Hadapi Dampak Krisis Ekonomi Global, Indef Dorong Pemerintah Lakukan Dua Hal Ini
"Pemerintah harusnya dengan stimulus fiskal. Bantalan subsidi pasti harus diperlukan," kata Tauhid sebagaimana dikutip GoNEWS.co.
Baca Juga: Peneliti Dukung Pemerintah Capai Proyeksi Nilai Ekonomi Bisnis Digital bersama Kaum Muda
Baca Juga: Pemulihan Ekonomi Dibayangi Inflasi dan Faktor Eksternal
Sebelumnya, pemerintah telah mengeluarkan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 500/4825/SJ tentang Penggunaan Belanja Tidak Terduga Dalam Rangka Pengendalian Inflasi Daerah untuk menjaga keterjangkauan harga dan daya beli masyarakat.
Pemerintah mengeluarkan kebijakan belanja wajib perlindungan sosial sebesar 2 persen dari Dana Transfer Umum yang terdiri dari Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Bagi Hasil (DBH). Kebijakan itu tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 134/PMK.07/2022 tentang Belanja Wajib dalam Rangka Penanganan Dampak Inflasi Tahun Anggaran 2022 yang ditetapkan tanggal 5 September 2022. Total alokasi dana mencapai Rp2,17 triliun.
Baca Juga: Ekomon Optimis UU PDP Tumbuhkan Ekonomi Digital, Tapi Butuh Badan Pengawas Data
Baca Juga: Pemerintah: Ekonomi Indonesia Terus Tumbuh
Selain kebijakan fiskal dalam bentuk bantalan sosial, pemerintah juga patut memperhatikan suku bunga acuan. Menurut Tauhid, upaya Bank Sental AS dalam menaikkan suku bunga guna menekan angka inflasi yang mencapai 8,5% juga membawa dampak pada Indonesia.
"Untuk mengatasi terjadinya inflasi yang tinggi di Amerika, sekitar 8,5%, The Fed akan menaikkan suku bunga bahkan hampir sampai 4% lebih. Dampaknya adalah akan terjadi capital outflow terbesar. Ini ancamannya nilai tukar rupiah kita juga akan semakin melemah," tegasnya.
Baca Juga: Jokowi Senang Airlangga Maju Pilpres, Pengamat: Kinerja Ekonomi Jadi Alasan
Baca Juga: Masuki Endemi, Ekonomi Digital Diyakini Makin Kuat
Merespons kebijakan The Fed dan kondisi global, Tauhid menyarankan pemerintah memberlakukan kebijakan moneter secara bertahap dalam menaikkan suku bunga. Beberapa saat lalu, Bank Indonesia (BI) telah menaikkan suku bunga acuan (BI Rate) menjadi 4,25%.
"Apa yang dilakukan? Mau tidak mau Indonesia harus meningkatkan suku bunga BI Rate, kemarin kan 4,25%. Kemungkinan juga akan naik lagi. Memang dampaknya pasti suku bunga perbankan juga akan naik sampai 3-6 bulan ke depan," tuturnya.
Baca Juga: Pembangunan Infrastruktur Dukung Pertumbuhan Ekonomi, Pemerintah Pastikan Percepatan
Baca Juga: Antisipasi Guncangan Ekonomi, Pemerintah Diminta Perkuat Pendekatan Countercyclical
Tauhid mengungkapkan, kenaikan suku bunga acuan akan diikuti oleh cost of fund pada sektor riil akan ikut terdongkrak. Hal itu akan menggangu para pelaku usaha. Mereka tidak bisa leluasa ekspansi ketika suku bunga terlalu tinggi. Oleh sebab itu, Tauhid menyarankan pemerintah tidak menaikkan BI Rate secara mendadak, tetapi melakukan revisi secara bertahap.
"Karena itu kenaikan suku bunga harus secara bertahap. Sehingga para pelaku usaha bisa menyesuaikan diri. Itu harus dilakukan. Dampaknya juga suku bunga sektor riil. Mau tidak mau pemerintah harus bisa mengomunikasikan ke perbankan agar relatif jangan terlalu cepat juga menaikkan suku bunga, agar sektor riil bisa menyesuaikan," pungkasnya.
Baca Juga: DPR Dorong Kerajaan dan Kesultanan Perkuat Ekonomi Kreatif
Baca Juga: Energy Watch Apresiasi Menko Perekonomian Dukung Kendaraan Listrik
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengungkapkan, kebijakan bank sentral di seluruh dunia dalam menaikkan suku bunga secara agresif adalah upaya meredam inflasi yang sudah terlalu tinggi.
Saat ini, sejumlah negara menghadapi risiko ledakan inflasi karena meningkatnya harga komoditas pangan hingga energi. "Inflasi menjadi musuh terbesar dunia sekarang," tegas Ketua Umum Golkar itu.***
Editor | : | Muhammad Dzulfiqar |
Kategori | : | Ekonomi, Nasional, DKI Jakarta |