Terpopuler 24 Jam Terakhir
1
Mandiri 3X3 Indonesia Tournament 2024 Disambut Antusias di Medan
Olahraga
22 jam yang lalu
Mandiri 3X3 Indonesia Tournament 2024 Disambut Antusias di Medan
2
Pelita Jaya Jadi Tim Pertama Lolos BCL Asia, Coach Ahang Blak-blakan Terkait Persaingan di Next Round
Olahraga
17 jam yang lalu
Pelita Jaya Jadi Tim Pertama Lolos BCL Asia, Coach Ahang Blak-blakan Terkait Persaingan di Next Round
3
UEA Dukung Indonesia Jadi Tuan Rumah Piala Dunia U-20 FIFA 2027
Olahraga
17 jam yang lalu
UEA Dukung Indonesia Jadi Tuan Rumah Piala Dunia U-20 FIFA 2027
4
Duel Fisik dan Membaca Permainan Itu Keunggulan Sergio Ramos
Olahraga
22 jam yang lalu
Duel Fisik dan Membaca Permainan Itu Keunggulan Sergio Ramos
5
Penuhi Target ke Semifinal Piala Asia U 23, Timnas Indonesia Selangkah Lagi Raih Tiket ke Paris
Olahraga
12 jam yang lalu
Penuhi Target ke Semifinal Piala Asia U 23, Timnas Indonesia Selangkah Lagi Raih Tiket ke Paris
6
Cetak Sejarah Baru, Timnas U 23 Indonesia Melaju ke Semifinal Piala Asia U 23
Olahraga
11 jam yang lalu
Cetak Sejarah Baru, Timnas U 23 Indonesia Melaju ke Semifinal Piala Asia U 23
Home  /  Berita  /  Umum

Cerita Suku Anak Dalam: Menuntut Hak, Ditipu dan Dianiaya, Takut Corona, dan Tak Kenal DPR

Cerita Suku Anak Dalam: Menuntut Hak, Ditipu dan Dianiaya, Takut Corona, dan Tak Kenal DPR
Anak rimba Suku Anak Dalam saat berpapasan dengan kendaraan pemerintah dalam suatu agenda kerja, Rabu (10/3/2021). (foto: ist./tim media dukcapil kemendagri)
Jum'at, 12 Maret 2021 00:09 WIB
BATANGHARI - SAD (Suku Anak Dalam) di Provinsi Jambi adalah salah satu orang rimba yang ada di Indonesia. Mereka dikenal sebagai suku yang nomaden (berpindah-pindah) dan berpencaharian sebagai pemburu. Pemenuhan kebutuhan bahan pokok yang tidak didapat dari berburu, mereka lakukan dengan cara menjual hasil buruan untuk membeli bahan kebutuhan pokok lainnya.

Orang rimba SAD (Suku Anak Dalam) terdiri dari banyak Tumenggung, setiap Tumenggung memimpin puluhan keluarga rimba. Kata Ngelembo, salah satu Tumenggung orang rimba SAD, "Di Bukit 13 ini ada 13 Tumenggung, yang ke Batanghari 4 Ketumenggungan. Kami paling banyak, 79 KK (Kartu Keluarga), yang lain ado 25, ado 30, ado 20. Itu KK, kalao jiwanyo lebih," kata Tumenggung Ngelembo kepada GoNews.co, Rabu (10/3/2021).

Artinya, ada sekitar 390 KK jika rata-rata Ketumenggungan menaungi 30 KK. Atau 1.950 jiwa jika setiap keluarga memiliki 3 anak atau jika setiap KK berisi 5 jiwa.

Nomaden karena Bertahan Hidup

Tumenggung Ngelembo mengungkapkan, kebiasaan berpindah-pindah tempat tinggal sebagaimana dicirikan orang terhadap Suku Anak Dalam, telah berlangsung turun-temurun dan bukan tanpa alasan. 'Melangun', bahasa SAD untuk 'berpindah-pindah', dilakukan karena dua hal. Pertama, menyingkir atau menjauhkan diri dari tempat dimana seseorang baru saja meninggal dunia (alasan adat). Kedua, karena SAD tak punya tempat yang jelas untuk berbudaya dan bertahan hidup (alasan ekonomi), sehingga mereka harus berpindah untuk berburu Babi, Labi-labi (sejenis Kura-kura), Kura-kura, dan Balam. Mereka menjual Babi untuk bisa membeli beras.

"Kito kalao ado tempat hidup, ada kebun untuk tempat hidup, itu menetap, Pak," kata Ngelembo.

Ngelembo melanjutkan, jika SAD memiliki tempat/lahan mereka sendiri maka ketika harus melangun (menyingkir sementara dari lokasi kedukaan akibat seseorang meninggal dunia), mereka bisa kembali lagi setelah 2 - 3 tahun. Dan mereka tak melangun melebihi batas teritori lahan mereka.

