Terpopuler 24 Jam Terakhir
1
Adelia Pasha Kemalingan di Paris, Tas Istri Pasha Ungu itu Raib
Umum
23 jam yang lalu
Adelia Pasha Kemalingan di Paris, Tas Istri Pasha Ungu itu Raib
2
Taylor Swift dan Travis Kelce Kepergok Bersantai Mesra di Pantai Bahamas
Umum
23 jam yang lalu
Taylor Swift dan Travis Kelce Kepergok Bersantai Mesra di Pantai Bahamas
3
Eva Mendes Mundur dari Dunia Akting Demi Anak
Umum
23 jam yang lalu
Eva Mendes Mundur dari Dunia Akting Demi Anak
4
Kalah Lawan Sri Lanka, Timnas Putra Bersiap Hadapi Korsel di Kualifikasi Grup B FIBA 3X3 Asia Cup 2024
Olahraga
22 jam yang lalu
Kalah Lawan Sri Lanka, Timnas Putra Bersiap Hadapi Korsel di Kualifikasi Grup B FIBA 3X3 Asia Cup 2024
5
Berkolaborasi dengan Galestra, Donner Buka Toko Flagship Pertama di Jakarta
Umum
23 jam yang lalu
Berkolaborasi dengan Galestra, Donner Buka Toko Flagship Pertama di Jakarta
6
Zayn Malik Rindu Kejayaan Masa Lalu
Umum
23 jam yang lalu
Zayn Malik Rindu Kejayaan Masa Lalu
Home  /  Berita  /  GoNews Group

Ubah Tuduhan 'Waria Pelacur', Shinta Ratri, Merawat Iman Para Waria Mendirikan Pesantren Khusus di Yogya

Ubah Tuduhan Waria Pelacur, Shinta Ratri, Merawat Iman Para Waria Mendirikan Pesantren Khusus di Yogya
Shinta dan para waria di Pesantren Waria Yogyakarta. (kumparan.com)
Kamis, 13 Juli 2017 17:10 WIB
Penulis: Muslikhin Effendy
YOGYAKARTA - Siang hari terik di Kotagede mendadak mendung haru bagi Shinta Sari. Ia duduk takzim di teras rumah joglo milik keluarganya. Rumah seluas 200 meter persegi itu juga berfungsi sebagai pondok pesantren. Di kanan kiri teras, terlihat Alquran diletakkan berjejer dekat beberapa pasang mukena.

Shinta, mengenakan kerudung merah melingkari wajahnya yang berias, menceritakan kilas balik kehidupannya dengan tenang kepada kumparan yang singgah ke kediamannya di Kotagede, Yogyakarta.

"Saya dahulu mengalami kebingungan soal identitas. Badan saya cowok, tapi main dan berpakaian seperti perempuan," kata Shinta memulai ceritanya.

Pertempuran batin menguat ketika Shinta beranjak remaja. Ia yang sering bermain dengan anak perempuan, berusaha mencari siapa dirinya sebenarnya. Ia lantas sadar seperti apa dirinya ketika memasuki kelas 3 SMP, sekitar tahun 1977.

Shinta ketika itu membaca majalah yang diterbitkan Himpunan Wadam Djakarta (Hiwad).

Wadam sendiri kependekan dari hawa dan adam, sebutan lain untuk waria yang merupakan singkatan dari wanita pria. "Di situ (ketika membaca majalah Hiwad), saya merasa tidak sendiri sebagai waria," ucap Shinta.

?Shinta mulai bergaul dengan para waria lain. Menginjak 20 tahun, ia menyusuri tempat-tempat seperti pinggiran rel kereta Stasiun Tugu Yogyakarta.

Momen itu menyadarkannya bahwa benar waria kerap dikaitkan dengan kehidupan malam.

“Kawan-kawan saya mengalami konflik keras, melarikan diri saat SMP. Tapi apa yang bisa mereka lakukan saat merantau tanpa pendidikan dan tanpa modal? Melacur dan mengamen,” kata Shinta.

Ia merasa lebih beruntung karena masih diterima orang tuanya dalam kondisi demikian, dan tak sampai jatuh sungguhan dalam jerat dunia malam.

