Terpopuler 24 Jam Terakhir
1
Soal Berbagi Sembako, Inul Daratista Balas Kritikan Netizen
Umum
22 jam yang lalu
Soal Berbagi Sembako, Inul Daratista Balas Kritikan Netizen
2
Susanto Jinakkan Torre Lewat Jebakan Krisis Waktu
Olahraga
20 jam yang lalu
Susanto Jinakkan Torre Lewat Jebakan Krisis Waktu
3
Perjuangan Melawan Penyakit SPS, Celine Dion Berharap Mukjizat
Umum
22 jam yang lalu
Perjuangan Melawan Penyakit SPS, Celine Dion Berharap Mukjizat
4
Mila Kunis dan Ashton Kutcher Tolak Perankan Kembali Film "That '90s Show" Season 2
Umum
23 jam yang lalu
Mila Kunis dan Ashton Kutcher Tolak Perankan Kembali Film That 90s Show Season 2
5
KPU DKI Jakarta Buka Pendaftaran PPK Untuk Pilkada
Pemerintahan
22 jam yang lalu
KPU DKI Jakarta Buka Pendaftaran PPK Untuk Pilkada
6
Ditanya Lebih Bangga Indonesia atau Korsel Yang Lolos ke Olimpiade 2024 Paris, Ini Jawaban Shin Tae-yong
Olahraga
19 jam yang lalu
Ditanya Lebih Bangga Indonesia atau Korsel Yang Lolos ke Olimpiade 2024 Paris, Ini Jawaban Shin Tae-yong
Home  /  Berita  /  GoNews Group

Presiden Jokowi Diminta Turut Mendorong Pembentukan KKR Guna Selesaikan Kasus 1965

Presiden Jokowi Diminta Turut Mendorong Pembentukan KKR Guna Selesaikan Kasus 1965
Anggota Komisi XI DPR, Eva Sundari. (istimewa)
Jum'at, 22 Juli 2016 12:05 WIB
Penulis: Muslikhin Effendy
JAKARTA - Meski Indonesia tidak meratifikasi Statute Roma, tetapi Presiden Joko Widodo diminta agar memperhatikan rekomendasi dari International People’s Tribunal maupun hasil dari kedua simposium soal tragedi 1965 di Jakarta, dengan membentuk sebuah Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, melalui Keppres.

Hal tersebut diungkapkan Anggota Komisi XI DPR RI, Eva Sundari kepada GoNews.co, Jumat (22/07/2016) di Jakarta. "Banyak negara, termasuk di Amerika Latin maupun Afrika, membentuk komisi kebenaran dan rekonsiliasi lewat keputusan presiden," kata Eva Sundari.

Temuan-temuan tersebut kata Eva, menyimpulkan bahwa terjadi beberapa pelanggaran hukum internasional maupun nasional dalam tragedi 1965. Pembunuhan massal, pemenjaraan, penghilangan paksa, kekerasan seksual, diskriminasi terhadap korban dan keturunan dan seterusnya.

Eva Sundari mengacu pada sebuah laporan dari International Center for Transitional Justice, yang dibuat di Brazil, berjudul, “Truth Seeking: Elements of Creating an Eff ective Truth Commission” https://www.ictj.org/sites/default/files/ICTJ-Book-Truth-Seeking-2013-English.pdf

Laporan tersebut kata Eva, memaparkan mengapa kebenaran sangat penting sekali buat belajar soal masa lalu, menutup luka di kalangan korban, keluarga korban maupun keturunan mereka, serta memetakan jalan buat masa depan.

Berbagai negara, termasuk beberapa negara di Amerika Latin, Maroko di Afrika maupun Timor Timur, berhasil mempelajari masa lalu mereka serta bergerak maju tanpa beban sejarah. Indonesia dengan tragedi 1965 dan Turki dengan genosida terhadap etnik Armenia pada 1915, termasuk negara yang masih harus berjuang buat menutup luka mereka.

“Kita tak bisa terus-menerus tak mau menutup tragedi 1965. Kita tak boleh meninggalkan pekerjaan besar ini kepada anak atau cucu kita. Kita harus melakukan rekonsiliasi dan rekonsiliasi harus dilakukan berdasarkan sesuatu dan sesuatu tersebut adalah kebenaran,” tukas Sundari.

Menurutnya, ada tiga tujuan dalam pembentukan komisi kebenaran: (1) pencarian kebenaran dengan memberikan tempat dan waktu kepada korban dan keturunan mereka, plus beberapa pelaku pembunuhan, buat bersaksi soal tragedi 1965; (2) pemberikan perlindungan kepada mereka yang hendak bersaksi dari kemungkinan intimidasi dan diskriminasi; (3) restorasi terhadap hak orang-orang dan keturunannya yang selama ini mengalami diskriminasi akibat 1965.

Komisi ini akan membuka forum kesaksian di berbagai kota di Indonesia. Komisi akan merekam dan mencatat kesaksian. Ia lantas akan dibukukan atau dibuatkan situs web. Ia akan jadi acuan buat bangsa Indonesia belajar tentang kebenaran –bukan propaganda seperti yang selama ini terjadi.

“Presiden Jokowi akan melakukan hal yang sangat berguna buat masa depan bangsa Indonesia dengan membentuk komisi kebenaran. Jumlah anggota komisi seyogyanya ganjil, bisa tujuh sampai 15 orang, bekerja selama tiga tahun. Hasilnya, adalah sebuah buku putih,” beber Sundari.

Temuan dan rekomendasi dari Den Haag sebenarnya tidak berbeda dari temuan Komnasham karena kebenaran sejarah tidak bisa dibelokkan. Sayang Pemerintah yang lalu tidak ada kemauan (unwillingly) untuk penegakkan HAM sehingga tidak memunculkan kemampuan penyelesaian (unable) bagi penyelesaiannya sebagaimana ditunjukkan sikap Kejaksaan Agung yang menggantungkan laporan Komnasham terkait kasus 1965 maupun pelanggaran lainnya dalam ketidakpastian.

Presiden sepatutnya menjadi pemutus lingkaran propaganda pengingkaran fakta pelanggaran HAM kepada para korban 1965 yang memang sudah menjadi janji kampanye pilpres di Nawacita.

Penyelesaian melalui mekanisme KKR (bukan peradilan hukum) yang paling tepat karena korban pelanggaran bukan saja keluarga PKI tapi juga BK dan para aktivis PNI. Catatan sejarah juga menunjukkan para korban termasuk anggota militer akibat konflik atasan/elit dalam tubuh militer. Saatnya kita jadi bangsa yang dewasa, mengakui kesalahan masa lalu agar kita bisa melakukan lompatan maju. (***)

wwwwwwhttps://143.198.234.52/sonic77https://159.223.193.153/https://64.23.207.118/http://152.42.220.57/