Terpopuler 24 Jam Terakhir
1
Kemenpora dan MNC Group Gelar Nobar Timnas U 23 Indonesia
Olahraga
22 jam yang lalu
Kemenpora dan MNC Group Gelar Nobar Timnas U 23 Indonesia
2
Kemenpora Dorong Pemuda Eksplorasi Minat dan Hobi Lewat Pesta Prestasi 2024
Pemerintahan
21 jam yang lalu
Kemenpora Dorong Pemuda Eksplorasi Minat dan Hobi Lewat Pesta Prestasi 2024
3
Lalu Mara Ingatkan Lobi Iwan Bule Bikin Shin Tae-yong Berani Ambil Resiko
Olahraga
20 jam yang lalu
Lalu Mara Ingatkan Lobi Iwan Bule Bikin Shin Tae-yong Berani Ambil Resiko
4
Hadapi Uzbekistan di Semifinal Piala Asia U 23, Shin Tae-Yong Berikan Kepercayaan Kepada Pemain Timnas Indonesia
Olahraga
20 jam yang lalu
Hadapi Uzbekistan di Semifinal Piala Asia U 23, Shin Tae-Yong Berikan Kepercayaan Kepada Pemain Timnas Indonesia
5
Zendaya Buka Peluang Kembali ke Dunia Musik dengan Lagu Baru
Umum
15 jam yang lalu
Zendaya Buka Peluang Kembali ke Dunia Musik dengan Lagu Baru
6
Witan Sulaeman: Kami Hadapi Lawan Bagus
Olahraga
15 jam yang lalu
Witan Sulaeman: Kami Hadapi Lawan Bagus
Home  /  Berita  /  Peristiwa

Pertamina Harus Jelaskan ke Rakyat soal Biaya Tambahan Melalui Aplikasi saat Beli BBM

Pertamina Harus Jelaskan ke Rakyat soal Biaya Tambahan Melalui Aplikasi saat Beli BBM
Ilustrasi LinkAja. (foto: Istimewa)
Sabtu, 02 Juli 2022 15:07 WIB
Penulis: Muslikhin Effendy

JAKARTA - Beli bensin Pertalite dan Solar Pertamina kini bakal diperketat. Masyarakat akan diwajibkan untuk mendaftarkan diri di aplikasi MyPertamina mulai 1 Juli 2022.

Direktur Utama Pertamina Patra Niaga, Alfian Nasution, mengatakan sudah menyiapkan website khusus untuk masyarakat agar bisa mendaftar pembelian Pertalite dan Solar. Websitenya adalah https://subsiditepat.mypertamina.id/. "Kami menyiapkan website MyPertamina yakni https://subsiditepat.mypertamina.id/ yang dibuka pada 1 Juli 2022," kata Alfian dalam keterangannya, Senin (27/6/2022).

Yang sering jadi pertanyaan saat ini adalah apakah beli Pertalite dan Solar harus membayar dengan LinkAja? Nyatanya, sarana pembayaran di MyPertamina bukan cuma LinkAja. Masih ada beberapa sarana pembayaran lainnya. Aplikasi MyPertamina memberikan beberapa pilihan pembayaran lainnya untuk membeli Pertalite dan Solar selain LinkAja, antara lain menggunakan debit tertentu seperti BRI, Mandiri dan BNI.

Catatannya, layanan debit dari bank-bank tersebut harus didaftarkan terlebih dahulu ke aplikasi MyPertamina. Yang perlu kembali diingat adalah sebelum menggunakan aplikasi MyPertamina masyarakat harus mendaftarkan diri dulu lewat website https://subsiditepat.mypertamina.id/.

Pakai dompet online 'LinkAja' akan dikenakan charge Rp 1.000 per-transaksi. Bila pakai 'Debet Card' BRI, BNI dan Mandiri, kena 'charge' sebesar 1,5% dari nilai pembelian pertalite di link 'MyPertamina'. Akan ada jutaan konsumen yang pasti akan mengisi ( 'top up') dana ke 'LinkAja' bisa beberapa hari sekali.

Dengan jumlah kendaraan bermotor (mobil dan motor) di Indonesia thn 2022 ini sebanyak 145 juta, tarohlah yg beli BBM Bersubsidi hanya 10 %, berarti 14,5 juta. Maka, sebanyak 14,5 juta x Rp 1.000 (Rp 14,5 milyar) setiap transaksi akan masuk ke 'LinkAja' dengan santai.

Jika dalam sebulan, katakanlah 14,5 juta pelanggan tersebut rata-rata 5 x top up, Rp 72,5 milyar melenggang masuk ke 'LinkAja'. Itu dengan asumsi hanya 10 % pemilik kendaraan (mobil & motor) yg beli BBM Bersubsidi loh. Kalau 20 %, 30 %, 50% atau lebih, bisa dibayangkan berapa hasilnya jika dikalikan.

Belum lagi kalau 'top up' lebih dari 5 x sebulan. Perlu diberikan acungan 2 jempol atas kejelian 'MyPertamina' bersama 'LinkAja' dalam hal ini. Kalau anda buka di Google, 'LinkAja' merupakan layanan keuangan digital dari Telkomsel sebagai pemilik saham terbesar (25%), kemudian Bank Mandiri, BNI46, BRI (20 %), BTN, Pertamina (7 %), dan Jiwasraya, Danareksa (1 %).