Sejak kecil, Shinta sesungguhnya dididik secara religius. Ia mendapat pelajaran moral cukup kuat dari orang tuanya.

“Saya sekolah dasar di SD Muhammadiyah. Saat SMP sekolah malam (di Madrasah) Diniyah. Orang tua juga membekali pelajaran agama,” ujar Shinta.

Orang tua tak mempermasalahkan pilihan Shinta sebagai waria. Namun, pergaulan sang anak mau tak mau membuat tak nyaman keluarga.

Shinta lantas sedikit menghela napas. Ia teringat sebuah momen, satu subuh di tahun 1982. Saat itu, kamar Shinta tiba-tiba diketuk oleh ibunya.

Pada usia 20 tahun ketika itu, Shinta terbiasa pulang dini hari menjelang fajar. Sepanjang malam, ia kerap keluar rumah, hidup di jalanan bersama kawan-kawan sesama waria yang mengamen dan melacur.

Pola hidup demikian mengusik sang ibu sehingga merasa harus berbicara empat mata dengan anaknya.

“Nak, kalau kamu perempuan, itu namanya pelacur,” kata Shinta mengulang ucapan ibunya.

Ia sadar ibunya sedang menganalogikan kegiatan sehari-harinya dengan perempuan pada umumnya. Perempuan dan waria, bagi Shinta, memiliki dosa yang sama ketika melacur.

Tahun 1990-an, timbul keinginan di diri Shinta untuk merangkul kawan-kawan waria. Ia ikut mendirikan Ikatan Waria Yogyakarta pada 1992. Forum itu menjadi perekat sesama waria--para penyintas dengan hidup tak semudah orang lain.

Mereka, terlepas dari orientasi seksual dan ekspresi gendernya, adalah masyarakat biasa. Bagi Shinta, seorang waria--sama seperti orang lain--berdosa karena perilakunya, bukan sebab kewariannya.

Gempa Yogya tahun 2006 mengubah wajah komunitas waria di kota itu. Saat itu, 6 orang waria ikut menjadi korban. Keenamnya meninggal.

“Semua orang, termasuk waria, memiliki dorongan spiritualitas yang besar. Kami kemudian berdoa bersama. Kami undang Pak Kiai,” cerita Shinta.

Spiritualitas yang tumbuh memicu keinginan untuk giat beribadah. Komunitas waria lalu menggelar pengajian rutin setiap malam Selasa Kliwon.

“Kawan waria tidak hanya mendengarkan pengajian. Kami belajar dan beribadah bersama.

Tak berapa lama, muncul ide untuk membuat pesantren, dan ide itu muncul dari sang kiai. Pesantren waria lantas mewujud. Berdiri di Notoyudan dengan pengasuh Ibu Maryani yang juga seorang waria, masyarakat saat itu menyambut hangat. Pembukaan pesantren pada 8 Juni 2008 bahkan dihadiri anggota DPRD Kota Yogyakarta.

Kemunculan pesantren waria itu menjadi jawaban atas pergulatan batin Shinta melihat kehidupan kawan waria lainnya. Ia meyakini, ketika waria berada di jalanan, baik buruknya mereka tak dapat sekadar dilihat dari penampilan.

Pondok Pesantren Waria Al-Fatah tak serta-merta diterima luas oleh kalangan waria sendiri. Saat ini misalnya, ujar Shinta, dari 232 waria yang terdata di Yogya, hanya 42 yang menjadi santri Al-Fatah.

Tedapat beberapa faktor yang menjadi alasan kenapa banyak waria tidak masuk ke pondok. Salah satunya tentu saja ingar bingar kehidupan duniawi yang membuai.Namun, itu tak jadi penghambat. Mereka yang menginginkan perubahan dalam hidup, antusias mengikuti kegiatan di pesantren. "Ketika mereka (para waria) tumbuh dewasa, meninggalkan keluarga lalu hidup di jalanan, moralnya ya moral jalanan. Di sini (pesantren) kemudian terbangun moralitas yang lebih baik, terjadi perubahan psoitif. Kawan-kawan jadi lebih bersabar dan memandang masa depan lebih positif,” tutur Shinta.

