hidayatullah, kepada GoNews.co melalui pesan elektroniknya, Senin (18/07/2016).
Penggunaan ormas tertentu atau pembiaran ormas dalam menghadapi aspirasi masyarakat yang berbeda kata dia, adalah modus lama yang ditujukan untuk membersihkan tangan polisi sebagai aparat keamanan. Dengan melibatkan atau membiarkan ormas, maka Polisi terhindari dari tuduhan melakukan kekerasan. Padahal, membiarkan seseorang atau ormas melakukan kekerasan adalah tindakan pelanggaran HAM (violation by omission).
"Kapolri Tito Karnavian juga harus menjelaskan peristiwa Yogyakarta secara gamblang agar kepercayaan publik tidak segera luntur di masa kepemimpinannya. Memang, Tito punya pandangan agak konservatif perihal pembatasan HAM, seperti dalam kasus teorisme. Tetapi, membiarkan tindakan kekerasan terus menerus terhadap warga Papua adalah tindakan pelanggaran HAM dan bertentangan dengan semangat Jokowi yang berkali-kali menegaskan hendak mengatasi persoalan Papua secara holistik," ujarnya.
"Polri harus bertindak adil dengan menghukum anggota ormas yang melakukan kekerasan. Apapun argumen ormas tersebut, rasisme, hate speech, dan kekerasan telah secara nyata diperagakan. Tindakan main hakim sendiri (vigilantisme) adalah pelanggaran hukum," pungkasnya. (***)
Kategori | : | Peristiwa, Pendidikan, Pemerintahan, DKI Jakarta, DI Yogyakarta |