Terpopuler 24 Jam Terakhir
1
Kadispora DKI Optimistis Timnas U-23 Indonesia Raih Tiket ke Olimpiade 2024 Paris
Olahraga
19 jam yang lalu
Kadispora DKI Optimistis Timnas U-23 Indonesia Raih Tiket ke Olimpiade 2024 Paris
2
Tumpukan Sampah di Pesisir Marunda Kepu Dibersihkan
Pemerintahan
23 jam yang lalu
Tumpukan Sampah di Pesisir Marunda Kepu Dibersihkan
3
Regional Sumatera Mandiri 3X3 Indonesia Tournament Meriah dan Seru, Terima Kasih Medan!
Olahraga
22 jam yang lalu
Regional Sumatera Mandiri 3X3 Indonesia Tournament Meriah dan Seru, Terima Kasih Medan!
4
Shin Tae-yong Optimistis Indonesia Tumbangkan Irak
Olahraga
20 jam yang lalu
Shin Tae-yong Optimistis Indonesia Tumbangkan Irak
5
La Paene Masara : Menyedihkan Nasib Tinju Amatir Indonesia
Olahraga
20 jam yang lalu
La Paene Masara : Menyedihkan Nasib Tinju Amatir Indonesia
6
Pemprov DKI Adakan Nobar Indonesia Lawan Irak di Piala Asia U 23
Olahraga
19 jam yang lalu
Pemprov DKI Adakan Nobar Indonesia Lawan Irak di Piala Asia U 23
Home  /  Berita  /  Opini

'Perselingkuhan' Itu Membuat Sunyi Gedung Wakil Rakyat

Perselingkuhan Itu Membuat Sunyi Gedung Wakil Rakyat
Ilustrasi kesunyian di dalam gedung DPR RI, Senayan, Jakarta. (foto: dok. republika)
Sabtu, 07 Agustus 2021 21:45 WIB
AKHIR-AKHIR ini publik bertanya-tanya mengenai kondisi Gedung DPR dan penghuninya yang cenderung sunyi tidak seperti biasanya. Kesunyian itu tidak semata-mata karena dampak wabah pandemi virus corona tapi ada hal lain yang membuat gedung dewan kurang bergairah dalam menjalankan fungsi dan tugasnya.

Munculnya suara-suara bahwa wakil rakyat tidak peka terhadap aspirasi rakyat yang diwakilinya sudah sering kita mendengarnya. Demikian juga keberadaan anggota dewan yang dinilai seperti antara ada dan tiada, sudah banyak pula terdengar di sosial media. Mereka merasa seperti tidak punya wakil untuk memperjuangkan segala keluh kesahnya.

Mengapa gedung dewan itu cenderung sunyi tidak terdengar lagi suaranya? Padahal bukankah banyak peristiwa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang membuat anggota dewan itu seharusnya bersuara? Apakah ini semua sebagai pertanda bahwa kehidupan demokrasi telah menemui ajalnya?

Wajar Mereka Bertanya

Sesuai namanya, Dewan Perwakilan Rakyat, sudah barang tentu keberadaan mereka adalah representasi rakyat yang diwakilinya. Mereka para wakil rakyat itu adalah seseorang yang terpilih secara demokratis dalam sebuah pemilu yang diikutinya. Wakil rakyat ini mengemban tugas yang sangat penting dan mulia yaitu menjadi penyalur dari aspirasi rakyat untuk diperjuangkan sebagaimana mestinya.

Namun harapan dari masyarakat memang tidak selalu sesuai dengan kenyataan yang ada. Terutama yang terjadi akhir-akhir ini dimana anggota DPR dinilai kurang peka dan tidak aspiratif menyikapi permasalahan yang saat ini membelit bangsa.

Dilihat dari sisi fungsi legislasi, beberapa peraturan perundang-undangan telah dibahas selama masa pendemi hasil kerjasama DPR dengan Pemerintah yang sekang berkuasa. Diantara Undang Undang itu pembentukannya dinilai cacat hukum baik dilihat dari aspek formil maupun materiilnya.

Beberapa Undang-Undang yang dinilai cacat hukum tersebut misalnya Undang-Undang Mineral dan Batubara, Undang-Undang revisi KPK, Undang-Undang Omnibuslaw Cipta Kerja, Undang-Undang HIP (Haluan Ideologi Pancasila), RUU (Perpu) Corona dan sebagainya. Undang-Undang ini telah mendapatkan penolakan luas dari masyarakat khususnya kalangan mahasiswa dan elemen bangsa lainnya.

