Pengamat: Pembatasan Pertalite Khusus Motor dan Angkutan Umum Bisa Hemat 60% Konsumsi BBM
Keterangan yang diterima GoNEWS.co menyebut, sekitar 60% dari Pertalite dan Solar yang tidak tepat sasaran selama ini dan bisa dihemat. Dengan demikian, 60% pengguna yang tidak berhak menikmati BBM bersubsidi dialihkan ke Pertamax.
Baca Juga: DPR Desak Pertamina Transparan soal Stok Pertalite
Baca Juga: Puan Ingatkan Pemerintah Siapkan Rencana Cadangan Hadapi Krisis Pertalite
"Menurut saya, atasi tadi dengan pembatasan BBM bersubsidi saat ini untuk sepeda motor dan angkutan umum, maka sekitar 60% bisa diselamatkan oleh pemerintah," tegas Fahmy Radhi.
Menurutnya, efek kenaikan harga bagi pengguna yang tidak lagi boleh mengkonsumsi BBM bersubsidi bisa dilokalisir sehingga dampak inflasi tidak terlalu tinggi. Jika strategi pembatasan berhasil maka APBN bisa diselamatkan sekaligus bisa mengendalikan inflasi.
Baca Juga: Pembatasan BBM Bersubsidi Dinilai Lebih Tepat Ketimbang Naikkan Harga BBM
Baca Juga: BLT Lebih Tepat Ketimbang Subsidi BBM, Menurut Indef
"Inflasinya berpengaruh tapi tidak signifikan. Kalau 60% diselamatkan, (inflasi) bisa 0,5%. Asal solar tidak naik," ujarnya.
Ia mengungkapkan keyakinannya bahwa Presiden Joko Widodo tidak akan menempuh kebijakan menaikkan BBM bersubsidi mengingat ancaman inflasi dan untuk menjaga momentum pertumbuhan ekonomi.
Baca Juga: Jaga Inflasi, Pemerintah Rancang Subsidi Energi Lebih Tepat Sasaran
Baca Juga: DPR Sebut RI Bakar Puluhan Triliun untuk Subsidi BBM
"Saya tidak yakin Pak Jokowi mau mengorbankan pertumbuhan ekonomi yang sudah dicapai dengan susah payah ini," ungkapnya.
Dikatakan Fahmy, jika kenaikan harga Pertalite menjadi Rp10.000 dan Solar menjadi Rp8.500 dilakukan secara bersamaan sudah pasti menyulut inflasi. Bahkan jika kenaikan inflasi makanan 2% akan mendorong inflasi hingga 5,2% yoy.
Baca Juga: CORE Indonesia: Kurangi Beban APBN Harus dengan Benahi Mekanisme Penyaluran Subsidi
Baca Juga: Inflasi dan Harga Pangan Naik, Pemerintah Siapkan Subsidi Langsung
"Akibatnya jika Pertalite dan Solar dinaikkan kemungkinan inflasi akan menjadi 7,2%. Padahal tahun sebelumnya inflasi kita rendah sekali, hanya 3% dan ini mampu menjaga momentum pertumbuhan ekonomi yang mencapai 5,4%. Ini luar biasa," jelas Fahmy.
Sementara itu, inflasi 7,2% akan mengakibatkan kenaikan harga barang dan memperburuk daya beli masyarakat. Menurutnya, beban paling berat akan dirasakan oleh rakyat miskin yang tidak pernah menikmati subsidi karena tidak mempunyai kendaraan bermotor.
Baca Juga: Pemerintah Optimis Pertumbuhan Ekonomi Kuartal II Masih Diatas Inflasi
Baca Juga: Jaga Inflasi, Pemerintah Rancang Subsidi Energi Lebih Tepat Sasaran
Untuk itu, Fahmy menekankan pentingnya pemerintah mengatasi permasalahan BBM bersubsidi secara jangka pendek dan panjang.
"Atasi dulu masalah jangka pendek, menggelembungnya subsidi, 60% diselamatkan. Kalau sudah normal mulai diutak-atik, mungkin Pertalite dinaikkan atau Pertamax diturunkan agar disparitas tidak terlalu tinggi. Pada saat itu terjadi migrasi tadi," katanya.
