Terpopuler 24 Jam Terakhir
1
Dengan Tema Mawar Hitam, Pameran Busana Migi Rihasalay Pukau Pengunjung Indonesia Fashion Week 2024
Umum
13 jam yang lalu
Dengan Tema Mawar Hitam, Pameran Busana Migi Rihasalay Pukau Pengunjung Indonesia Fashion Week 2024
2
Lawan Bali United, Thomas Doll Harapkan Pemain Persija Jakarta Bugar
Olahraga
12 jam yang lalu
Lawan Bali United, Thomas Doll Harapkan Pemain Persija Jakarta Bugar
3
Nova Arianto Panggil 36 Pemain untuk Seleksi Timnas U-16 Tahap Kedua
Olahraga
13 jam yang lalu
Nova Arianto Panggil 36 Pemain untuk Seleksi Timnas U-16 Tahap Kedua
4
Cinta Laura Tetap Produktif di Bulan Ramadan
Umum
14 jam yang lalu
Cinta Laura Tetap Produktif di Bulan Ramadan
5
Persis Solo Pantau Fisik Pemain Selama Ramadan
Olahraga
12 jam yang lalu
Persis Solo Pantau Fisik Pemain Selama Ramadan
6
Langsung Pantau Persiapan, Menpora Dito Ingin Berikan Kado Terbaik buat Presiden Jokowi dari Olimpiade 2024 Paris
Olahraga
15 jam yang lalu
Langsung Pantau Persiapan, Menpora Dito Ingin Berikan Kado Terbaik buat Presiden Jokowi dari Olimpiade 2024 Paris
Home  /  Berita  /  Peristiwa

Bahas Adendum Amdal RPL Bintuni, Senator Papua Minta Hak Masyarakat Adat di 7 Suku Tetap Diperhatikan

Bahas Adendum Amdal RPL Bintuni, Senator Papua Minta Hak Masyarakat Adat di 7 Suku Tetap Diperhatikan
Senator asal Papua, Filep Wamafwa. (Foto. Dok Pribadi)
Rabu, 24 Februari 2021 20:09 WIB
Penulis: Muslikhin Effendy
JAKARTA - Anggota DPD RI dari daerah pemilihan Papua, Filep Wamafwa, meminta agar hak-hak masyarakat adat 7 suku di Bintuni, Papua, tetap diperhatikan. Hal tersebut diungkapkannya, menanggapi soal rencana pengelolaan lingkungan hidup di daerah tersebut.

"Saya minta agar adendum tersebut benar-benar memperhatikan eksistensi kehidupan masyarakat adat 7 (tujuh) suku di teluk Bintuni sekaligus hak-haknya," ujar Filep kepada GoNews.co, Rabu (24/2/2021) di Jakarta.

Untuk diketahui, adendum perubahan Amdal tersebut merupakan pembahasan lanjutan guna melihat kembali dampak lingkungan dan dampak sosial terhadap warga di sekitar lokasi, yang kembali dibahas BP Tangguh, Pemprov Papua, LSM, Pemda Teluk Bintuni dan Lembaga Hukum, Selasa (23/2/2021) kemarin.

Filep juga mengingatkan, agar para investor maupun pemerintah terkait tidak mempermainkan kesepakatan amdal. Hal itu menurutnya karena banyaknya kasus kerusakan lingkungan yang terjadi meski izin amdal telah dikeluarkan.

Penulis buku 'Pengaturan Kebijakan Investasi Dalam Rangka Perlindungan Terhadap Hak-Hak Masyarakat Adat di Provinsi Papua Barat' ini juga meminta agar perhatian Pemerintah pusat dan daerah sebagai penanggungjawab implementasi UU, memastikan investasi di Papua telah sesuai peraturan. "Jika temuan pelanggaran telah nyata maka wajib diproses hukum sehingga dapat menimbulkan efek jera," tandasnya.

Pemerintah kata Filep, secara berjenjang juga harus memperbaiki sistem manajemen administrasi terkait investasi sehingga tidak memberikan peluang adanya unsur pelanggaran administrasi maupun hukum baik karena kelalaian ataupun kesengajaan. Bila diperlukan kata Dia, pemerintah dapat segera membentuk tim investigasi BP Tangguh.

Sebelumnya, kata Filep, Gubernur Papua Barat Dominggus Mandacan meminta agar BP Tangguh melaksanakan komitmen kesepakatan Amdal tentang penataan lingkungan perumahan bagi masyarakat pesisir utara di Weriagar, Tomu, dan Taroi, pada Januari 2020. Dominggus meminta BP Tangguh berkewajiban membangun 465 unit rumah bagi masyarakat di distrik Weriagar, Tomu, dan Taroi dalam jangka waktu 4 tahun sejak 2018.

"Persoalan investasi di Tanah Papua memang tak kunjung ada habisnya. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sendiri sudah menemukan pelanggaran-pelanggaran terkait perizinan, praktik deforestasi hutan alam dan lahan gambut menjadi perkebunan kelapa sawit, pembukaan lahan dengan cara membakar hutan, tidak tersalurkannya pemerataan ekonomi kepada masyarakat sekitar areal konsesi, konflik tenurial serta persoalan yang muncul terkait dengan kewajiban pembangunan kebun plasma," urainya.

KPK kata Filep, sudah menemukan 24 perusahaan kelapa sawit di Papua Barat yang beroperasi di wilayah seluas 576.090,84 hektare, namun hanya 11 perusahaan dari jumlah tersebut yang telah melakukan penanaman.

"Masyarakat Papua secara genealogis terikat pada tanah dan hutan sebagai bagian dari kehidupannya. Dengan demikian, setiap investasi di Papua maupun Papua Barat, yang melakukan deforestasi dan perusakan lingkungan hidup sama dengan merenggut sumber kehidupan Orang Papua," tukasnya.

Papua saat ini menurutnya, merupakan wilayah Indonesia yang sepanjang integrasinya memilki luka politik dan duka ekologis. Luka politik itu terjadi karena berbagai pelanggaran HAM tidak dapat diselesaikan secara memuaskan, bahkan cenderung ditinggalkan begitu saja. Sementara duka ekologis, karena hutannya pun dijarah, namun tak mampu membuat sejahtera Orang Papua.

Persoalan tersebut semakin parah karena Papua tetap menjadi provinsi termiskin di Indonesia. Karena itu perlu tanggung jawab yang integral dari investor yang menanamkan bisnisnya di Tanah Papua. Tanggung jawab itu tidak sekadar bernuansa ekonomi, melainkan penghargaan terhadap harkat dan martabat Orang Papua, yang bebas dari diskriminasi, terutama diskriminasi terhadap sumber penghasilan.

"Akhirnya, semua harus bermuara pada berani tidaknya mengungkap praktik-praktik ilegal, atau usaha-usaha investasi yang melanggar hukum. Pertanyaannya ialah, apakah mafia-mafia investasi di Papua dapat diberantas? Atau justru setiap tahun telah muncul mafia-mafia baru," pungkasnya.***

wwwwwwhttps://green.radenintan.ac.id/max/https://bkpsdm.tanahlautkab.go.id/galaxy/https://143.198.234.52/sonic77https://159.223.193.153/