Meskipun mendapatkan penolakan yang luas, pembahasan Undang-Undang tersebut terus berlanjut sampai kemudian disahkan di tengah kontroversi yang mengiringinya. Ketidakpuasan itu akhirnya disalurkan ke Mahkamah Konstitusi (MK) meskipun hasilnya tidak sesuai harapan masyarakat pada umumnya. Karena rata-rata hasil uji formil dan meteriil tersebut ditolak oleh MK.

Masyarakat bertanya-tanya kepada anggota DPR mengapa terkesan mulus-mulus saja pembahasan RUU tersebut seperti tidak ada perlawanan sama sekali untuk menunjukkan opini yang berbeda. Dinamika pembahasan RUU berjalan begitu mulus tanpa kendala sehingga ada kecurigaan di dalamnya.

Sebagai bahan perbandingan, dulu ketika era presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) setiap ada kenaikan BBM selalu terjadi tarik-menarik antara presiden dan DPR dalam kompromi politik menaikan BBM. Saat itu SBY acapkali direpotkan tidak hanya oleh PDIP yang selalu konsisten menolak kenaikan BBM, tetapi dari intern koalisinya sendiri, terutama PKS yang menolak kenaikan BBM dengan segenap argumentasinya.

Sementara itu dari aspek fungsi pengawasan, banyak kejadian dan peristiwa yang seharusnya membuat DPR bersuara tetapi suara nyatanya memang tidak terlalu kedengaran gaungnya.

Beberapa kejadian yang seyogyanya membuat DPR kencang berusuara diantaranya terkait dengan masalah penambahan hutang yang luar biasa besarnya sehingga dikuatirkan akan membebani generasi berikutnya.

Penambahan hutang yang luar biasa itu telah melampaui batasan ketentuan yang ada yaitu 30% dari PDB dimana sekarang sudah mencapai 40% bahkan cenderung lebih meningkat lagi jumlahnya.

Bukan cuma soal hutang, ada permasalahan bangsa lain sebagai imbas kebijakan yang diambil oleh pemerintah seperti seperti membengkaknya tagihan listrik bulanan dan iuran BPJS Kesehatan yang naik, serta keluarnya peraturan tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) dinilai belum tepat dan mencekik rakyat Indonesia.

Selain itu, kebijakan pemerintah lainnya yakni harga Bahan Bakar Minyak (BBM) yang tak kunjung diturunkan juga di tengah pandemi virus korona. Penanganan virus corona yang terkesan dilakukan dengan tanpa perencanaan yang matang, seharusnya juga mengharuskan DPR bersuara, tetapi sekali lagi nyatanya suara-suara itu seperti teredam sedemikian rupa sehingga kurang kedengaran bunyinya.

Memang ada suara-suara yang berasal dari beberapa anggota DPR secara individual namun suara mereka nyaris tidak mempengaruhi atmofsir pengambilan politik yang bisa mempengaruhi kebijakan pemerintah secara keseluruhan sehingga menimbulkan efek positif bagi kebaikan berbangsa dan bernegara.

Selain fungsi legislasi dan pengawasan yang terkesan mandul, fungsi penganggaran (budgeting) juga dinilai tidak berjalan optimal sehingga setiap anggaran yang diajukan oleh pihak eksekutif lolos dengan mudahnya tanpa catatan berarti sebagai bahan koreksinya. Bahkan terkait dengan pembahasan dana untuk penanganan virus korona (Perpu Korona), DPR dinilai 'bunuh dir' karena menyerahkan segala sesuatunya kepada pihak eksekutif dan tinggal ketok palu saja.

Mengapa Gagap Bersuara?

Kondisi DPR saat ini yang gagap bersuara telah menempatkan lembaga ini menjadi ajang kritikan bahkan makian dari masyarakat yang merasa tidak terwakili oleh kehadirannya. Situasinya mungkin sudah mirip dengan DPR di zaman orde baru (Orba) berkuasa, dimana lembaga perwakilan hanya sekadar alat stempel penguasa.

