Terpopuler 24 Jam Terakhir
1
Pelita Jaya Jadi Tim Pertama Lolos BCL Asia, Coach Ahang Blak-blakan Terkait Persaingan di Next Round
Olahraga
23 jam yang lalu
Pelita Jaya Jadi Tim Pertama Lolos BCL Asia, Coach Ahang Blak-blakan Terkait Persaingan di Next Round
2
UEA Dukung Indonesia Jadi Tuan Rumah Piala Dunia U-20 FIFA 2027
Olahraga
23 jam yang lalu
UEA Dukung Indonesia Jadi Tuan Rumah Piala Dunia U-20 FIFA 2027
3
Penuhi Target ke Semifinal Piala Asia U 23, Timnas Indonesia Selangkah Lagi Raih Tiket ke Paris
Olahraga
18 jam yang lalu
Penuhi Target ke Semifinal Piala Asia U 23, Timnas Indonesia Selangkah Lagi Raih Tiket ke Paris
4
Cetak Sejarah Baru, Timnas U 23 Indonesia Melaju ke Semifinal Piala Asia U 23
Olahraga
17 jam yang lalu
Cetak Sejarah Baru, Timnas U 23 Indonesia Melaju ke Semifinal Piala Asia U 23
5
Melaju ke Semifinal Piala Asia U 23, STY Sebut Meningkat Kepercayaan Timnas U 23 Indonesia
Olahraga
6 jam yang lalu
Melaju ke Semifinal Piala Asia U 23, STY Sebut Meningkat Kepercayaan Timnas U 23 Indonesia
6
Timnas Cricket Putri Indonesia Kalahkan Mongolia di Bali Bash Internasional
Olahraga
6 jam yang lalu
Timnas Cricket Putri Indonesia Kalahkan Mongolia di Bali Bash Internasional
Home  /  Berita  /  Sumatera Barat

Tahun 1902 Banyak Orang Minang Digiring Belanda dan Dirantai, 1908 Wajib Bayar Pajak Padahal Sumbar Satu-satunya Wilayah Bebas Pajak

Tahun 1902 Banyak Orang Minang Digiring Belanda dan Dirantai, 1908 Wajib Bayar Pajak Padahal Sumbar Satu-satunya Wilayah Bebas Pajak
Bung Hatta bersama keluarga
Sabtu, 19 Agustus 2017 12:51 WIB
JAKARTA - Sejarawan senior berambut putih dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Prof Taufik Abdullah, mengungkap kisah kehidupan praklamator Mohammad Hatta dengan gamblang. Usut punya usut, ternyata peraih gelar doktor dari Cornell University, Amerika Serikat, itu satu kampung dengan Bung Hatta.

Sama-sama urang Bukittinggi. Taufik juga pernah mengepalai proyek besar buku pemikiran Bung Hatta, Karya Lengkap Bung Hatta, yang diterbitkan oleh LP3ES. Bagaimana potret pemikiran Bung Hatta dalam kajian Prof Taufik Abdullah? Berikut petikan wawancaranya wawancara wartawan republika yang dilansir GoSumbar.com.

Bisa Anda jelaskan latar belakang yang membentuk Bung Hatta?

Saya cerita dulu, ya. Bung Hatta dilahirkan tahun 1902 di Bukittinggi. Waktu dia usia enam tahun, ayahnya meninggal. Dan dia adalah cucu seorang ulama besar di Sumatra Barat abad ke-19.

Kisah ini penting sekali. Waktu dia umur enam tahun, dia melihat tentara Belanda dan banyak orang-orang Minang yang digiring, dirantai. Nah, salah seorang Minang yang dirantai itu melambaikan tangannya. Dan itu adalah teman pamannya Bung Hatta.

Apa yang terjadi? Pada 1908, ada pemberontakan di beberapa tempat di Sumatra Barat. Waktu itu Belanda sudah mengharuskan orang Sumbar untuk membayar pajak. Padahal, Sumbar adalah satu-satunya daerah di wilayah Hindia Belanda yang tidak membayar pajak.