Baca Juga: DPR Minta Tim Pengendali Inflasi Kendalikan Harga Pangan
Baca Juga: Pemulihan Ekonomi Nasional On The Track, Praktisi Ekonomi: Tetap Waspadai Inflasi
Untuk jangka panjang pemerintah juga disarankan untuk memangkas disparitas harga BBM bersubsidi dengan non-subsidi. Hal itu dapat dilakukan ketika situasi sudah normal.
"Kalau nanti kondisi sudah normal maka barangkali perlu ada pricing policy (kebijakan harga) yang bisa mendekatkan antara Pertalite dan Pertamax. Contoh selisihnya Rp1.500. Sehingga konsumen Pertalite, bahkan sepeda motor bisa migrasi ke Pertamax," tutur Fahmy.
Baca Juga: Ekonom: Indonesia Aman tapi Waspadai Laju Inflasi
Baca Juga: Bangda Kemendagri: Peta Jalan Pengendalian Inflasi Harus Diintegrasikan dalam Perencanaan Daerah
Sebelumnya, dua Menteri koordinator berbeda suara soal rencana pemerintah menaikan harga BBM bersubsidi. Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan menuturkan keputusan kenaikan harga bbm subsidi bakal diumumkan Jokowi minggu ini, tetapi Menko Perekonomian Airlangga Hartarto kemudian menyampaikan belum ada kenaikan harga BBM dalam waktu dekat.
Naik Berkala
Sementara itu, Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Nailul Huda mengatakan, jika pemerintah hendak menaikkan harga BBM bersubsidi, sebaiknya dilakukan secara berkala. Hal ini untuk mencegah inflasi tinggi yang kemudian akan berdampak luas di masyarakat maupun bagi pertumbuhan ekonomi.
Baca Juga: Sumut Inflasi 0,18 Persen di Agustus 2019
Baca Juga: Melonjaknya Harga Bawang dan Sayuran Sebabkan Inflasi di Sumbar
"Apabila opsi menaikkan, kita rasa menaikkan secara gradual lebih tepat daripada naik signifikan," katanya, Selasa (23/8/2022).
Dalam perhitungannya, jika Pertalite naik ke harga Rp8.000, maka inflasi masih berada di 5,5%, naik ke Rp9.000 inflasi berada di kisaran 6,5%-7% dan jika langsung ke Rp10.000, inflasi bisa menembus 8%.
"Dengan kenaikan harga Pertalite, itu pasti inflasi cukup tinggi. Dampaknya tinggi, daya beli menurun, juga terjadi perlambatan pertumbuhan ekonomi dan menciptakan masyarakat miskin baru," sebut Nailul.
Sejumlah kabar beredar tentang rencana kenaikan harga BBM bersubsidi. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto mengatakan, BBM bersubsidi tidak akan naik pada Kuartal ke 3 tahun ini.
Baca Juga: Pemerintah Temui Gubernur JBIC, Energy Watch: Pemerintah Serius dalam Transisi Energi
Baca Juga: Energi Watch: G20 Momentum Dukungan Optimalisasi EBT Nasional dan Akselerasi Kendaraan Listrik
Menurut Nailul, jika begitu, pemerintah masih punya 'tambalan' untuk menambah subsidi BBM. Berdasarkan keterangan Menteri Keuangan, pendapatan dari pajak cukup positif dan realisasi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) per Juni juga tumbuh 35,5%,sehingga itu bisa dibilang APBN kuat.
"Tahun ini masih positif PNBP. Kalau pemerintah ingin manfaatin uang dari PNBP dan pajak yang kenaikan positif, bisa untuk menambah subsidi BBM. itu tergantung sekali dengan political will," kata Nailul.
Baca Juga: Dampak Naiknya Subdisi Energi, Banggar DPR Setujui APBN 2022 Jadi Rp3.106 Triliun
Baca Juga: Kemendagri Minta Kepala Daerah Intensif Monitor Stabilitas Harga Pangan dan Energi
Selain itu, ada opsi re-alokasi anggaran untuk bisa menambal beban subsidi. "Misalnya anggaran yang kurang urgent, seperti food estate, IKN, infrastruktur kereta cepat, yang bisa jadi tambalan," tegas Nailul.***
Editor | : | Muhammad Dzulfiqar |
Kategori | : | Ekonomi, Nasional, DKI Jakarta |