Menurut Politisi Partai Gerindra Fadli Zon, saat ini DPR seolah telah menjadi bagian dari kekuasaan eksekutif saja. Padahal, fraksi-fraksi di DPR semestinya tetap mampu melakukan fungsi pengawasan terhadap pemerintah yang berkuasa. "Sekarang oposisi menjadi minoritas, sehingga kamar legislatif itu tidak menjadi channel perjuangan rakyat. Ini yang saya lihat jadi lebih berat lah di sana," ucapnya seperti dikutip tribunews.com, (22/10/2020).

Hal senada disampaikan oleh peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi) Made Leo Wiratma. Made melihat DPR sebagai lembaga tinggi negara dengan fungsi utama sebagai representasi rakyat juga nyaris tak berpengaruh dalam menentukan arah kehidupan berbangsa. "Semua kendali utama kebijakan untuk memastikan keselamatan warga negara di hadapan pandemi ada pada pemerintah yang sedang berkuasa," katanya seperti dikutip sindonews.com, (2/10/2020).

Secara kelembagaan, kondisi DPR yang gagap bersuara tersebut sekurang-kurangnya disebabkan oleh beberapa hal antara lain :

Pertama, Konsekuensi dari Koalisi Gemuk. Partai politik yang mendukung Jokowi-Ma'ruf Amin pada waktu kontestasi politik pemilihan presiden dan wakil presiden (Pilpres/Pilwapres) yang digelar serentak dengan pemilihan anggotata legeslatif (Pileg) pusat sampai daerah provinsi dan kabupaten/kota adalah yang terbanyak sepanjang sejarah Pilpres/Pilwapres di Indonesia

Betapa tidak, lebih dari setengahnya partai politik lebih memilih pasangan Jokowi-Maruf Amin. Sebut saja, PDI Perjuangan, Golkar, PPP, PKB, Nasdem, Perindo, PKPI, PSI dan Hanura. Sementara sisanya menyebrang ke kubu pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, yakni PKS, PAN, Demokrat dan Gerindra.

Pada akhirnya pasangan Jokowi-Ma'ruf Amin berhasil keluar sebagai pemenang dengan raihan mencapai 54,5% suara. Dengan komposisi tersebut, sudah bisa dipastikan peta kekuatan Jokowi-Ma'ruf di parlemen pun jauh lebih unggul dibandingkan lawannya. Kekuatan pemerintahan Jokowi-Ma'ruf ini bertambah lagi setelah partai Gerindra menyatakan diri untuk bergabung ke pemerintahan yang berkuasa.

Dengan bergabungnya Gerindra maka koalisi pendukung pemerintah menjadi sangat gemuk komposisinya sehingga membahayakan kehidupan demokrasi di Indonesia. Karena dengan sendirinya kubu iposisi menjadi semakin 'kurus' dan akhirnya tidak berdaya.

Secarah konsep demokrasi apabila salah satu kubu terlalu 'Gemuk' akan berpengaruh nantinya kepada proses check and balances sehingga menimbulkan kesan 'one man show' sehingga tidak ada yang mengontrolnya.

Sebab sejatinya demokrasi lahir untuk menghalau kesewenang-wenangan diantara para penguasa dan kesewanang-wenangan itu dapat dikontrol dengan konsep Check and Balance. Namun ketika salah satu kubu terlalu 'Gemuk' mungkinkah chek and balances akan berjalan sebagaimana harapan kita bersama?

Di Indonesia ada keengganan atau kesungkanan bagi anggota DPR untuk menjalankan fungsi pengawasannya secara ketat manakala sudah merapat ke penguasa. Padahal seharusnya meskipun sudah berada di lingkaran kekuasaan, fungsi kontrol mestinya tetap jalan karena merupakan amanat dari perundang-undangan dan demi lurusnya jalan pemerintahan yang berkuasa.

Kedua, terjadi 'Perselingkuhan' antara DPR dengan pemerintahan yang sedang berkuasa. Pada waktu proses amandemen UUD 1945 tahun 1999 sampai 2002, ada semangat untuk memperkuat posisi lembaga perwakilan (DPR) sehingga presiden tidak menjadi dominan seperti yang terjadi pada presiden di era Orba.

Oleh karena itu saat amendemen UUD 1945, ada upaya untuk merancang desain baru di konstitusi kita yang mengangkat pemegang kekuasaan legislatif terutama DPR agar bisa lebih seimbang dengan presiden dilihat dari aspek kekuasaannya. Namun rupanya para pengubah UUD itu tidak pernah membayangkan seberapa parah nanti kalau satu titik terjadi kolaborasi antara dua lembaga yang diberi kekuasaan besar menjalankan otoritas bernegara.

