Terpopuler 24 Jam Terakhir
1
Aditya Bagus Arfan Tuntaskan Misi di Pertamina Indonesian Grand Master Tournament 2024
Olahraga
18 jam yang lalu
Aditya Bagus Arfan Tuntaskan Misi di Pertamina Indonesian Grand Master Tournament 2024
2
Digosipkan Pacari Putri Zulkifli Hasan, Venna Melinda Dukung Verrel Bramasta
Umum
14 jam yang lalu
Digosipkan Pacari Putri Zulkifli Hasan, Venna Melinda Dukung Verrel Bramasta
3
Tom Holland dan Zendaya Rahasiakan Persiapkan Pernikahan
Umum
14 jam yang lalu
Tom Holland dan Zendaya Rahasiakan Persiapkan Pernikahan
4
Kadis Nakertransgi: Pemprov DKI Berkomitmen Tingkatkan Kesejahteraan Pekerja
Pemerintahan
17 jam yang lalu
Kadis Nakertransgi: Pemprov DKI Berkomitmen Tingkatkan Kesejahteraan Pekerja
5
Prilly Latuconsina Bikin Film Horor 'Temurun' Jadi Ajang Fun Run
Umum
14 jam yang lalu
Prilly Latuconsina Bikin Film Horor Temurun Jadi Ajang Fun Run
Home  /  Berita  /  Peristiwa

Tutup AICIS, Wamenag: Agama Harus Jadi Problem Solver, Bukan Bagian Masalah

Tutup AICIS, Wamenag: Agama Harus Jadi Problem Solver, Bukan Bagian Masalah
Wakil Menteri Agama Zainut Tauhid Sa’adi. (Foto: Istimewa)
Jum'at, 05 Mei 2023 11:29 WIB
Penulis: Muslikhin Effendy

SURABAYA - Wakil Menteri Agama Zainut Tauhid Sa’adi menegaskan bahwa agama harus dapat dihadirkan sebagai solusi atas beragam persoalan. Agama tidak semestinya menjadi bagian dari masalah itu sendiri. Karenanya, diperlukan rekontekstualisasi ajaran agama.

Pesan ini disampaikan Wamenag saat menutup Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS) ke-22 di UIN Sunan Ampel Surabaya. Ajang diskusi para pakar keagamaan, dalam dan luar negeri, yang berlangsung dari 2 – 4 Mei ini mengangkat tema Recontextualizing Fiqh for Equal Humanity and Sustainable Peace.

Ajang ini diikuti para akademisi Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI). Hadir sebagai pembicara, antara lain: Dr. (HC). K. H. Yahya Cholil Staquf (Indonesia), Prof. Dr. Siti Ruhaini Dzuhayatin, MA (Indonesia, Prof. Abdullahi Ahmed An Na'im (Amerika Serikat), Prof. Dr. Usamah Al-Sayyid Al Azhary (Universitas Al Azhar di Mesir), Muhammad Al Marakiby, Ph.D (Mesir), Dr. Muhammad Nahe'i, MA (Indonesia), Prof. Dr. Rahimin Affandi Bin Abdul Rahim (Malaysia), Prof. Mashood A. Baderin (Inggris), Dr. (HC) K. H. Afifuddin Muhajir (Indonesia), Prof. Dr. Şadi Eren (Turki), Prof. Tim Lindsey Ph.D (Australia), Prof. Dr. Mohd. Roslan Bin Mohd Nor (Malaysia), dan Ning Allisa Qotrunnada Wahid (Indonesia).

Tema AICIS 2023, kata Wamenag, sangat tepat untuk mencoba menggali ulang terhadap ajaran-ajaran Islam dalam menghadapi tantangan kehidupan dan kemoderanan. Meski temanya terkait dengan fikih kemanusiaan dan perdamaian yang sudah lama diwacanakan para cendekiawan sebelumnya, tetapi forum ini lebih menekankan pada upaya untuk melihat ulang atas kesesuaian konteks seiring dengan kemajuan teknologi informasi yang semakin dahsyat.

“Agama harus hadir menjadi problem solver, bukan bagian dari masalah itu sendiri, dan itu harus dimulai dari konstruksi fikih yang ramah terhadap perbedaan dan perubahan,” tegas Wamenag di Surabaya, Kamis (4/5/2023).

Islam, lanjut Wamenag, hendaknya dapat menjadi penawar bagi persoalan global yang hingga kini masih membutuhkan peran nyata dari agama itu sendiri. Fikih sesuai dengan wataknya sangat terbuka lebar bagi munculnya pemahaman dan paradigma baru. “Sehingga, diperlukan wadah yang memberikan kesempatan kepada para ahli (expert) dan para pakar ahli bidang Islamic Studies untuk menyumbangkan pemikiran brilian untuk tatanan kehidupan umat manusia yang lebih baik,” sebutnya.

AICIS yang diselenggarakan sejak tanggal 2 Mei 2023 telah menghasilkan beberapa pokok pikiran atau gagasan dalam bentuk rekomendasi yang disebut: Surabaya Charter. Ada enam rekomendasi yang dihasilkan, yaitu:

1. Rekontekstualisasi semua doktrin dan pemikiran keagamaan yang tidak sesuai dengan prinsip martabat manusia, kedamaian dan keadilan;
2. Menjadikan maqashid al-syariah (tujuan tertinggi hukum Islam) sebagai prinsip penuntun reformulasi fikih;
3. Definisi, tujuan dan ruang lingkup fikih harus didefinisikan ulang atas dasar integrasi pengetahuan Islam, ilmu sosial dan hak asasi manusia untuk mengatasi masalah kontemporer.
4. Menafsirkan ulang semua doktrin fikih yang mengkategorikan dan mendiskriminasi manusia atas dasar agama atau etnis, seperti konsep kafir dzimmy dan kafir, atau memandang selain Muslim sebagai tidak setara dan warga negara kedua;
5. Menolak penggunaan agama untuk kepentingan politik. Fenomena politik identitas, khususnya yang berbasis agama, harus ditolak keras.
6. Memelihara keberagaman dalam hidup berdampingan yang toleran dan damai yang menerapkan prinsip moderasi, kesetaraan dan keadilan beragama.

“Hasil rumusan Surabaya Charter yang telah dideklarasikan diharapkan menjadi dokumen akademik sebagai tawaran bagi umat Islam dan dunia dalam menghadapi dinamika kehidupan majemuk dan kompleks,” ujar Wamenag.

“Surabaya Charter juga diharapkan dapat diterima sebagai kontribusi kampus dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara serta bagi dunia yang lebih berkedilan dan bermartabat,” tandasnya.***

wwwwwwhttps://143.198.234.52/sonic77https://159.223.193.153/https://64.23.207.118/http://152.42.220.57/