Terpopuler 24 Jam Terakhir
1
Dengan Tema Mawar Hitam, Pameran Busana Migi Rihasalay Pukau Pengunjung Indonesia Fashion Week 2024
Umum
7 jam yang lalu
Dengan Tema Mawar Hitam, Pameran Busana Migi Rihasalay Pukau Pengunjung Indonesia Fashion Week 2024
2
Langsung Pantau Persiapan, Menpora Dito Ingin Berikan Kado Terbaik buat Presiden Jokowi dari Olimpiade 2024 Paris
Olahraga
8 jam yang lalu
Langsung Pantau Persiapan, Menpora Dito Ingin Berikan Kado Terbaik buat Presiden Jokowi dari Olimpiade 2024 Paris
3
Nova Arianto Panggil 36 Pemain untuk Seleksi Timnas U-16 Tahap Kedua
Olahraga
6 jam yang lalu
Nova Arianto Panggil 36 Pemain untuk Seleksi Timnas U-16 Tahap Kedua
4
Cinta Laura Tetap Produktif di Bulan Ramadan
Umum
8 jam yang lalu
Cinta Laura Tetap Produktif di Bulan Ramadan
5
BPJPH Rilis Indonesia Global Halal Fashion, Targetkan Kejayaan di Pasar Dunia
Ekonomi
9 jam yang lalu
BPJPH Rilis Indonesia Global Halal Fashion, Targetkan Kejayaan di Pasar Dunia
6
Mahesa Jenar Terlecut Dukungan Panser Biru
Olahraga
6 jam yang lalu
Mahesa Jenar Terlecut Dukungan Panser Biru

Mulanya Memusuhi Ibunya yang Mualaf, Meira Valencia Akhirnya Bersyahadat Kelas VI SD

Mulanya Memusuhi Ibunya yang Mualaf, Meira Valencia Akhirnya Bersyahadat Kelas VI SD
Rehuella Meira Valencia Hasiani. (republika.co.id)
Selasa, 28 Januari 2020 07:48 WIB
JAKARTA - Sedikit orang yang mendapatkan hidayah saat usianya masih belia. Di antara yang sedikit itu, termasuk Rehuella Meira Valencia Hasiani. Gadis yang akrab dipanggil Cia ini bersyahadat saat duduk di kelas VI sekolah dasar (SD).

Dikutip dari republika.co.id, Cia memutuskan mualaf bukan karena terpaksa lantaran sang ibu memeluk Islam terlebih dahulu.

Dia mengenang kembali rasa haru yang dirasakannya lima tahun lalu. Betapa tidak, Cia yang menjadi anak kesayangan mamanya merasa sangat dikecewakan karena sang ibu berpindah agama. Sejak kecil, Cia memang dikenal anak yang taat dalam beribadah. 

Keyakinannya dengan agama sebelumnya sangat kuat dan sang ibu menjadi panutan karena dia juga seorang aktivis di agama tersebut. Saat itu dia baru duduk di kelas V SD, tetapi emosi yang dimilikinya tak beda dengan remaja yang menggebu-gebu. 

Pilihan ibunya memeluk Islam, membuat kepercayaan kepada ibunya runtuh. Dia marah dan memusuhi ibunya, bahkan keduanya tak lagi saling berbicara dan bersenda gurau hangat seperti sedia kala.  

''Aku sempet marah sama Ummi dan nggak mau ngomong, ummi juga kayaknya nggak berani bahas soal Islam sama aku waktu itu,'' jelas dia.

Elisabeth Janita Ruru, sang ibu belum siap untuk mengajak anaknya yang terlahir prematur ini untuk ikut memeluk Islam. 

Elisa takut dikecewakan anaknya dan sakit hati jika sampai terdengar perkataan tidak mengenakkan keluar dari bibir gadis itu.   

Ibunya memilih untuk bersabar, meski tidak saling berbicara dia tetap memperhatikan kebutuhan sehari-hari anaknya itu. Hingga hidayah Islam yang kedua dalam keluarganya datang.  

