Terpopuler 24 Jam Terakhir
1
Kadispora DKI Optimistis Timnas U-23 Indonesia Raih Tiket ke Olimpiade 2024 Paris
Olahraga
19 jam yang lalu
Kadispora DKI Optimistis Timnas U-23 Indonesia Raih Tiket ke Olimpiade 2024 Paris
2
Tumpukan Sampah di Pesisir Marunda Kepu Dibersihkan
Pemerintahan
23 jam yang lalu
Tumpukan Sampah di Pesisir Marunda Kepu Dibersihkan
3
Regional Sumatera Mandiri 3X3 Indonesia Tournament Meriah dan Seru, Terima Kasih Medan!
Olahraga
22 jam yang lalu
Regional Sumatera Mandiri 3X3 Indonesia Tournament Meriah dan Seru, Terima Kasih Medan!
4
Shin Tae-yong Optimistis Indonesia Tumbangkan Irak
Olahraga
20 jam yang lalu
Shin Tae-yong Optimistis Indonesia Tumbangkan Irak
5
La Paene Masara : Menyedihkan Nasib Tinju Amatir Indonesia
Olahraga
20 jam yang lalu
La Paene Masara : Menyedihkan Nasib Tinju Amatir Indonesia
6
Pemprov DKI Adakan Nobar Indonesia Lawan Irak di Piala Asia U 23
Olahraga
19 jam yang lalu
Pemprov DKI Adakan Nobar Indonesia Lawan Irak di Piala Asia U 23
Home  /  Berita  /  GoNews Group

YARA Gugat Qanun Bendera dan Lambang ke MA

YARA Gugat Qanun Bendera dan Lambang ke MA
Ilustrasi Bendera dan Lambang Aceh
Selasa, 30 Agustus 2016 17:46 WIB

BANDA ACEH - Tiga warga Aceh melaui Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA), hari ini (Selasa) mengajukan permohonan judicial review atau uji materi kepada Mahkamah Agung (MA) melalui Pengadilan Negeri Banda Aceh terkait Qanun Bendera dan Lambang.

Tiga warga yang memberikan kuasa kepada YARA adalah, Fakhrurrazi warga Kota Banda Aceh, serta Yudhistira Maulana warga Kabupaten Aceh Timur, dan Hamdani, warga Kabupaten Nagan Raya. Mereka mengajukan permohonan pengujian norma hukum yaitu pasal 4 dan 17 Qanun Nomor 3 tahun 2013 Tentang Bendera dan Lambang.

"Sebelumnya kami pernah mengajukan usulan untuk penyusunan Qanun a quo kepada Gubernur Aceh dan DPR Aceh sebagai wujud penyampaian aspirasi masyarakat di era demokrasi saat ini, Namun aspirasi dari kami selaku masyarakat tidak pernah dibahas, bahkan diabaikan begitu saja," kata Direktur YARA melalui siaran pers kepada GoAceh, Selasa (30/8/2016).

Sambung Safaruddin, sebagai warga negara yang taat hukum atas hal tersebut, mereka menganggap telah mengabaikan kehendak mayoritas masyarakat Aceh yang menginginkan agar bendera dan lambang daerah Aceh disesuaikan dengan berbagai entitas budaya, keberagaman daerah dan keislaman.

Dan, telah terjadi berbai gerakan penolakan terhadap Qanun tersebut di Aceh, karena tidak sesuai dengan kehendak mayoritas masyarakat Aceh yang mereka juga termasuk di dalam orang yang dirugikan atas pemberlakuan Qanun tersebut dengan diabaikannya aspirasi dari mereka.

"Kami menilai bahwa Qanun tersebut juga telah menjadi polemik politik antara Pemerintah Aceh dengan Pemerintah Pusat. Wakil Presiden Jusuf Kalla juga telah meminta agar materi dari Qanun yang telah disahkan oleh Pemerintah Aceh agar diubah dan disesuaikan dengan entitas budaya sejarah dan nilai-nilai Islam yang dianut di Aceh," jelasnya.

Namun oleh Pemerintah Aceh juga tidak bersedia mengubahnya, dan sampai saat ini Menteri Dalam Negeri juga tidak memberikan pengesahan terhadap Qanun tersebut, namun Pemerintah Aceh tetap beranggapan, Qanun tersebut telah sah untuk dilaksanakan, walaupun dalam implementasinya belum dilakukan secara nyata.

Polemik Qanun ini terletak pada model Bendera dan Lambang yang dianggap Pemerintah Pusat sebagai simbol perlawanan terhadap Pemerintah, karena pernah dipakai oleh Gerakan Aceh Merdeka (GAM) melakukan perlawanan terhadap RI atau ingin memisahkan diri dari NKRI.

Ketika Bendera dan Lambang tersebut dipakai lagi, maka Pemerintah RI merasa dan mencurigai, akan ada gerakan perlawanan seperti yang pernah dilakukan GAM dahulu. Akibatnya, di Aceh saat ini situasi menjadi tegang secara politik dengan TNI dan Polri. Kerena pihak keamanan tetap akan melarang dan menurunkan Bendera dan Lambang yang telah disahkan tersebut.

"Ketegangan seperti ini dapat membahayakan situasi perdamaian Aceh yang sudah berjalan selama 10 tahun lebih, dan ini berpotensi menjadi konflik politik berdarah kembali seperti yang pernah terjadi di Aceh selama 30 tahun," ujar Safaruddin.

Selain itu, secara normatif hukum kedudukan Qanun Nomor 3 Tahun 2013 bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 77 tahun 2007 tentang Lambang Daerah.

Hal itu khususnya dengan pasal 6 ayat (4) yang disebutkan, “Desain logo dan bendera daerah tidak boleh mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan desain logo dan bendera organisasi terlarang atau organisasi/perkumpulan/ lembaga/gerakan separatis dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia”.

Artinya kata Safaruddin, “Yang dimaksud dengan desain logo dan bendera organisasi terlarang atau organisasi/perkumpulan/lembaga/gerakan separatis dalam ketentuan ini misalnya logo dan bendera bulan sabit yang digunakan oleh gerakan separatis di Provinsi Aceh, logo burung mambruk dan bintang kejora yang digunakan oleh gerakan separatis di Provinsi Papua, serta bendera benang raja yang digunakan oleh gerakan separatis di Provinsi Maluku”.

Editor:Kamal Usandi
Kategori:Hukum, GoNews Group, Aceh
wwwwwwhttps://143.198.234.52/sonic77https://159.223.193.153/https://64.23.207.118/http://152.42.220.57/