Terpopuler 24 Jam Terakhir
1
Okto Jadi Saksi Sejarah Indonesia Kalahkan Australia di Piala AFC U-23
Olahraga
21 jam yang lalu
Okto Jadi Saksi Sejarah Indonesia Kalahkan Australia di Piala AFC U-23
2
Kalahkan Australia di Piala Asia U 23, Erick Thohir: Luar Biasa Penampilan Indonesia
Olahraga
22 jam yang lalu
Kalahkan Australia di Piala Asia U 23, Erick Thohir: Luar Biasa Penampilan Indonesia
3
Hadapi Red Sparks, Agustin Wulandari: Kami Akan Berikan Penampilan Terbaik
Olahraga
16 jam yang lalu
Hadapi Red Sparks, Agustin Wulandari: Kami Akan Berikan Penampilan Terbaik
4
Uruguay Jajaki Kerja Sama Jaminan Produk Halal dengan Indonesia
Pemerintahan
18 jam yang lalu
Uruguay Jajaki Kerja Sama Jaminan Produk Halal dengan Indonesia
5
HUT ke-94, PSSI Berbagi Kebahagian dengan Legenda Timnas Indonesia
Olahraga
18 jam yang lalu
HUT ke-94, PSSI Berbagi Kebahagian dengan Legenda Timnas Indonesia
6
Billie Eilish Unjuk Kedalaman Emosional di Album Terbaru 'Hit Me Hard and Soft'
Umum
16 jam yang lalu
Billie Eilish Unjuk Kedalaman Emosional di Album Terbaru Hit Me Hard and Soft
Home  /  Berita  /  GoNews Group

Pengamat: RUU SDA harus Pro Rakyat dan Melarang Perusahan Air Ambil Keuntungan

Pengamat: RUU SDA harus Pro Rakyat dan Melarang Perusahan Air Ambil Keuntungan
Selasa, 19 Maret 2019 18:51 WIB
Penulis: MUslikhin Effendy
JAKARTA - Pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Sumber Daya Air (SDA) seharusnya fokus pada air minum perpipaan. Namun nyatanya, saat ini RUU tersebut malah berpanjang lebar pada urusan Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) yang dikelola pengusaha swasta.

Hal ini diungkapkan Pengamat dari Universitas Ibnu Khaldun Bogor, Mohamad Mova Al'Afghani dalam diskusi yang bertajuk "RUU SDA, Pro-Rakyat atau Pro-Bisnis? di Press Room DPR RI, Senayan, Jakarta Pusat, Senin (19/3/2019).

Mova mengatakan, hak atas pelayanan air minum belum diatur Rancangan Undang-Undang (RUU) Sumber Daya Air (SDA). "Di dalam RUU SDA Kurang adanya jaminan hak atas air dalam konteks pelayanan air. Hak atas air kalau orang mengambil air dari lingkungan itu, konteks sumber daya. Itu dijamin. Tapi hak atas pelayanan air, PDAM, itu belum diatur. Layanan sanitasi. Itu belum banyak diatur di RUU," ujar Mova
 
Terkait pengusaan air oleh negara dalam hal ini Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha milik Daerah (BUMD) kata Mova belum menjamin. Pasalnya, badan tersebut juga harus mencari keuntungan (profit).
 
"Apakah kalau dikuasai oleh BUMN/BUMD sudah menjamin dikuasi oleh nagara. Apakah selesai sampai disitu. Idealnya tidak berhenti pada dikuasi oleh BUMN/ BUMN. Apakah kalau dikuasai oleh BUMN/BUMD berarti dikuasai oleh negara? Karena BUMN kan juga harus mencari profit," tegasnya.
 
Mova pun mengusulkan supaya perusahaan air tidak boleh mengambil keuntungan. "Usul saya kembali pada Judicial review 2002, dimana penguasaan negara tidak berhenti pada dikuasai oleh negara, tetapi perusahaan air tidak boleh mengambil keuntungan. Maka idelanya bentuknya harus Perusahaan Umum atau Perusahaan Umum Daerah," tambahnya.

Ia juga mengatakan tidak diaturnya pengelolaan air berbasis masyarakat akan menimbulkan polemik yang berkelanjutan. "Nantinya terjadi pertentangan dipengelolaan. Yang ada masyarakat akan berbondong-bondong membuat sumur sendiri dan itu akan susah dikontrol," ujarnya.

SPAM Pedesaan, katanya, bisa menjadi solusi penyediaan air bersih bagi seluruh masyarakat Indonesia dan mendukung target RPJMN, selain memanfaatkan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

Terlebih, saat ini SPAM Pedesaan mulai merambah lembaga keuangan guna mendapat modal untuk mengembangkan kapasitasnya. Pinjamannya pun terbilang kecil, berkisar dari Rp20 juta hingga Rp70 juta yang digunakan untuk pengeboran sumur baru, konstruksi jaringan perpipaan, dan konstruksi rumah baru. "Mereka sudah tidak lagi mengandalkan hibah. Mereka berkembang karena kebutuhan, maka jangan sampai SPAM Pedesaan ini tidak diatur pengelolaannya," ujarnya.

Hingga saat ini, 38 SPAM Pedesaan telah berhasil mengembangkan kapasitasnya melalui pinjaman bank. Dari 12.253 SPAM Perdesaan yang ada, sekitar 1.200 sudah menyatakan minatnya. Untuk mendapatkan pinjaman dari bank ini, nantinya, SPAM Pedesaan akan mendapatkan bantuan berupa penyusunan rencana bisnis sehingga feasible.