Namun, lanjut Shinta, niat baik tentu menghadapi beragam ujian. Faktor kedua yang menjadi ujian baginya ialah cara pandang dari waria itu sendiri.

Saat Shinta berusaha merangkul sebanyak mungkin waria untuk menjejak tanah spiritualitas, sebagian dari mereka beranggapan terlanjur tercebur lumpur dosa, sehingga merasa tak layak untuk beribadah.

"Banyak yang bilang, 'Aduh, Bu, saya belum siap pengajian. Saya merasa masih berdosa,’” ujar Shinta menirukan ucapan beberapa waria.

Shinta tak surut. Ia terus mengurus keseharian pondok pesantren, memastikan Al-Fatah bisa menampung aktivitas santri yang menghabiskan waktu 5 jam per hari. Lelah dan peluh, seiring sumber daya yang ia keluarkan untuk menopang pesantren, bagi Shinta tak seberapa ketimbang para waria tak memiliki ruang ibadah.

?Cobaan lebih berat datang awal tahun 2016. Saat itu, beberapa kelompok masyarakat meminta Pesantren Al-Fatah menghentikan operasi, seiring meningkatnya represi terhadap kelompok lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) di Indonesia.

Dalam laporan Human Rights Watch berjudul "Permainan Politik Ini Menghancurkan Hidup Kami: Komunitas LGBT Indonesia di Bawah Ancaman” yang dirilis Agustus 2016, disebutkan bahwa kelompok LGBT di Indonesia mengalami tindak kekerasan, ancaman, diskriminasi, serta menjadi sasaran kebencian dan pelecehan.

Prasangka dan ancaman terhadap kelompok LGBT meningkat tahun 2016, berbarengan dengan kian banyaknya ucapan diskriminatif dari pejabat terhadap mereka. Merespons tekanan bertubi dari sejumlah kelompok, Shinta tetap tenang. Sayangnya pesantren sempat harus berhenti beroperasi karena banyak santri yang takut dengan ancaman--dan itu wajar.

"Kami memahami Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin--Islam yang menjadi rahmat seluruh alam. Ketika agama digunakan menyakiti dan menyiksa orang, itu sudah di luar koridor rahmat seluruh alam," ujar Shinta.

Bila beda pendapat, kenapa mengerasi dan menekan, bukannya merangkul lewat dialog dan bicara dari hati ke hati? Barulah setelah trauma healing dilakukan, kawan-kawan waria kembali ke Al-Fatah. Mereka merasa butuh tempat ibadah.

Ancaman pada tahun 2016 itu membuat Shinta sibuk bukan main. Ia menggelar konferensi pers untuk menjelaskan apa yang terjadi, melakukan advokasi, dan mendekati warga setempat.

Shinta sempat khawatir hubungan pesantren dengan tetangga sekitar yang selama ini baik-baik saja, jadi rusak. Ia mencari tahu apakah kehadian Pondok Pesantren Al-Fatah mengganggu kampungnya. Untuk menunjukkan niat baik, Shinta menyambangi arisan ibu-ibu, dan menggelar klinik gratis dibantu LSM lokal. Sekitar 50 orang mengikuti kegiatan itu, menandakan tingkat penerimaan yang terhitung baik di lingkungan setempat.

Shinta sadar sepenuhnya, perjuangan menciptakan ruang bagi kaumnya masih panjang. Meski tekanan tak pernah berhenti, Shinta tak lantas membenci apalagi mencela.

“Saya ingin berguna bagi kawan-kawan. Walaupun secara ekonomi saya tidak punya banyak (materi), saya yakin Tuhan tidak tidur,” kata Shinta.

“Saya punya keyakinan, adalah hak prerogatif Tuhan untuk menentukan apalah salat dan doa waria diterima atau tidak,” ujar Shinta.

Ia menegaskan, ia dan kawan-kawannya hanya ingin beribadah, dan apakah mereka tak boleh beribadah kepada Tuhan karena mereka waria? ***

Sumber:kumparan.com
Kategori:DI Yogyakarta, Pendidikan, Peristiwa, Umum, GoNews Group
wwwwwwhttps://green.radenintan.ac.id/max/https://bkpsdm.tanahlautkab.go.id/galaxy/https://143.198.234.52/sonic77