Terpopuler 24 Jam Terakhir
1
Dengan Tema Mawar Hitam, Pameran Busana Migi Rihasalay Pukau Pengunjung Indonesia Fashion Week 2024
Umum
15 jam yang lalu
Dengan Tema Mawar Hitam, Pameran Busana Migi Rihasalay Pukau Pengunjung Indonesia Fashion Week 2024
2
Lawan Bali United, Thomas Doll Harapkan Pemain Persija Jakarta Bugar
Olahraga
14 jam yang lalu
Lawan Bali United, Thomas Doll Harapkan Pemain Persija Jakarta Bugar
3
Nova Arianto Panggil 36 Pemain untuk Seleksi Timnas U-16 Tahap Kedua
Olahraga
15 jam yang lalu
Nova Arianto Panggil 36 Pemain untuk Seleksi Timnas U-16 Tahap Kedua
4
Cinta Laura Tetap Produktif di Bulan Ramadan
Umum
16 jam yang lalu
Cinta Laura Tetap Produktif di Bulan Ramadan
5
Persis Solo Pantau Fisik Pemain Selama Ramadan
Olahraga
14 jam yang lalu
Persis Solo Pantau Fisik Pemain Selama Ramadan
6
Langsung Pantau Persiapan, Menpora Dito Ingin Berikan Kado Terbaik buat Presiden Jokowi dari Olimpiade 2024 Paris
Olahraga
17 jam yang lalu
Langsung Pantau Persiapan, Menpora Dito Ingin Berikan Kado Terbaik buat Presiden Jokowi dari Olimpiade 2024 Paris
Home  /  Berita  /  DPR RI

Berpotensi Kekang Pers, PKS Tolak RUU Cipta Kerja

Berpotensi Kekang Pers, PKS Tolak RUU Cipta Kerja
Foto: Instagram
Sabtu, 23 Mei 2020 22:25 WIB
JAKARTA - Wakil Ketua Fraksi PKS DPR RI, Netty Prasetiyani Heryawan meminta pembahasan RUU Omnibus Law Cipta Kerja dihentikan lantaran mengandung upaya mengembalikan campur tangan pemerintah dalam kehidupan pers sehingga berpotensi mengekang kebebasan pers di Indonesia.

"Disebutkan dalam RUU ini adanya peraturan pemerintah tentang pengenaan sanksi administratif terhadap perusahaan media yang melanggar aturan terkait badan hukum pers, pencantuman alamat dan penanggungjawab secara terbuka," kata anggota Komisi IX DPR RI ini.

Menurut Netty, adanya peraturan pemerintah tersebut seperti membuka pintu belakang yang bertentangan dengan semangat pengelolaan mandiri (self-regulatory) media yang terbebas dari intervensi pemerintah.

"Kita perlu mendorong pers yang kredibel dan bertanggungjawab, namun jangan sampai RUU Omnibus Law Cipta Kerja ini mengembalikan pengalaman buruk di masa Orde Baru, di mana ada campur tangan Pemerintah yang besar terhadap pers" ujarnya.

Sebagaimana diketahui, pada masa Pemerintahan Orde Baru, Pemerintah melakukan kontrol terhadap pemberitaan media, mulai dari keharusan adanya Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP), pengendalian Dewan Pers, pengaturan organisasi wartawan hingga pembredelan.

"Langkah ini dapat menjadi kemunduran bagi kebebasan pers Indonesia," tambahnya.

Selain itu, kata Netty, dalam Undang-Undang Tentang Pers No 40 Th 1999, denda untuk perusahaan pers yang melanggar ketentuan soal kewajiban memperhatikan norma agama dan kesusilaan dalam pemberitaan, paling banyak Rp500 juta, tetapi dalam draf RUU Cipta Kerja disebutkan sampai Rp 2 miliar.

"Pelanggaran memang perlu diberi sanksi sebagai cara pembelajaran. Namun, untuk apa dinaikkan sampai empat kali lipat? Hal ini akan sangat menyulitkan teman-teman pers. Bisa jadi tidak ada lagi yang berani menjalankan perusahaan pers kalau dendanya sebanyak itu," ujar Netty.

Netty juga berpendapat bahwa pers yang sehat, bebas dan bertanggungjawab adalah pilar demokrasi. Menurutnya, pers dapat menjadi alat kontrol sosial untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh pejabat publik.

"Nah, fungsi ini akan berjalan dengan baik, jika pers independen dan memiliki keleluasaan. Jika ditakut-takuti dengan denda dan sanksi yang berat dan diawasi dengan peraturan pemerintah soal administrasi, tentu akan mempengaruhi keleluasaan pers dalam menjalankan fungsi kontrol sosial," pungkasnya.

Sebagaimana diketahui, Paragraf 5 Pasal 87 RUU Omnibus Law Cipta Kerja mengandung ketentuan revisi terhadap UU No.40 tentang Pers, antara lain pada Pasal 11 dan Pasal 18 yang ditolak kalangan insan media.

Pasal 11 mengatur mengenai mekanisme penanaman modal, yang awalnya dilakukan melalui pasar modal direvisi menjadi pemerintah pusat mengembangkan usaha pers melalui penambahan modal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal.

Sementara Pasal 18 merevisi ketentuan terkait pemberian sanksi bagi perusahaan pers yang melakukan pelanggaran atas pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) serta pasal 13 UU Pers, dari denda maksimal Rp 500 juta menjadi Rp 2 miliyar.

Kemudian pada ayat 3, perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 9 ayat (2) dan Pasal 12 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp 100 juta direvisi menjadi perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 9 ayat (2) dan Pasal 12 dikenai sanksi administratif.

Terakhir, di ayat 4 mengenai ketentuan lebih lanjut mengenai jenis, besaran denda, tata cara, dan mekanisme pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.***

Editor:Muhammad Dzulfiqar
Kategori:Hukum, Politik, Nasional, DPR RI, GoNews Group, DKI Jakarta
wwwwwwhttps://green.radenintan.ac.id/max/https://bkpsdm.tanahlautkab.go.id/galaxy/https://143.198.234.52/sonic77https://159.223.193.153/