Dahulu, pada waktu Perang Padri, Belanda mengatakan, "Kami ke sini hanya untuk berdagang, tidak untuk memerintah." Tetapi, orang harus jual kopi kepada Belanda. Jadi, Belanda memonopoli kopi.

Namun, sejak tahun 1864 itu —berdasarkan riset-riset yang saya pelajari— itu produksi kopi terus-menerus turun. Orang sibuk dengan tanaman lain atau selain kopi. Nah, sehingga Belanda sejak awal abad ke-20 sudah mengatakan bahwa orang harus membayar pajak. Mereka menolak. Akhirnya pada tahun 1908 Belanda memaksakan itu.

Maka, terjadilah perang di mana-mana di Sumbar. Salah satu yang terbesar adalah Perang Kamang, lalu ada Perang Manggopoh dan juga perang di Lintau Buo. Ini peristiwa yang Bung Hatta tidak lupakan.

Cerita berikutnya: Pada 1901, sudah terbit majalah di Padang dalam bahasa Indonesia, bahasa Melayu, namanya Insulinde. Itu majalah terbit sampai tahun 1904. Pesan majalah itu boleh dikatakan hanya satu, yakni supaya masyarakat memasuki “dunia maju”.

Orang-orang karenanya harus bersekolah. Nah, pada waktu itu juga, dari Belanda sudah ada surat kabar masuk berbahasa Melayu yang dipimpin oleh Abdoel Rivai, dokter dan orang Minang juga. Dr Rivai juga mengimbau supaya orang masuk ke dunia maju.

Jadi, begitulah suasananya memasuki "dunia maju". Itulah bagian dari latar belakangnya Bung Hatta (sewaktu masih kanak-kanak–red). Soal lain lagi, belakangan setelah dewasa memang Bung Hatta kurang begitu cocok dengan Rivai. (Taufik tertawa).

Nah, di Bukittinggi, Bung Hatta bersekolah. Dia belajar bahasa Belanda dan Prancis dengan seorang Belanda yang pegawai pos. Dia kemudian pindah ke Padang untuk sekolah MULO. Di sanalah Bung Hatta sudah aktif berorganisasi, di Jong Sumatranen Bond.

Pada waktu itu di Padang telah terjadi konflik antara kaum muda dan kaum tua. Konflik pertama adalah antara orang-orang pendatang dari pedalaman yang masuk ke Padang. Konflik itu untuk mengembalikan Padang ke dalam adat Minangkabau lagi. Itulah yang disebut oleh orang Belanda sebagai revolusi adat.

Intinya, adat bangsawan. Adapun sebaliknya, di pedalaman tidak ada bangsawan. Semuanya demokrasi. Orang-orang Kota Padang itu asalnya dari pedalaman. ''Eh, mentang-mentang sudah jadi orang kota, terus lupa,'' kira-kira begitu.

Tapi kemudian, datanglah modernisme Islam. Waktu itulah tokoh adat tadi menjadi berpihak kepada bangsawan Padang karena melawan modernisme Islam.

Kaum muda menjadi pendukung modernisme Islam. Nah, Bung Hatta sebagai anak muda ikut yang modernisme Islam. Dan, pendukung modernisme Islam yang terhebat itu adalah para pedagang.

Mereka ini kaum maju. Ada kantornya. Bung Hatta biasa membaca surat-surat kabar di kantor itu. Atau berdiskusi. Bung Hatta menjadi kesayangannya para pedagang itu.

Singkatnya, Bung Hatta di waktu itu sudah melihat pergumulan demokrasi—semangat demokrasi Minangkabau—dan modernisme Islam dan juga tentang kemajuan—perlunya berorganisasi. Itulah tiga hal yang dipelajari Bung Hatta sebelum ke Jawa.

Bagaimana kisah Bung Hatta di Jakarta?