Menanggapi hal itu, Anggota Komisi VII DPR RI dari Fraksi PKS Mulyanto mengatakan, hal-hal seperti itu harusnya diinfokan secara transparan oleh pihak pertamina sejak awal. Sehingga kata Dia, publik tidak tercengang-cengang dan menduga yang aneh-aneh. "Soal pembiayaan seperti ini penting untuk diketahui sejak dini oleh masyarakat. Uang yang terkumpul dari transaksi ini cukup besar," ujar Mulyanto saat dihubungi GoNews.co, Sabtu (02/7/2022).

Lebih lanjut Mulyanto mengatakan, dasar hukum yang mewajibkan secara mandatory penggunaan Mypertamina yang ujungnya mengutip biaya administrasi tersebut tidak ada, Ia juga menduga bahkan aturan tersebut belum terbit. "Semua ini kan cuma inisiatif pertamina sebagai aksi korporasi yang bersifat voluntary bagi publik. Bukan kewajiban. Karenanya pertamina tidak boleh memaksa, namun cukup dengan edukasi dan persuasi. Menurut saya terlalu dini pertamina melakukan program uji coba. Sementara aturan mainnya penerima subsidi belum definitif diputuskan oleh pemerintah," tukasnya.

Anggota Komisi VII DPR RI lainya yakni, Paramitha Widya Kusuma juga mengritik kebijakan pembelian Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi menggunakan aplikasi digital MyPertamina, dianggap yang justru menambah beban masyarakat kecil.

"Pada dasarnya saya tidak setuju dengan segala sesuatu yang membuat rakyat kecil ribet dan susah untuk mendapat apa yang sudah jadi hak mereka. Apalagi menggunakan aplikasi seperti itu pasti banyak yang tidak paham," kata Paramitha, dalam keterangan tertulisnya, Kamis (30/6/2022).

Menurut Mitha, panggilannya, ada dua akar permasalahan sehingga memunculkan penggunaan aplikasi MyPertamina. Pertama karena BBM subsidi tidak tepat sasaran atau tidak sampai ke yang berhak. "Makanya mau pakai aplikasi baru lagi, padahal dulu sudah ada program digitalisasi di lebih dari 5.500 SPBU. Lalu apa hasilnya digitalisasi SPBU itu, berarti selama ini digitalisasi tidak benar-benar dijalankan dengan baik," kata Mitha.

Mitha mengungkapkan, program digitalisasi itu sudah memakan dana triliunan rupiah. Daripada memakai aplikasi baru, Pertamina seharusnya mengoptimalkan penggunaan digitalisasi yang sudah dipasang ketika Dirut Patra Niaga masih dijabat Mas’ud Khamid. "Tujuan digitalisasi itu kan sudah jelas agar Pertamina punya data akurat dan transparan," kata Mitha.

Menurut Mitha, jika penerapan digitalisasi itu dilakukan dengan baik, maka sebenarnya data penjualan Pertalite, Solar, dan Pertamax sudah ada, jadi tidak perlu lagi pakai aplikasi baru untuk beli Pertalite. Selanjutnya, terkait dengan akar masalah yang kedua yakni soal pengawasan dalam penyaluran BBM subsidi. Dalam hal ini yang bertanggung jawab adalah BPH Migas. "Pertamina hanya menjalankan penugasan untuk mengadakan dan menyalurkan BBM bersubsidi hingga ke daerah terpencil. Berarti, selama ini BPH sebagai pihak yang bertanggung jawab dalam hal pengawasan, tidak menjalankan tugas-tugasnya dengan baik," katanya.

Menurutnya, yang memutuskan kuota BBM untuk tiap daerah adalah BPH Migas. Ketika mereka sudah bagikan kuotanya, kenapa mereka tidak bisa mengawasi. "Sejatinya mereka harus bertugas sesuai tupoksinya. Dari setiap liter BBM yang dibeli konsumen, itu ada fee yang didapat BPH Migas. Berarti selama ini masyarakat selalu bayar fee ke BPH Migas dari tiap liter pembelian BBM tapi kok BPH Migas enak sekali kerjanya, karena berarti fee yang kita bayarkan sia-sia," ujar Mitha.

Menurut Mitha, ada dua solusi agar penyaluran BBM subsidi tepat sasaran. Pertama, maksimalkan pemanfaatan digitalisasi. Karena sudah lebih dari 90 persen SPBU yang dipasangkan alat digitaliasasi di seluruh Indonesia tapi tidak dijalankan dengan baik. "Jangankan di Jakarta, di Jateng, Jatim, Sumatera itu banyak temuan digitalisasi yang tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Itu saja dibetulkan pelaksanaannya," kata Mitha.

Solusi kedua, BPH Migas agar bekerja dengan benar sesuai dengan tupoksi. "Ini kalau aplikasi my Pertamina tersebut gagal lagi dalam menyalurkan BBM bersubsidi kepada yang berhak, pasti yang diserang nanti Pertamina dan Patra Niaga, bukan BPH Migas," kata Mitha.

"Kalau ada kelangkaan juga, pasti yang dibully Pertamina. Padahal BPH Migas yang bertanggung jawab sesuai dengan Undang-undang," imbuh Mitha.***

wwwwwwhttps://143.198.234.52/sonic77https://159.223.193.153/https://64.23.207.118/http://152.42.220.57/