Perguruan Tinggi Kesehatan Harus Mengacu Standar Internasional
Penulis: Fatih Al Rizki
Demikian dikatakan Ketua Asosiasi Institusi Perawat Nasional Indonesia, M Hadi, Selasa (8/11/2016) siang, usai seminar dan workshop membangun pendidikan NERS kompetitif di Era MEA yang dilaksanakan di Aula STIKes Imleda.
Untuk kualifikasi sendiri, kata M Hadi, ini sudah ada standarnya, yakni Asean Qualification Frame Work (AQFW) yang menjadi acuan negara-negara ASEAN untuk lulusan dari perawat.
“Sebetulnya, perawat-perawat kita dibutuhkan di negara Jepang, Timur Tengah, Amerika dan Australia. Kenapa? Karena perawat-perawat kita ini terkenal ramah, baik. Kemudian tidak banyak protes, suplay kita juga banyak. Cuma kemampuan berbahasa Inggris kita lemah,” ujarnya.
Dalam AQFW itu, sebutnya, ada empat hal kompetensi yang disorot. Antara lain, pengetahuan, keterampilan, sikap, dan standar pengembangan profesi.
“Inilah yang disepakati bersama. Kalau cocok, kemudian rumusan kompetensinya juga cocok, nanti akan diakui. Tapi yang paling penting, setiap negara memiliki sistem yang berbeda. Tetapi satu syarat umum yang sama, bahwa perawat itu bisa diterima di negara lain, kalau dia lulus kualifikasi dari negaranya. Makanya ada uji kompetensi di sini. Jadi, saya bisa bekerja keluar negeri, kalau saya qualified di negara saya, baru bisa bekerja di negara lain. (Begitu juga sebaliknya),” ungkapnya.
Di Indonesia, sambungnya, masih 40% peguruan tinggi kesehatan yang sudah memenuhi kualifikasi itu. Sedangkan 60% lagi, sedang berusaha memenuhi kualifikasi.
“Karena mungkin, di Indonesia ini susah juga dosennya, dosen kan harus S2, nyari S2 susah, nyari tempat praktik pun terbatas, dana pun terbatas, itulah persoalannya. Jadi 40 persen itu yang baru bisa menghasilkan lulusan yang bagus. Inilah yang harus ditingkatkan,” tandasnya.
Di sisi lain, Koordinator Kopertis Sumut, Prof Dian Armanto menyikapi, pengetahuan tentang profesi dan apa yang bisa dilakukan ke depan, penting untuk disampaikan kepada mahasiswa dalam mengantarkan ilmu pengetahuan dari sebuah workshop.
“Kurikulum sudah ada, dan bagaimana cara menyampaikannya, itu membutuhkan teknologi, membutuhkan pengetahuan, dan membutuhkan kemampuan untuk menyampaikannya,” ujarnya.
Ditinjau dari membelajarkannya, sebut Dian, mungkin sudah bagus dilakukan seperti di workshop. Akan tetapi, jelasnya kembali, Tri Dharma lain harus bisa diperbanyak lagi, karena itu merupakan kelemahan perguruan tinggi kesehatan di provinsi ini.
“Dosen-dosennya itu tidak banyak yang membuat penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Mungkin ini harapan saya, ke depan ini diperbaiki. Workshop tetap dilakukan, tapi bagaimana caranya agar workshop itu menghasilkan ide-ide baru yang kreatif untuk bisa menghasilkan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat,” jelasnya di dampingi Sekretaris APTISI Sumut, Ichwanul Akhyar.
Sementara itu, Ketua STIKes Imelda, dr Imelda Liana Ritonga mengatakan, pihaknya ke depan akan menerapkan sebuah terobosan agar pendidikan keperawatan menjadi lebih kompetitif. Terlebih lagi, dia menilai, masih banyaknya tenaga perawat yang dibutuhkan di negara lain ataupun seperti di pusat rehabilitasi.
Untuk itu, katanya, pendidikan keperawatan yang kompetitif, sangat penting diterapkan oleh perguruan tinggi kesehatan agar menghasilkan lulusan-lulusan keperawatan yang dapat bersaing di era MEA ini.
Editor | : | Arif |
Kategori | : | Pemerintahan, Pendidikan, Umum |