Terpopuler 24 Jam Terakhir
1
Hadiah Ramadan Milo Untuk Suporter Persis Solo
Olahraga
24 jam yang lalu
Hadiah Ramadan Milo Untuk Suporter Persis Solo
2
PERBASI Gelar Seleknas untuk Bentuk Timnas Basket 5on5 Putri U-18 di Bali
Olahraga
23 jam yang lalu
PERBASI Gelar Seleknas untuk Bentuk Timnas Basket 5on5 Putri U-18 di Bali
3
Lala Widy Laris, Sebulan Penuh Main di Pesbukers Ramadan
Umum
21 jam yang lalu
Lala Widy Laris, Sebulan Penuh Main di Pesbukers Ramadan
4
Indonesia Jadi Tuan Rumah Asia Road Race Championship 2025
Olahraga
23 jam yang lalu
Indonesia Jadi Tuan Rumah Asia Road Race Championship 2025
5
Jordi, Elkan dan Yance Absen di Laga Lawan Vietnam
Olahraga
24 jam yang lalu
Jordi, Elkan dan Yance Absen di Laga Lawan Vietnam
6
Timnas Indonesia Butuh Dukungan Penuh Suporter
Olahraga
23 jam yang lalu
Timnas Indonesia Butuh Dukungan Penuh Suporter
Home  /  Berita  /  Politik

Ini Tiga Masalah Dibalik Kebijakan New Normal Menurut Fadli Zon

Ini Tiga Masalah Dibalik Kebijakan New Normal Menurut Fadli Zon
Rabu, 03 Juni 2020 17:15 WIB
Penulis: Muslikhin Effendy
JAKARTA - Anggota DPR RI, Fadli Zon membeberkan tiga masalah besar dibalik kebijakan New Normal yang akan diambil Pemerintah pasca pemberlakukan PSBB di beberapa wilayah di Indonesia.

Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, telah memperbolehkan 102 wilayah Kabupaten/Kota di tanah air untuk menerapkan kebijakan 'New Normal'. Kebijakan itu menurut Fadli Zon, sangat mencemaskan, karena secara epidemiologis Indonesia sebenarnya masih berada dalam zona merah pandemi.

Bahkan menurut data WHO (World Health Organization) kata Fadli Zon, angka penularan virus Corona di Indonesia adalah 2,5, yang artinya satu penderita bisa menulari 2,5 orang.

"Secara umum, ada tiga persoalan kenapa wacana dan kebijakan 'New Normal' ini dianggap buruk. Pertama, otorisasi dan organisasi pengambilan keputusannya kacau. Pandemi telah ditetapkan sebagai bencana nasional, di mana strategi yang dipilih untuk mengatasinya adalah PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar). Menurut Peraturan Pemerintah (PP) No. 21/2020, penetapan PSBB ini kewenangannya dipegang Kementerian Kesehatan. Namun, otorisasi 'New Normal' dalam praktiknya bisa disebut sebagai bentuk pelonggaran terhadap PSBB, alih-alih dikembalikan ke Kementerian Kesehatan, malah dipegang oleh Gugus Tugas. Ini membuat organisasi pengambilan keputusan jadi tak jelas," ujar Fadli Zon, Rabu (03/6/2020) di Jakarta.

Dari 102 wilayah yang diperbolehkan 'New Normal' oleh Gugus Tugas, kata Dia, tidak ada satupun kota di Jawa yang masuk rekomendasi, kecuali Tegal. "Tapi anehnya, Gubernur Jawa Barat sudah mengumumkan per 1 Juni kemarin ada 15 daerah di Jawa Barat yang boleh menerapkan "New Normal'. Ini kan jadi kacau otorisasinya," bebernya.

Masalah kedua, kata Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra itu, datanya 'misleading'. Pemerintah mengklaim angka reproduksi Covid-19 Indonesia sudah berada di angka 1,09. Dalam standar WHO, angka ini bisa dianggap terkendali. Masalahnya, angka yang digunakan Pemerintah ini adalah angka yang ada di DKI Jakarta.