Kekuatiran tersebut telah terbukti adanya saat ini dengan adanya 'kolaborasi' antara DPR dan pemerintah dalam menjalankan roda pemerintahan di Indonesia. Padahal awalnya dengan desain konstitusi yang menyeimbangkan kekuatan eksekutif dan legislatif itu dimaksudkan untuk berjalannya prinsip checks and balances dalam kehidupan bernegara. Tapi dalam perjalanan kemudian, dua kekuatan itu berkolaborasi dengan terbentuknya koalisi besar sehingga mengancam hilangnya fungsi chek and balances yang seharusnya dijalankannya.

Dalam kaitan ini rupanya partai politik tak bisa menahan diri untuk tidak semuanya bergabung ke pemerintah yang berkuasa. Dalam hal ini kita memang memerlukan pemerintahan yang kuat tapi kuat dalam pengertian di sini, tidak menguasai segala-galanya. Artinya, ada kekuatan yang cukup di DPR untuk bisa mengimbangi posisi pemerintah yang berkuasa.

Dengan merapatnya kekuatan partai politik di DPR untuk mendukung pemerintah maka potensi untuk terjadinya praktek 'perselingkuhan' sangat terbuka. Hal ini ternyata sudah terbukti paling tidak bisa dilihat pada proses pelaksanaan fungsi legislasi di DPR yaitu pembuatan Undang-Undang yang nyaris tidak ada 'perlawanan' dalam proses pembahasan dan pengesahannya.

Bahkan dalam beberapa kasus, DPR yang diharapkan menjalankan fungsi kontrolnya justru malah menjadi juru bicara eksekutif sehingga mengaburkan peran dan fungsinya sebagai wakil rakyat yang telah memilihnya.

Terjadinya 'perselingkuhan' ini tentu saja membuat DPR menjadi enggan untuk bersuara karena merasa bertanggungjawab untuk ikut mengamankan kebijakan&kebijakan yang telah diambil oleh pemerintah yang berkuasa.

Ketiga, menjadi wakil partai bukan wakil rakyat. Meskipun sejatinya DPR itu adalah wakil rakyat namun dalam prakteknya harus diakui peran partai sangat dominan sehingga ruang gerak anggota DPR mengalami pembatasan-pembatasan sehingga tidak bisa sepenuhnya menjalankan peran dan fungsinya.

Seperti yang pernah disinggung oleh Fahri Hamzah, anggota DPR itu dikendalikan oleh ketua umum partai politik masing-masing. Ketua umum partai politik (parpol) itu terlibat di dalam satu mekanisme oligarki untuk mengatur kekuasaan legislatif dari belakang layar.

"Sinisme rakyat kepada DPR itu tidak bisa dihindari karena setelah dipilih anggota DPR itu tidak bisa dikendalikan oleh rakyat dan konstituennya," kata mantan wakil ketua DPR RI periode 2014-2019 ini seperti dikutip media 7 Oktober 2020.

Karena itu, Fahri mengatakan apa yang disebut sebagai telepon Pak Ketum, Bu Ketum, Pak Sekjen, Bu Sekjen dan sebagainya adalah hal lumrah saja. "Anggota DPR kita tidak independen, mereka bukan wakil rakyat, mereka adalah wakil Parpol. Dan karena itu kadang-kadang saya anggap mereka juga adalah korban dari sistem yang mereka sendiri tidak mampu untuk mengubahnya," ungkapnya.

Kondisi tersebut tentu saja telah membuat anggota DPR gagap dalam menyuarakan aspirasinya karena merasa diawasi setiap gerak geriknya termasuk suaranya oleh partai pengusungnya. Maka jangan heran kalau ada anggota DPR yang awalnya mungkin vokal kemudian mundur teratur karena adanya batasan-batasan yang ada di luar kekuatannya.

Itulah tiga hal yang sekurang kurangnya menjadi penyebab mengapa saat ini gedung DPR semakin sunyi tanpa suara. Ada sayup sayup suara perorangan anggota DPR tapi hampir pasti suara mereka tidak banyak berpengaruh terhadap perubahan konstelasi politik yang ada.

Siklus 20 Tahunan?

