Terpopuler 24 Jam Terakhir
1
Rohmalia Pecahkan Rekor Dunia Cricket di Seri Bali Bash International
Olahraga
18 jam yang lalu
Rohmalia Pecahkan Rekor Dunia Cricket di Seri Bali Bash International
2
Melaju ke Semifinal Piala Asia U 23, STY Sebut Meningkat Kepercayaan Timnas U 23 Indonesia
Olahraga
19 jam yang lalu
Melaju ke Semifinal Piala Asia U 23, STY Sebut Meningkat Kepercayaan Timnas U 23 Indonesia
3
Timnas Cricket Putri Indonesia Kalahkan Mongolia di Bali Bash Internasional
Olahraga
18 jam yang lalu
Timnas Cricket Putri Indonesia Kalahkan Mongolia di Bali Bash Internasional
4
Kembali Unjuk Kebolehan, Aditya Kalahkan Pecatur Kawakan GM Thien Hai Dao
Olahraga
12 jam yang lalu
Kembali Unjuk Kebolehan, Aditya Kalahkan Pecatur Kawakan GM Thien Hai Dao
5
Seleksi Lokakarya Wasit dan Asisten Wasit Liga 3 Tahun 2023/2024 Bergulir
Olahraga
13 jam yang lalu
Seleksi Lokakarya Wasit dan Asisten Wasit Liga 3 Tahun 2023/2024 Bergulir
6
Hadapi Uzbekistan di Semifinal, Timnas U 23 Indonesia Diharapkan Bisa Tampil Seperti Lawan Korsel
Olahraga
10 jam yang lalu
Hadapi Uzbekistan di Semifinal, Timnas U 23 Indonesia Diharapkan Bisa Tampil Seperti Lawan Korsel
Home  /  Berita  /  Opini

Persekongkolan Pengusaha (Cukong) dengan Penguasa (Elite) dalam Pilkada

Persekongkolan Pengusaha (Cukong) dengan Penguasa (Elite) dalam Pilkada
Pangi Syarwi Chaniago
Sabtu, 19 September 2020 16:13 WIB
Penulis: Pangi Syarwi Chaniago

PILKADA itu mahal kawan. Butuh cost politik yang mahal memasuki tahun politik, tensi politik di 2020 mulai memanas. Partai politik mulai mengambil ancang-ancang untuk menyambut tahun politik 2020 meskipun di tengah pandemi, memang bertarung dalam pilkada kondisi sekarang tak mudah, butuh kuat kuatan dalam daya tahan tubuh  calon kepala daerah, atur nafas, bertahan dalam soal amunisi dan logistik.

Pilkada mahal, mulai dari cost perahu parpol atau istilah lain mahar politik, cost konsultan politik dan paket survei, biaya ngopi, bantuan sembako dan bantuan bangunan seperti semen ketika face to face dengan warga saat melakukan kampanye, biaya alat peraga seperti spanduk dan baliho, belum lagi ada konstituen yang sedang kesusahan meminta bantuan soal BPJS, rek listrik dan kridit motor yang nunggak bayar, istri mereka yang melahirkan dan meminta tolong kepada calon kepala daerah untuk belikan baju seragam sekolah, seragam bola, baju seragam majelis taklim, jadi pilkada itu mahal banget kawan.

Maju pilkada kalau uang pas-pasan lebih baik ngak usah, karena biaya ngak sedikit, menurut saya maju bertarung dalam kontestasi elektoral pilkada, calon yang betul-betul punya banyak kelebihan uang, sudah binggung habisin duit, sehingga kalau memberi bantuan anggap saja zakat, uang yang nanti dihabiskan begitu saja, tidak dipungut kembali, syukur-syukur terpilih namun tidak berfikir balik modal, alias mengembalikan modal yang dihabiskan waktu kampanye, sehingga fokus memikirkan rakyat, bukan malah sibuk berfikir bagaimana balik modal, membayar hutang ke cukong yang sudah mendanai calon kepala daerah terpilih.

Merdeka itu mahal sahabat, sehingga sulit betul menjadi kepala daerah yang tidak tersandera kepentingan dan agenda cukong. Lebih berbahagia dan berkelas, Kepala daerah yang mencintai rakyatnya dan rakyat mencintainya, ini amat-lah langkah.

Yang merusak kualitas demokrasi kita adalah, duit pas-pasan maju menjadi calon kepala daerah, lalu cari sponsor atau cukong, lalu bicara belum balik modal, ketika hampir 4 tahun menjabat kepala daerah dengan gaji 10 jt, akhirnya stres, modal kampanye belum balik, sehingga pada akhirnya berfikir jalan pendek dan singkat untuk melakukan korupsi. Ini yang membuat banyak kepala daerah kita tersandera kasus korupsi.

Memang, mahar politik sulit dibuktikan namun bisa dirasakan, karena terjadinya persekongkolan jahat antara pengusaha dg penguasa, yang mana penguasa butuh modal kampanye pilkada namun dompet kere, pada saat yang sama pengusaha butuh kemudahan ijin untuk usaha. Kawin silang antara penguasa dan pengusaha, konflik interest.

Mungkin pilkada di tengah Pandemi Carona bisa paket hemat, karena terbatas kampanye face to face menemui komunitas dan konstituen secara langsung, lebih banyak bentuk kampaye daring, mobile campaign, kampanye berbasis media sosial berupa main di udara, kampanye berbasis digital dan online.

Mereka berani gelontorkan 20 persen modal kampanye, nanti ketika jagoannya menang, mereka punya mou, dapat ijin tambang dg mudah untuk mengeksplorasi sumber daya alam seperti tambang, batu bara, minyak, gas, mineral dan lain lain yang di daerah tersebut, bandar politik bisa memperoleh keutungan 80 persen, sementara mereka hanya mengelontorkan 20 persen saja di awal sebagai modal kampanye untuk calon kepala daerah yang di danai cukong tersebut.

Ingat bahwa tidak ada makan siang gratis (no free lunch), ujung dari bantuan modal kampanye dari cukong tadi adalah bagaimana ijin yang mudah didapatkan pengusaha (pemodal) tetap cukong dan bandar politik untung besar, sementara yang tertinggal adalah kerusakan alam, sisa penambangan, kerusakan alam, rakyat di daerah tersebut tetap tidak berubah, tetap saja miskin. Pemodal dan cukong yang tetap menang. Lagi lagi rakyat yang dirugikan!!!***

Pangi Syarwi Chaniago adalah analis politik sekaligus Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting.

Kategori:Opini
wwwwwwhttps://143.198.234.52/sonic77https://159.223.193.153/https://64.23.207.118/http://152.42.220.57/