Bung Hatta sekolah di PHS (Prins Hendrik School–Red). Itu setingkat SMA sekarang. Dia sudah banyak baca buku-buku yang penting. Waktu itu, Bung Hatta sudah kenal baik dengan antara lain Haji Agus Salim, yang sudah memimpin Sarekat Islam. Sering pula Haji Agus Salim dan Bung Hatta berdiskusi.

Di Jakarta Bung Hatta ikut pula menulis dalam majalah Jong Sumatranen Bond. Bahkan, Bung Hatta sempat pula menulis sajak. Satu-dua syair, tentang keindahan alam Indonesia.

Bung Hatta juga ikut dengan perkumpulan teosofi. Itu tentang kemanusiaan dan persaudaraan. Tapi, setelah dua atau tiga bulan, dia sadar. Teosofi kan tentang kemanusiaan, tentang bagaimana kita manusia bersaudara. Jadi, Bung Hatta waktu itu sudah merasa selesai. Satu yang diambil Bung Hatta bahwa harga diri kita sama saja dengan orang Belanda.

Hanya, sampai suatu saat-saat tertentu, Bung Hatta sadar, eh kok “lain”. Agak mirip-mirip ke agama. Makanya, dia meninggalkan. Banyak orang-orang Minang yang keluar dari teosofi. Karena heran, kesadaran kemanusiaan kok mengingkari Yang Mahakuasa.

Apa yang membuat Bung Hatta tertarik dengan sosialisme?

Bung Hatta adalah satu-satunya tokoh nasional kita yang mendalami teori-teori besar. Dialah satu-satunya tokoh kita yang menulis buku tentang teori dari Max Weber, teori dari Werner Sombart, dan teori dari Karl Marx.

Bung Karno, misalnya, beliau mengambil teori-teori besar, lantas berpidato. Namun, Bung Hatta menulis. Karena, Bung Hatta juga seorang guru sehingga dia menulis text books.

Saat masih di Jakarta sudah dia pelajari pula itu. Pamannya orang kaya sehingga Bung Hatta banyak dibelikan buku-buku. (Taufik kembali tertawa). Haji Agus Salim sampai mengatakan, "Kok kamu sudah bisa beli buku-buku hebat?"

Di Belanda. Di samping bersekolah, dia juga berorganisasi. Dia sudah ikut dengan pergerakan pemuda-pemuda. Karena—jangan lupa—ketika Bung Hatta di sana, itu sewaktu yang genting juga di Eropa. Baru usai Perang Dunia I.

Nah, setelah Perang Dunia I, itu orang-orang mulai melihat apa-apa sebab Perang Dunia I. Itu antara lain karena kapitalisme sudah terlalu dominan. Jadi, ada tuntutan rasa keadilan. Nah, ajaran pertama daripada sosialisme adalah pada masalah keadilan.

Karena itulah, Bung Hatta melihat adanya kesamaan. ''Ah, kalau begitu, sama dengan kampung saya.'' Dia selalu membuat perbandingan dengan kampungnya. Jadi, sistem di kampung Sumatra Barat juga seperti sosialisme. Bung Hatta memikirkan sosialisme desa. Karena itu, dia melihat lebih luas. ''Bagaimana kalau konteksnya negara?''

Nah, keberatan Bung Hatta pada ini, ''Eh, kok sosialisme memaksakan? Kok tidak peduli dengan agama?” Padahal, Bung Hatta keturunan ulama besar. Bung Hatta memikirkan sosialisme desa. Karena itu, dia melihat lebih luas. Bung Hatta kan orang Islam. Itu kan ada zakat dan segala macam. Nah, bagaimana dalam konteks negara modern yang bersifat orangnya campur-aduk. Jadi, di samping yang bersifat agama, yang bersifat kenegaraan bagaimana? Dia sudah bisa membedakan dan mempelajari itu. ***

Editor:Hermanto Ansam
Sumber:republika.co.id
Kategori:Sumatera Barat, Peristiwa, Umum
wwwwwwhttps://143.198.234.52/sonic77https://159.223.193.153/https://64.23.207.118/http://152.42.220.57/