Kondisi saat ini dimana suara masyarakat sipil melalui DPR menjadi tidak berdaya mengingatkan kita pada era 20 tahun yang lalu ketika Orba berkuasa. Saat itu wakil rakyat benar benar dibungkam sehingga menjadi tidak berdaya dan karenanya hanya menjadi lembaga stempel saja. Sebutan yang paling terkenal saat itu untuk wakil rakyat adalah 4D (datang, duduk, diam dan duwit).

Kini era 4D itu sepertinya mulai melanda wakil rakyat yang duduk di Senayan di tengah badai virus korona. Mereka yang sempat menjadi wakil rakyat yang cukup galak kini sudah menjadi anak manis yang patuh pada apa maunya penguasa.

Kalau kita telusuri ke belakang berdasarkan catatan sejarah, kekuatan masyarakat sipil ini memang begerak penuh dinamika membentuk siklus 20 tahunan dimana kekuatan masyarakat sipil awalnya menguat tapi kemudian perlahan lahan meredup kembali ke siklus awalnya.

Awalnya dulu di jaman Belanda ada gerakan Kebangkitan Nasional ditandai dengan berdirinya Organisasi Boedi Oetomo Pada 20 Mei 1908. Boedi Oetomo didirikan oleh sejumlah mahasiswa School tot Opleiding van Indische Artsen(STOVIA).

Boedi Oetomo bertujuan untuk memajukan pengajaran, pertanian, peternakan, perdagangan, teknik dan industri, ilmu pengetahuan dan seni budaya bangsa Indonesia, hingga bidang politik yang kemudian menjadi cikal bakal Indonesia merdeka. Dua puluh tahun kemudian tepatnya tanggal 28 Oktober 1928 lahir Sumpah Pemuda.

Sumpah Pemuda adalah suatu ikrar pemuda-pemudi Indonesia yang mengaku bertumpah darah satu, tanah Indonesia, mengaku berbangsa satu, bangsa Indonesia, dan menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.

Pasca Sumpah pemuda kemudian dirintis jalan untuk Indonesia merdeka. Oleh karena itu hampir dua puluh tahun kemudian para pendiri bangsa memproklamirkan kemerdekaan Indonesia tepatnya tanggal 17 Agustus 1945.

Dua puluh tahun pasca dibacakannya proklamasi kemerdekaan Indonesia, meletus peristiwa G30S/PKI yang kemudian menandai lahirnya pemerintahan baru di bawah Presiden Soeharto untuk menggantikan Soekarno penguasa Orde Lama.

Setelah berkuasa cukup lama akhirnya Orba tumbang juga pada 1998 sehingga lahir pemerintahan era reformasi yang menempatkan masyarakat sipil sebagai penguasa di parleman menggantikan kedikatoran Orba.

Namun usia demokratis pemerintahan era reformasi rupanya cukup bertahan hanya sekitar dua puluh tahunan saja. Saat ini kehidupan demokratis sudah perlahan-lahan kembali ke siklus awal 20 tahun yang lalu ketika Orba masih berkuasa. Hal ini ditandai dengan makin mandulnya lembaga perwakilan dan sunyinya suara mereka.

Apakah kiranya kondisi ketidakberdayaan masih akan berlangsung lama seperti zaman Orba hingga lebih dari dua puluh tahun lamanya? Atau mungkinkah beberapa tahun ke depan akan terjadi suatu peristiwa sehingga kekuatan masyarakat sipil melalui parlemen kembali menemukan jati dirinya?

Yang jelas, di tengah kondisi lemahnya Parlemen kita maka kekuatan sipil penyeimbang di luar pemerintahan seperti kalangan mahasiswa, aktifis, LSM serta komponen bangsa lainnya harus tetap ada. Karena kalau tidak maka kondisi berbangsa dan bernegara akan semakin parah karena penguasa bisa bertindak seenaknya. Bukankah Lord Acton jauh-jauh hari sudah mengingatkan kita semua bahwa orang yang punya kekuasaan itu akan cenderung untuk menyalahgunakan kekuasaannya?

Penulis:

Desmond J. Mahesa

Wakil Ketua Komisi III Fraksi Partai Gerindra DPR RI***

Editor:Muhammad Dzulfiqar
Kategori:Opini
wwwwwwhttps://143.198.234.52/sonic77https://159.223.193.153/https://64.23.207.118/http://152.42.220.57/