Terpopuler 24 Jam Terakhir
1
5 Rekomendasi Sepatu Puma di Blibli
Umum
10 jam yang lalu
5 Rekomendasi Sepatu Puma di Blibli
2
Munir Arysad Minta Rekrutmen PJLP dan TA Prioritaskan Warga Jakarta
Pemerintahan
1 jam yang lalu
Munir Arysad Minta Rekrutmen PJLP dan TA Prioritaskan Warga Jakarta
3
Komisi B DPRD DKI Bahas Pra RKPD Tahun 2025
Umum
1 jam yang lalu
Komisi B DPRD DKI Bahas Pra RKPD Tahun 2025
Home  /  Berita  /  Ekonomi

Tiba-tiba Vivo Naikkan Harga BBM, Revvo 89 Jadi Rp10.900 per Liter, Ada Apa?

Tiba-tiba Vivo Naikkan Harga BBM, Revvo 89 Jadi Rp10.900 per Liter, Ada Apa?
Antrean warga di SPBU Vivo. (Foto: Istimewa)
Selasa, 06 September 2022 13:04 WIB
Penulis: Muslikhin Effendy

JAKARTA - Menyusul kenaikan harga Bahan Bakar Minyak atau BBM subsidi di SPBU Pertamina, SPBU Vivo milik PT Vivo Energy Indonesia sempat diserbu warga karena dianggap menjual BBM sekelas Pertalite dengan harga lebih murah.

Namun sejak Senin (5/9/2022) sekitar pukul 17.00 WIB, tiba-tiba SPBU Vivo juga menaikkan harga BBM jenis Revvo 89 menjadi Rp10.900 per liter. Dari pantauan disalah satu SPBU Vivo, harga yang tertera papan display digital telah berganti menjadi harga terbaru Rp10.900 dari sebelumnya Rp8.900 per liter.

Dengan penyesuaian harga tersebut, antrean pembeli yang sebelumnya mengular juga berangsur normal bahkan cenderung sepi. Selain itu, BBM jenis Revvo 92 mengalami penyesuaian harga, yang semula dijual Rp17.250 per liter menjadi Rp15.400 per liter.

Sedangkan BBM jenis Revvo 95 awalnya dijual Rp18.250 per liter sekarang menjadi Rp16.100 per liter. Sebelumnya, SPBU Vivo menjadi ramai karena menjual BBM dengan harga yang lebih murah dibanding harga Pertalite di SPBU Pertamina yang dibanderol Rp10.000 per liter sejak Sabtu (3/9/2022).

Tak ayal, masyarakat lantas menyerbu SPBU Vivo bahkan rela mengular dalam antrean panjang demi mendapatkan BBM yang lebih murah. Sebagai informasi, SPBU Vivo merupakan perusahaan sektor hilir minyak dan gas bumi yang masuk ke pasar pompa bensin dalam negeri pada 2017. Awalnya perusahaan tersebut bernama PT Nusantara Energi Plant Indonesia (NEPI).

Perseroan Terbatas ini merupakan anak usaha Vitol Group yang berbasis di Swiss. Perusahaan tersebut didirikan di Rotterdam pada 1966 dan merupakan pemegang saham terbesar Vivo Indonesia. Selain di Indonesia, perusahaan ini juga telah beroperasi di Singapura, Belanda, London, Afrika dan Australia.

Sebelumnya, Pemerintah melalui Kementerian ESDM dikabarkan meminta SPBU Vivo menurunkan harga RON 89 yang selisih satu oktan dibandingkan Pertalite. Adapun SPBU Vivo menjual RON 89 dengan Rp 8.900 per liter lebih murah dibandingkan Pertalite Rp10.000 per liter.

Pengamat hukum kepailitan Hendra Setiawan Boen menilai permintaan tersebut tidak tepat karena SPBU swasta di Indonesia memperhitungkan harga jual BBM-nya berdasarkan mekanisme pasar, yakni harga minyak mentah dunia dan berdasarkan pertimbangan dan keputusan bisnis masing-masing perusahaan. "Lucunya pemerintah, malah meminta SPBU swasta tersebut menaikkan harga BBM mereka. Bukankah pemerintah seharusnya senang bila masyarakat mengkonsumsi BBM lebih murah dari SPBU swasta karena tidak membebani alokasi subsidi dalam APBN," ujar dia, di Jakarta, Senin (5/9/2022).

Hendra pun mempertanyakan alasan Kementerian ESDM meminta menaikkan harga yaitu mengikuti harga pasar padahal harga minyak dunia sedang turun dan ada SPBU swasta, yakni Vivo bisa menjual BBM di harga Rp 8.900 per liter. "Jadi sebelum pemerintah menaikan BBM, bukankah lebih baik jalur produksi dan distribusi diperbaiki serta mengurangi biaya-biaya yang tidak perlu?," tandas dia.

Tidak hanya itu, alasan pemerintah berencana membatasi pembelian BBM karena dikonsumsi mobil mewah dan orang kaya juga dipertanyakan, lantaran akan melarang mobil 1.400 cc ke atas yang sebelumnya 1.500 CC. "Hanya karena orang punya mobil bukan berarti dia orang kaya. Akibatnya orang dengan mobil seperti Avanza dan lainnya, tidak bisa membeli BBM subsidi padahal driver Grab dan Gocar rata-rata memakai mobil Avanza sehingga tidak logis," kata dia.

Di sisi lain, dampak kenaikan harga BBM, selain menurunkan daya beli masyarakat, kenaikan harga Pertalite menjadi Rp 10.000 per liter dan rencana pembatasan pembelian BBM oleh pemerintah akan membebani distribusi semua sektor usaha terutama rantai makanan dan transportasi public sehingga otomatis menaikan barang-barang tersebut sebesar 30%. Akibatnya masyarakat akan semakin mengencangkan ikat pinggang terhadap barang yang dianggap non-esensial padahal ekonomi Indonesia selama ini ditopang oleh konsumsi masyarakat.

"Karena itu saya melihat BLT pemerintah sebesar Rp 600.000 per liter sebagai bantalan sosial kepada masyarakat tidak dapat menutup tambahan pengeluaran akibat kenaikan BBM dan barang-barang tersebut," ujar Hendra.

Hendra melanjutkan, kenaikan harga barang-barang tersebut sangat memberatkan masyarakat padahal ekonomi mulai pulih setelah dihantam pandemi dua tahun terakhir. Dampak lain, menurut Hendra, adalah para pekerja akan meminta kenaikan upah untuk menyesuaikan dengan biaya hidup, yang membebani arus kas perusahaan-perusahaan sehingga berpotensi terjadi PHK besar-besaran.

Perusahaan yang arus kas perusahaan macet juga berpotensi diajukan pailit atau PKPU oleh kreditur bila pembayaran utang mereka tidak lancar. "Belum lagi dampak keamanan dan ketertiban soSial akibat demo-demo masyarakat yang mulai bermunculan," kata dia.***

wwwwwwhttps://143.198.234.52/sonic77https://159.223.193.153/https://64.23.207.118/http://152.42.220.57/