Pemerintah Diminta Terapkan Harga Dasar di Komoditas Sawit
"Perpanjangan Tarif PE sebesar US$0 dimaksudkan untuk menjaga momentum saat ini, dimana harga Crude Palm Oil (CPO) mulai stabil, harga minyak goreng mulai turun, dan harga tandan buah segar (TBS) yang mulai meningkat sehingga membuat petani atau pekebun mulai merasakan manfaatnya," ungkap Airlangga sebagaimana dikutip GoNEWS.co.
Baca Juga: Sawit Laris Manis, Holding Perkebunan Cuan Rp 3,8 Triliun
Dalam rapat Komite Pengarah (Komrah) BPDPKS pada Minggu (28/8/2022), diperoleh keputusan yang telah menyetujui lima hal yakni Perpanjangan Tarif Pungutan Ekspor (PE) sebesar US$0 untuk semua produk s.d. 31 Oktober 2022, Penambahan Alokasi Biodiesel Tahun 2022, Pembangunan Pabrik Minyak Makan Merah (3M), Dukungan Percepatan Peningkatan Sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO), dan Percepatan Program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR).
Sementara itu, Direktur Eksekutif Sawit Watch Achmad Surambo mengatakan, tidak semua petani menikmati keuntungan dari PE 0% ini. "Ada hubungan dengan katakan tarif tarif ini, tetapi tidak 100%, karena harga sawit ditentukan harga penetapan," kata Achmad dalam suatu pernyataan.
Baca Juga: Pertemuan Tingkat Menteri CPOPC, Menko Airlangga: Minyak Sawit Solusi Atasi Krisis Pangan dan Energi
Dalam pertanian Sawit, harga Tandan Buah Segar (TBS) ditentukan oleh Pemda. Dalam model seperti ini, petani swadaya paling rentan, dan akan sulit mendapatkan harga TBS yang layak.
Untuk itu, agar petani sawit lebih sejahtera, Achmad mengusulkan diberlakukan harga dasar disamping harga penetapan. "Mencontoh komoditas lain, seperti Padi misalnya, ada harga dasar yang disusun dari komponen produksi. Bisa gunakan harga dasar mendampingi harga penetapan," sebut Achmad.
Kenyataanya harga penetapan TBS di tiap daerah berbeda, namun jika ada harga dasar artinya ada patokan yang layak bagi petani.
Baca Juga: Jawab Arahan Mendagri, Produsen Lokal Ciptakan Deterjen Covid-19 Berbahan Sawit
Baca Juga: Mendag: DMO Minyak Goreng Tak Boleh Rugikan Petani Sawit
Bicara soal pemerintah pusat dan daerah, Achman menyoroti kurangnya sinergi dan implementasi dari Inpres No. 6 Tahun 2019 tentang Rencana Aksi Nasional Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Tahun 2019-2024. Dalam catatannya, dari 25 provinsi yang memiliki tutupan sawit, hanya 9 provinsi yang sudah menurunkan menjadi Perda.
"Yang aksi nasional lebih integratif, sayangnya di daerah, baru beberapa provinsi saja yang mengikuti lima komponen dalam Inpres tersebut," tutur Achmad.
Selama ini, sinergi antara pemerintah pusat dan daerah dinilai masih rendah, sehingga program sawit nasional belum dilaksanakan di daerah, belum disosialisasikan dan bermanfaat bagi petani.
Baca Juga: Lebih dari 50 Juta Ha Lahan Sawit Diluar HGU, Legislator PDIP Dorong Keberanian Pemerintah
Baca Juga: Ternyata Ini 3 Perusahaan Sawit Besar yang Pilih Berkantor Pusat di Singapura
Sebelumnya, pemerintah melalui Komite Pengarah Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) berkomitmen mendukung sektor perkebunan kelapa sawit sebagai salah satu komoditas strategis nasional.***
Editor | : | Muhammad Dzulfiqar |
Kategori | : | Ekonomi, Nasional, DKI Jakarta |