"Kalao kito ado tempat hidup, untuk ekonomi, itu kito kalao ada yang meninggal, 2 - 3 tahun melangun kito balik lagi. Melangun itulah adat," kata dia.

Sejak tahun 2015, kata Ngelembo, akhirnya SAD memiliki teritori mereka sendiri. "Pemerintah dan PT Wana Perintis menyumbangkan lahan 114 hektar untuk Suku Anak Dalam. Jadi kita menetap di situ," kata dia.

Kesadaran Menuntut Hak

Menurut Ngelembo, lahan tersebut dulunya adalah lahan mereka, lahan SAD. "Dulu kan lahan itu tempat tinggal kito. Setelah kito melangun, pemerintah membagi ijin perusahaan. Ketika kami balik ke tempat asal, la perusahaan ambil karena sudah dibagi ijin gitu,".

"Mangkonyo kito nuntut, nuntut hak. Ketika kito menuntut hak, itu kito lari ke Dinas Kehutanan, dari Dinas Kehutanan kito lari ke Menteri Lingkungan Hidup, baru bisa dibantu," kata Ngelembo. Dan semua upaya mununtut hak lahan itu, dibantu oleh KKI (Kelompok Konservasi Indonesia) Warsi.

Kata Ngelembo, bukti bahwa 114 hektar lahan yang Ia maksud itu merupakan teritori SAD, berdasarkan Aska (semacam perjanjian, red) tahun 2015. Isinya, "Pihak pertama diwajibkan membagi 114 hektar. Pihak kedua menerima. Itu Pak Jokowi yang menyerah Askanyo pada kami. 2015 di Jambi, di Hutan Pinus,".

Dimanfaatkan Orang Luar dan Dianiaya

Ngelembo merasa, sukunya hanya dimanfaatkan oleh kelompok tertentu. Mereka diminta untuk berunjuk rasa dan dijanjikan imbalan, tapi janji tinggal janji.

"Kami banyak ditindai (ditipu) orang luaran. Kayak perusahaan ajak demon. Dibawa anak-anak rimba ke demon. Setelah demon, ada janji hasil bagi duo. Setelah ado hasil, tidak dibagi. Kan dimanfaatkan itu, Pak. Jadi kito bingung situ Pak," aku Ngelembo.

Baru-baru ini, Ngelembo mengisahkan, Suku Anak Dalam 'digebuki' oknum aparat. Insiden ini tak bisa mereka mengerti. Dalam perpsektif mereka, mereka adalah korban yang sedang menuntut keadilan.

"Kemarin ada kejadian, Pak. Dua minggu yang lewat. Kepolisian gebuk orang demon. Masyarakat kito ikut demon, ditipu orang Dusun yang ngajak demon, hasil bagi duo, begitu ada hasil tidak dibagi. Begitu kito lapor untuk penipuan ini, polisi tak ado nerimo Pak, langsung digebuki. Jadi agak bingung kito," kata dia.

Takut Corona dan Bersedia Divaksin

"Corona, setiap kota kan banyak orang ninggal. Jadi, kami orang rimba takut, Pak," kata Ngelembo.

Karena takutnya, Ngelembo menyatakan Ia bersedia untuk divaksin. Informasi mengenai vaksin, Ia dapat dari telepon seluler. Karena meski SAD adalah orang rimba, mereka masih sesekali berinteraksi dengan masyarakat umum untuk menjual babi dan memberi beras, dan gula. Uang penjualan hasil buruan, tak hanya dibelikan bahan pokok, tapi juga dibelikan barang modern seperti 'sepeda motor buruk'.

"Sebenarnya di HP la sudah kenal (vaksin). Cuma kito belum bernah ngomong dengan pemerintah bagaimana masyarakat orang rimba ini (mengenai vaksinasi Covid-19, red)" kata Ngelembo.

Corona, betul-betul membuat Suku Anak Dalam takut akan kematian, termasuk kematian karena kelaparan. "Setelah corona, kito dilarang, ndak biso keluar,".

Informasi bahwa mereka dilarang keluar teritori lantaran pandemi corona, kata Ngelembo, mereka ketahui dari Warsi. "Setiap pemerintah kan melarang, tidak boleh keluar,".

"Tidak mampu kito keluar cari berai (beras, red), cari gula, apa macam. Mangkonyo kito mengajukan ke pemerintah, jadi pemerintah membantu seperti dengan dana apo namonyo itu yang corona. Cuma kito kalao ndak ado punyo KK, ndak ado punyo KTP tidak dapat bantuan," kata Ngelembo.

