Terpopuler 24 Jam Terakhir
1
Indonesia Taklukkan Australia, Gol Tunggal Komang Buka Peluang ke Perempat Final
Olahraga
22 jam yang lalu
Indonesia Taklukkan Australia, Gol Tunggal Komang Buka Peluang ke Perempat Final
2
Kalahkan Australia di Piala Asia U 23, Erick Thohir: Luar Biasa Penampilan Indonesia
Olahraga
4 jam yang lalu
Kalahkan Australia di Piala Asia U 23, Erick Thohir: Luar Biasa Penampilan Indonesia
3
Okto Jadi Saksi Sejarah Indonesia Kalahkan Australia di Piala AFC U-23
Olahraga
4 jam yang lalu
Okto Jadi Saksi Sejarah Indonesia Kalahkan Australia di Piala AFC U-23
4
Uruguay Jajaki Kerja Sama Jaminan Produk Halal dengan Indonesia
Pemerintahan
16 menit yang lalu
Uruguay Jajaki Kerja Sama Jaminan Produk Halal dengan Indonesia
Home  /  Berita  /  GoNews Group

Antisipasi Lambannya Revisi UU Migas, Komisi Energi Dorong Harga Gas Optimal melalui Implementasi Perpres

Antisipasi Lambannya Revisi UU Migas, Komisi Energi Dorong Harga Gas Optimal melalui Implementasi Perpres
Anggota Komisi VII DPR RI Fraksi Partai Golkar, Ridwan Hisjam (kedua kiri). (Foto: Ist.)
Selasa, 18 Februari 2020 20:48 WIB
JAKARTA - Beban subsidi pemerintah untuk gas elpiji mencapai Rp 70 triliun, atau Rp 10 triliun lebih tinggi dari subsidi listrik. Sehingga diperlukan upaya kongret dan komprehensif untuk mencapai harga gas yang optimal; diterima masyarakat tapi tak juga membebani APBN.

Hal itu ditangkap dari paparan Anggota Komisi VII DPR RI dari Fraksi Partai Golkar, Ridwan Hisjam dalam diskusi bertajuk "UU Migas dan Kepastian Investasi" yang digelar di Media Center DPR RI, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (18/2/2020).

Dalam diskusi yang dihadiri oleh Direktur Utama (Dirut) PGN (Perusahaan Gas Negara) Gigih Prakoso Spewarto, Kepala BPH Migas Yugi Paryugio, dan Executive Director IPA Marjolijn Wayong, serta Ketua Umum Ikatan Alumni ITS, Sutopo Kristanto itu, Ridwan menyinggung soal jalan pintas menuju harga gas yang diharapkan melalui Peraturan Presiden (Perpres) yang memang sudah harus berjalan pada 1 April 2020, mendatang.

"Ini kan sudah sebentar lagi, kalau ini kita tidak mencari jalan keluar, saya nggak tahu jadinya gimana proses ini?!" ujar Ridwan.

'Jalan pintas' ini, dijelaskan Ridwan, tak berarti menafikan tugas DPR sebagai legislator. Revisi UU Migas yang tak juga rampung, salah satu sebabnya adalah adanya "keragu-raguan dari pemerintah" sendiri, sehingga revisi UU Migas dilanjutkan agendanya dari periode sebelumnya ke DPR periode ini.

Di Komisi VII, kata Ridwan, Revisi UU Migas telah menduduki posisi ketiga dari kerja-kerja regulasi yang ada, meskipun belum masuk prolegnas tahun ini.

DPR, tutur Ridwan, telah berupaya cermat dalam menyikapi hal ini. Secara maraton, berbagai pihak terkait telah diajak bicara oleh Senayan.

Rapat dengan Menteri ESDM pada 27 Januari 2020, Rapat dengan Dirut PGN pada 10 Februari 2020, rapat dengan BPH Migas pada 12 Februari 2020.

Dengan ESDM, kata Ridwan, Komisi VII "mendorong mengalihkan ekspor gas ke Singapura untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri pada tahun 2023,".

Dengan PGN, Komisi VII sepakat "untuk memperkuat implementasi penugasan pemerintah dalam pengelolaan wilayah jaringan distribusi dalam rangka percepatan pembangunan infrastruktur gas,".

Dengan BPH Migas, lanjut Ridwan, Komisi VII meminta agar segera terbit "regulasi teknis operasional terkait pemanfaatan bersama fasilitas pengangkutan dan penyimpanan BBM; penetapan jumlah cadangan BBM rasional; serta, penetapan revisi rencana induk jaringan transmisi dan distribusi gas bumi nasional tahun 2020-2038,".

Pada intinya, Komisi VII DPR RI sungguh-sungguh mendorong agar "bisnis atau energi ini memang betul-betul harus harganya tepat,".

Jikapun nantinya pemerintah harus terbebani subsidi 2 USD sebagai penurunan dari 8 atau 9 USD per MMBTU menjadi sekira 6 USD/MBTU, maka pemasukan pemerintah harus didorong tetap naik melalui peningkatan produksi.

"(Perusahaan Industri yang ada, Red) harus bisa memacu naik produksinya, sehingga pendapatan negara nanti otomatis (naik, Red) dari pajak dan lain-lain. Itu menutupi tadi yang berkurang (penurunan harga sekira 2 USD, Red)" kata Ridwan.

Atas dasar kesemuanya itu, Komisi VII memberikan sedikitnya tiga catatan:

Pertama, pemerintah harus secara serius mengelola sektor jasa yang dimiliki agar pemanfaatan benar-benar dapat dirasakan dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat indonesia.

Kedua, mekanisme implementasi Perppres Nomor 40 tahun 2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi, dilakukan melalui pengurangan penerimaan negara dari sektor hulu.

Ketiga, rencana pemerintah menerbitkan Permen ESDM, untuk menetapkan harga gas bumi tertentu kepada industri lainnya yang berhak sesuai ketentuan, harus mempertimbangkan kemampuan keuangan negara, karena pengurangan penerimaan negara dari hulu yang tidak disertai pemulihan nilai tambah yang diberikan industri akan membuat defisit APBN.

"Defisit APBN kita di tahun 2020 ini Rp 307 triliun dari 2.300 triliun, kita sudah direfisit. Tapi pada waktu tahun 2005 kita defisit 14 triliun, tapi APBNnya masih kurang lebih Rp 500 trilusn waktu itu. Nah, itu dicabut yang namanya subsidi. Jadi ini juga pertimbangan yang harus yang diihat, bahwa dana pemerintah di dalam rangka agar APBN ini tidak defisit. Dan ada undang-undangnya, jadi APBN itu tidak boleh defisit diatas maximum 3%," papar Ridwan.

Keempat, pemerintah harus memiliki prosedur mekanisme dalam rangka melihat secara menyeluruh nilai tambah yang diberikan oleh industri, sebanding atau bahkan lebih baik terhadap subsidi yang diberikan oleh negara.***

Editor:Muhammad Dzulfiqar
Kategori:DKI Jakarta, Politik, Pemerintahan, Ekonomi, GoNews Group
wwwwwwhttps://143.198.234.52/sonic77https://159.223.193.153/https://64.23.207.118/http://152.42.220.57/