"Bank pun sekarang mulai melirik ini karena sense of belonging yang dimiliki membuat SPAM Perdesaan memiliki nilai bisnis," tuturnya.

Ia juga menuturkan hak rakyat atas air untuk kebutuhan sehari-hari harus dikedepankan dalam RUU SDA. Jangan sampai, alokasi untuk kebutuhan dasar manusia itu, justru kalah dari kebutuhan lain seperti pertanian dan peternakan. "Di RUU alokasi SPAM justru di bawah kebutuhan lainnya dan ini tidak sesuai dengan enam prinsip putusan Mahkamah Konstitusi," tuturnya.

Untuk memitigasi hal itu sebaiknya RUU SDA mengakomodasi prioritas alokasi kebutuhan air dan mendesak agar pemerintah transparan mengemukakan penggunaan air. "Jadi bisa dilihat nantinya, siapa sebenarnya yang paling banyak memanfaatkan air tersebut." tukasnya.

Ia menuturkan, DRAF Rancangan Undang-Undang (RUU) Sumber Daya Air (SDA) yang diinisiasi DPR juga masih karut marut. Salah satunya, karena masih mencampuradukkan definisi soal air bersih dan air minum dalam kemasan (AMDK).

Hal itu dipandang justru bakal melembagakan ketergantungan masyarakat terhadap AMDK dan mengesampingkan tanggung jawab negara atas pemenuhan akses air melalui sistem penyediaan air minum (SPAM).

"Dengan mendefinisikan air minum mencakup AMDK dalam pasal 51 RUU SDA dan menyatukan pengaturannya dalam pasal-pasal mengenai pelayanan air, pemerintah justru melembagakan kebergantungan masyarakat terhadap AMDK dan mengerdilkan air perpipaan (SPAM)," katanya.

Air bersih dan AMDK kata dia, adalah dua hal yang berbeda. Di Indonesia, akses masyarakat terhadap air bersih disediakan oleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM). Namun, air PDAM yang mengalir ke rumah konsumen belum memenuhi kualitas air yang dapat langsung diminum. Akibatnya, pilihan air minum bagi masyarakat jatuh pada air tanah atau air PDAM yang dimasak atau mengkonsumsi AMDK.

"RUU SDA akan mengakibatkan masyarakat tidak memiliki pilihan dalam memenuhi kebutuhan air minum. Karena itu, AMDK seharusnya dicoret dari definisi air minum dan tidak diatur dalam pasal-pasal yang mengatur mengenai pelayanan air," imbuhnya.

Penyusunan RUU SDA selayaknya memperhatikan alasan-alasan yang menjadi pertimbangan Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan 85/PUU-XI/2013 mengenai pembatalan UU No 7/2004 tentang Sumber Daya Air.

Antara lain soal hak rakyat atas air. Hal itu menurut dia hendaknya dipahami sebagai hak masyarakat mendapatkan akses air bersih untuk kebutuhan sehari-hari seperti mandi, makan, minum, memasak, mencuci dan sanitasi.

"Di sinilah negara berkewajiban untuk menyediakan kebutuhan minimum masyarakat atas air bersih melalui SPAM, bukan AMDK. Karenanya pengelompokan AMDK dalam pengertian air minum dalam pasal 51 RUU SDA merupakan hal yang keliru," ungkapnya.

Hal lain yang juga krusial dalam RUU tersebut, kata dia, ialah keterlibatan swasta yang harus melalui skema kerja sama dengan BUMN/BUMD ataupun BUMDes. Menurut dia, RUU tersebut tidak mendefisikan secara jelas siapa yang dimaksud dengan swasta. Swasta yang didefinisikan dalam RUU cenderung mengarah hanya kepada korporasi.

Dalam prakteknya, lanjut Mova, pengusahaan air minum saat ini tidak hanya melibatkan korporasi tetapi juga lembaga swadaya masyarakat, yayasan dan perkumpulan serta koperasi yang sama sekali tidak berorientasi pada keuntungan. "RUU SDA sebaiknya juga membedakan antara swasta yang mencari keuntungan dan swasta yang menyediakan air sebagai layanan dasar dan tidak mencari keuntungan."
 
Sementara itu, Anggota Panitia Kerja (Panja) Rancangan Undang-Undang (RUU) Sumber Daya Air (SDA), Intan Fitriana Fauzi menegaskan, pengelolaan air oleh pihak swasta harus diatur. Apalagi kata Intan, penggunaan air dalam jumlah besar seperti di kawasan Industri dan kawasan perumahan komersil yang luasnya ratusan hektar. "Di satu sisi ada kebutuhan dunia usaha untuk hal tersebut tapi di sisi lain jangan sampai mengesampingkan kebutuhan rakyat. Artinya jangan sampai negara tidak hadir di situ," ujar Intan.
 
Menurut Intan, air dan kekayaan alam di dalamnya harus dipergunakan untuk kepentingan rakyat. Hal tersebut kata Intan supaya rakyat mendapat air yang layak. "Air dan kekayaan di dalamnya dipergunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat. Artinya setiap warga negara atau rakyat kita harus mendapatkan air yang layak baik untuk minum, cuci dan kakus," tandasnya.

"Kami berharap rancangan undang-undang ini bisa selesai secepatnya. Karena memang masih dalam pembahasan dan tahap dari Juli 2018 itu kami menggodok di tahap redaksional, walaupun awalnya kami berharap bisa diselesaikan awal 2019," pungkasnya.***

wwwwwwhttps://143.198.234.52/sonic77https://159.223.193.153/https://64.23.207.118/http://152.42.220.57/