Terpopuler 24 Jam Terakhir
1
Pelita Jaya Jadi Tim Pertama Lolos BCL Asia, Coach Ahang Blak-blakan Terkait Persaingan di Next Round
Olahraga
22 jam yang lalu
Pelita Jaya Jadi Tim Pertama Lolos BCL Asia, Coach Ahang Blak-blakan Terkait Persaingan di Next Round
2
UEA Dukung Indonesia Jadi Tuan Rumah Piala Dunia U-20 FIFA 2027
Olahraga
22 jam yang lalu
UEA Dukung Indonesia Jadi Tuan Rumah Piala Dunia U-20 FIFA 2027
3
Penuhi Target ke Semifinal Piala Asia U 23, Timnas Indonesia Selangkah Lagi Raih Tiket ke Paris
Olahraga
17 jam yang lalu
Penuhi Target ke Semifinal Piala Asia U 23, Timnas Indonesia Selangkah Lagi Raih Tiket ke Paris
4
Cetak Sejarah Baru, Timnas U 23 Indonesia Melaju ke Semifinal Piala Asia U 23
Olahraga
16 jam yang lalu
Cetak Sejarah Baru, Timnas U 23 Indonesia Melaju ke Semifinal Piala Asia U 23
5
Melaju ke Semifinal Piala Asia U 23, STY Sebut Meningkat Kepercayaan Timnas U 23 Indonesia
Olahraga
5 jam yang lalu
Melaju ke Semifinal Piala Asia U 23, STY Sebut Meningkat Kepercayaan Timnas U 23 Indonesia
6
Timnas Cricket Putri Indonesia Kalahkan Mongolia di Bali Bash Internasional
Olahraga
5 jam yang lalu
Timnas Cricket Putri Indonesia Kalahkan Mongolia di Bali Bash Internasional
Home  /  Berita  /  Politik

Demokrasi Indonesia Bak Bayi Lahir Tanpa Persalinan Normal

Demokrasi Indonesia Bak Bayi Lahir Tanpa Persalinan Normal
Anggota Fraski PKS DPR, Mardani Ali Sera. (Foto: Istimewa)
Kamis, 25 Maret 2021 19:57 WIB
Penulis: Muslikhin Effendy
JAKARTA - Anggota DPR RI, dari Fraksi PKS, Mardani Ali Sera, mengibartkan Demokrasi Indonesia pasca reformasi bak bayi lahir tanpa persalinan normal.

Demikian diungkapkan Mardani Ali Sera, saat menjadi narasumber diskusi dengan tema "Konsolidasi Demokrasi dan Hukum yang Berkeadilan" bersama Anggota DPR RI Fraksi Demokrat, Anwar Hafid dan Pengamat Geopolitik/Direktur Global Future Institute, Hendrajit, Kamis (25/3/2021) di Ruang Diskusi, Media Center Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta.

"Demokrasi di Indonesia ini memang unik. Kita masih terus mencari pola yang cocok dan masih terus belajar. Jujur saya katakan, Demokrasi Indonesia lahir karena by accident," ujarnya.

"Jadi, ketika Soeharto mundur tahun 98, negara kita ini sudah siap dengan sistem demokrasi itu. Tapi ini kan ibarat bayi yang lahir tidak melalui proses persalinan normal, akhirnya ya begini. Contohnya, salahsatu cita-cita dan amanah reformasi itu kan membasmi KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) faktanya, politik dinasti hidup lagi sekarang, korupsi tetap ada. Jadi KKN itu tetap muncul dengan bentuk yang baru, yang lebih ramah, bahkan diterima oleh masyarakat," tegasnya.

Untuk itu kata Mardani, Indonesia harus mencari format demokrasi yang tepat. Demokrasi yang punya nilai-nilai prinsip dan variabel.

"Makanya saya sedih ketika undang-undang ITE tidak masuk dalam prolegnas, padahal pasar karetnya itu banyak sekali dan jelas -jelas itu mengancam demokrasi kita. Kemudian adalah bagaimana caranya menempatkan orang-orang yang pas ke dalam sistem yang kita bangun. Karena menurut penilaian dari CSIS, sebenarnya sistem yang dibangun sudah bagus, tapi salahnya adalah diisi oleh orang-orang yang tidak berkompeten untuk menjalankan sistem itu sendiri," tandasnya.

Sementara itu, Anggota DPR RI Fraksi Demokrat, Anwar Hafid mengatakan, sistem demokrasi di Indonesia hari ini adalah sistem yang masih menggunakan atau berdasarkan suara terbanyak. Sehingga kata Dia, mengalahkan rasionalitas.

"Jadi demokrasi kita itu tergantung pada suara yang banyak dan mengalahkan suara-suara rasional yang menginginkan adanya sebuah perubahan tatanan dalam sistem domokrasi kita," tandasnya.

Untuk itu kata Dia, Fraksi Demokrat bersama dengan PKS tetap ngotot ingin memperjuangkan revisi UU Pemilu sebagai bagian dari pilar demokrasi.

"UU Pemilu ini sebagai bagian dari konsolidasi demokrasi kita, tentu tidak bukan tanpa alasan atau karena hanya kepentingan politik belaka, tapi kita tidak ingin lagi kembali jauh kebelakang," tukasnya.

"Dulu kita sudah mengalami demokrasi parlementer dan demokrasi terpimpin, kemudian hari ini kita mengklaim sebagai demokrasi Pancasila, kita tidak ingin lagi kembali ke masa lalu. Bisa kita bayangkan, dulu mulai dari Bupati, Gubernur dan sebagainya dipegang oleh satu orang, dan ditunjuk oleh satu orang di Indonesia. Apakah kita mau seperti itu lagi," urainya.

Untuk itu kata Dia, salah satu konsolidasi demokrasi harus dilakukan adalah bagaimana menata sistem Pemilu yang lebih baik.

"Sehingga kita harapkan bahwa output yang terjadi dari demokrasi itu benar-benar meningkatkan kualitas demokrasi kita," tutur Anwar Hafid.***

wwwwwwhttps://143.198.234.52/sonic77https://159.223.193.153/https://64.23.207.118/http://152.42.220.57/