Bendahara Negara Ungkap Kendala Data dan Upaya yang Ditempuh
Sri Mulyani mencontohkan, beberapa waktu lalu data wajib pajak di DJBC (Direktorat Jenderal Bea dan Cukai) dan DJP (Direktorat Jenderal Pajak) terpisah. Data ini kemudian baru terintegrasi pada 2019.
Dalam skala yang lebih luas, data Nomor Induk Kependudukan (NIK) juga berbeda dengan nomor paspor. Belum lagi data untuk Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan data transaksi ekspor impor.
Sehingga kita harus lakukan konsolidasi, data matching, dan itu tantangan yang luar biasa. Data menjadi tidak terintegrasi dan tidak mudah digunakan dalam analisis data," jelas Sri Mulyani dalam sebuah webinar yang diselenggarakan oleh UPH (Universitas Pelita Harapan), Jumat (28/5/2021).
Upaya Pemerintah
Meski demikian, cakupan informasi yang dikumpulkan DJP, kata Sri Mulyani sudah semakin komprehensif sejak penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) No. 31/2012. Berdasar PP tersebut, DJP bisa mendapatkan data dan informasi dari instansi, lembaga, asosiasi, pihak lainnya (ILAP) demi kepentingan penggalian potensi pajak.
Sejak 2012, saat ini DJP sudah mendapatkan data dan informasi dari 69 ILAP yang terdiri atas 337 jenis data. Data tersebut meliputi data transaksi, data identitas, data perizinan, dan data-data lain yang sifatnya non transaksional.
Kemudian pada 2017, pengelolaan data perpajakan menjadi sebuah milestone untuk mencapai komitmen pertukaran informasi secara otomatis (Automatic Exchange of Financial Account Information/AEoI) melalui upaya di forum G20.
Pada 2019, DJP juga mulai menerima dan mengolah data warga negara Indonesia di luar negeri untuk kepentingan penggalian potensi pajak.
"Data-data itu kemudian diolah untuk mendapatkan analisis mengenai business intelligence, melakukan seleksi kasus, mengembangkan risk engine kepatuhan perpajakan, serta membangun compliant risk management (CRM)," jelas Sri Mulyani sebagaimana dikutip GoNEWS.co dari CNBC Indonesia, Sabtu.***
Editor | : | Muhammad Dzulfiqar |
Kategori | : | Ekonomi, Pemerintahan, Nasional, DKI Jakarta |