"Menggunakan tren perbaikan R0 dan Rt di DKI Jakarta sebagai dasar untuk menggaungkan kebijakan 'New Normal' di level nasional jelas 'misleading’'. Lagi pula, meskipun di atas kertas data Covid-19 di DKI trennya cenderung membaik, data itu tetap harus dilihat secara kritis," tegasnya.

Berdasarkan data Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, dalam dua minggu terakhir tingkat penularan Covid-19 di DKI Jakarta memang turun. Pada 31 Mei lalu, angkanya berkisar antara 0,89 hingga 1,22. Masalahnya kata Fadli Zon, tren penurunan itu harus dihubungkan dengan dibukanya keran mudik alias pulang kampung oleh Pemerintah menjelang lebaran kemarin.

Data Jasa Marga, tercatat ada 465.582 kendaraan keluar dari Jakarta dalam rentang waktu H-7 hingga H-1 sebelum lebaran kemarin. Dari jumlah tersebut, menurut Polda Metro Jaya, hanya sekitar 25 ribu kendaraan saja yang bisa dihalau untuk putar balik. Artinya, secara de facto terjadi arus mudik pada lebaran kemarin. Sehingga, tren penurunan kasus baru dan tingkat penularan Covid-19 di DKI belum menggambarkan kondisi normal yang sesungguhnya.

"Terbukti, saat kasus di DKI menurun, di Surabaya justru terjadi ledakan jumlah penderita Covid-19, yang membuat Surabaya per hari ini bukan hanya zona merah, tapi sudah menjadi zona hitam, saking besarnya jumlah penderita Covid-19 di sana. Artinya, melandainya kurva DKI saat ini bisa jadi disebabkan karena angkanya kini terdistribusi ke daerah melalui peristiwa mudik atau pulang kampung tadi," urainya.

Ketiga, basis datanya kata Fadli, tak proporsional. Mengutip data Worldometer, sebagai negara dengan populasi terbesar keempat di dunia, Indonesia ternyata memiliki tingkat pengujian yang terburuk di antara negara-negara yang paling terpengaruh oleh Covid-19.

Sejauh ini pemerintah Indonesia hanya bisa melakukan 967 tes untuk setiap 1 juta penduduk. Bandingkan dengan Amerika Serikat yang melakukan 46.951 tes untuk tiap 1 juta penduduk, Singapura yang mencapai 57.249 per 1 juta penduduk, atau Malaysia yang berada di angka 16.083 per 1 juta penduduk.

"Hingga kni, untuk urusan perbandingan tes corona, Indonesia masih berada di urutan 96 dari 100 negara dengan kasus terbanyak. Indonesia hanya berada di atas Afghanistan, Sudan, Pantai Gading, dan Nigeria," tukasnya.

WHO sendiri menganjurkan syarat minimal pemeriksaan Covid-19 adalah 1 orang per 1.000 penduduk per minggu. "Jika penduduk Indonesia 273 juta, berarti per pekan seharusnya ada tes bagi 273 ribu penduduk. Dalam 12 pekan sejak kasus pertama ditemukan pada awal Maret lalu, kita mestinya sudah melakukan 3.276.000 tes," paparnya.

Untuk menghadapi pandemi, Pemerintah menurutnya harus percaya pada sains serta menggunakan data yang akurat serta proporsional. Apalagi, 'New Normal' itu sebenarnya istilah akademis, sehingga keputusannya harus berpijak di atas data-data ilmiah, bukan berpijak di atas harapan.

"Apalagi atas dasar kepentingan sekelompok orang. Jangan sampai kebijakan ini hanya uji coba 'trial and error' yang menjadikan rakyat sebagai 'kelinci percobaan'. Sangat disayangkan kalau proses perumusan kebijakan publik oleh Pemerintah masih bertumpu pada keajaiban daripada kalkulasi saintifik," pungkasnya.***

wwwwww