Kakaknya Cia, Graciela Victoria Safira (18 tahun) memeluk Islam. Sempat mengalami sakit parah. Ciela harus dioperasi karena penyakit skoliosis yang semakin parah hingga menyebabkannya lumpuh. 

Di meja operasi inilah sang kakak mendapatkan hidayah. Dia pun bersyahadat saat itu juga disaksikan dokter dan perawat. 

Ini awal perasaan Cia tergugah untuk mulai mencari tahu tentang Islam. Cia bertanya-tanya, alasan ibu dan kakaknya mau menerima Islam dengan mudah. 

Ketika itu dia tidak paham, karena ego membatasinya untuk menerima kenyataan bahwa ibunya menjadi Muslim. Tetapi jauh di dasar lubuk hatinya dia merasa iri. 

''Jujur, saat itu aku iri sama kakak, kakak bisa dengan mudah menerima Islam dan mama lebih terbuka untuk bahas Islam sama kakak, tapi mengapa aku nggak diajak bicara,'' tutur dia. 

Padahal Cia yang memiliki ego tinggi ingin sekali kembali dekat dengan ibunya dan diajak bicara tentang Islam. Sedangkan ibunya merasa belum perlu untuk membahas hal ini karena sikap Cia yang dianggapnya belum bisa didekati.  

Saat berada di akhir sekolah dasar inilah, Cia menjadi lebih terbuka. Dia berharap ibunya menanyakan tentang pilihan keyakinannya.  

Keinginanya ini dia sampaikan kepada ayah sambungnya. Karena mereka saat itu masih tak saling bicara. Ayahnya pun menjadi penyambung lidah keduanya. 

Sejak mama dan kakaknya memeluk Islam, Cia selalu memperhatikan tingkah laku dan kegiatan ibadah mereka. Bahkan Cia sempat ikut shalat di masjid untuk mencari tahu kebiasaan Muslim. 

Cia memahami alasan kedua orang yang disayanginya ini menjadi Muslim. Ternyata menjadi Muslim membuat hidup lebih tenang dan damai.  

Dia memutuskan untuk memeluk Islam pada Desember 2015. Awalnya dia bersyahadat di depan keluarganya kemudian bersyahadat ulang di masjid di daerah rumahnya di Rempoa. 

Setelah bersyahadat, dia merasa haru dan bahagia. Islam membuatnya lebih damai apalagi setelah menjalani ibadah dan syariatnya  

Cia yang bersekolah di sekolah agama Kristen saat itu memang tidak terlalu banyak mengalami konflik dengan teman-temannya. Ketika itu dia berada di tahun terakhir sekolah dasar, sehingga tidak banyak teman yang tahu tentang ke-Islamannya. 

''Aku sengaja nggak bilang ke teman-teman kalau aku sudah mualaf, nggak enak saja lagi pula sudah mau lulus, jadi nggak terlalu masalah,'' ujar dia.  

Hanya saja saat kembali ke sekolah untuk mengambil ijazah, banyak teman dan guru terkejut karena dia kini mengenakan jilbab.

Beberapa teman-temannya, baik di sekolah maupun di gereja ada yang masih bersahabat ada pula yang telah menjauh.

Namun dia tidak merasa terbebani karena, sejak lulus dan di sekolah yang baru dia memiliki teman yang semakin banyak. Bahkan teman-temannya yang kini mayoritas Muslim antusias dengan ke-Islamannya.

''Teman-temanku antusias tanya-tanya tentang aku yang jadi Muslim, mereka senang dan membantu aku sekali apalagi dalam mempelajari pelajaran agama Islam,'' ujar dia. ***

Editor:hasan b
Sumber:republika.co.id
Kategori:Ragam
wwwwwwhttps://green.radenintan.ac.id/max/https://bkpsdm.tanahlautkab.go.id/galaxy/https://143.198.234.52/sonic77