Alasan itu pula lah-berharap bansos-yang membuat mereka bersedia direkam datanya untuk memiliki dokumen kependudukan (Akta Lahir, KIA, KTP, KK). Padahal, bagi SAD, merekam atau memotret perempuan SAD adalah hal yang melanggar adat. Mereka juga terlarang menyebut nama orang yang sudah meninggal, sementara nama orang tua tetap harus disebut di Kartu Keluarga meski orang tua mereka sudah meninggal dunia.

Bagi Dukcapil, memberi dokumen kependudukan kepada warga negara Indonesia adalah amanat Undang-Undang. Karenanya, perekaman dan pemberian dokumen kependudukan dioptimalkan dengan metode jemput bola. Dirjen Dukcapil Kemendagri (Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia), Zudan Arif Fakrullah pada Rabu (10/3/2021) mengatakan, pihaknya telah memberikan KK (Kartu Keluarga), NIK (nomor induk kependudukan) dan KTP-el kepada orang rimba, SAD (Suku Anak Dalam) sebanyak lebih kurang untuk 3.160an warga SAD Jambi.

Zudan berharap, semua program pemerintah berupa bantuan sosial, program pendidikan, dan program kesehatan, bisa masuk sampai ke pemukiman SAD.

Orang Rimba Butuh Pendidikan dan Akses Kesehatan

Ngelembo menyadari bahwa pendidikan dibutuhkan oleh generasi SAD. Selama ini, kata Ngelembo, "kito belum mengenal sekolah, soalnyo kito jauh jangkauan,".

"Sekarang sejak kenal dengan Warsi, dikit-dikit la anak tahu lah mengenal sekolah. Ada yang disekolahkan-belajar baca tulis-di lingkungan bersama Warsi," kata Ngelembo.

Jika anak-anak sudah akrab dengan aktivitas belajar, langkah menyerahkan anak-anak rimba ke sekolah formal diharap lebih mudah. "Kito teliti pelan-pelan supayo anak berani sekolah, apabila berani baru kita arahkan sekolah ke luar,".

Selain pendidikan, Ngelembo juga sadar bahwa Suku Anak Dalam butuh akses kesehatan. Pasalnya, obat rimba tak lagi bisa jadi andalan. “Kalao berobat, itu obat dari nenek moyang tidak mujarab lagi. Karena rimbonyo la banyak abis. Jadi otomatis kito berobat itu mau tak mau ke luar, ke rumah sakit, ke Puskesmas,” kata dia.

Tapi berobat di luaran (faskes/fasilitas kesehatan) tentu ada ‘banderol-nya’, meskipun bukan rahasia umum bahwa ada juga pengobatan gratis dari pemerintah.

“Kadang bayar, itu lah sebenarnyo memang kito bayar setiap ke rumah sakit. Sejak kito dekat dengan Warsi, Warsi membagi pelajaran pemerintah bahwa ini Suku Anak Dalam orang tidak mampu, baru kini tidak bayar,” kata Ngelembo. Sembari menyebut Batanghari dan Luncuk.

Suku Anak Dalam Tak Kenal DPR

“DPR? Ndak tahu,” ujar Ngelembo.

Rabu itu, Ngelembo tengah berada di pos pelayanan adminduk di Desa Jelutih, Batang Hari, Jambi. Kursi-kursi sudah diset untuk menempatkan dimana Suku Anak Dalam duduk, jajaran tim Dukcapil dan unsur pemerintah lainnya duduk, aparat penegak hukum duduk, dan dimana anggota DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) duduk. Ngelembo berulang kali menyebut kata ‘pemerintah’ tapi soal ‘DPR/DPRD’ sebagai penyalur aspirasi rakyat, Ia sama sekali tidak tahu.

Di tengah kebingungannya setelah tahu ada lembaga bernama DPR/DPRD, Ia mengatakan, “Saya berpesan tidak ada banyak, Pak,”.

“Ketika kami ado KTP, kami mohon dengan pemerintah, tolong perhatikan. Dengan pendidikan, dengan kesehatan, dengan ekonomi, dengan yang lain-lain, itu kami minta tolong diperhatikan,” pungkas Ngelembo.

Sebagai tambahan informasi, Rabu itu, Ketua DPRD Kab. Batanghari, Anita Yasmin, ada di lokasi. Mengenai DPR RI (Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia), Badan Legislasi lembaga tersebut juga telah memutuskan bahwa Rancangan Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat dan RUU Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, masuk dalam daftar RUU Prioritas 2021.***

Editor:Muhammad Dzulfiqar
Kategori:Jambi, Lingkungan, Umum
wwwwwwhttps://143.198.234.52/sonic77https://159.223.193.153/https://64.23.207.118/http://152.42.220.57/