Terpopuler 24 Jam Terakhir
1
Aditya Bagus Arfan Tuntaskan Misi di Pertamina Indonesian Grand Master Tournament 2024
Olahraga
17 jam yang lalu
Aditya Bagus Arfan Tuntaskan Misi di Pertamina Indonesian Grand Master Tournament 2024
2
Digosipkan Pacari Putri Zulkifli Hasan, Venna Melinda Dukung Verrel Bramasta
Umum
14 jam yang lalu
Digosipkan Pacari Putri Zulkifli Hasan, Venna Melinda Dukung Verrel Bramasta
3
Tom Holland dan Zendaya Rahasiakan Persiapkan Pernikahan
Umum
14 jam yang lalu
Tom Holland dan Zendaya Rahasiakan Persiapkan Pernikahan
4
Kadis Nakertransgi: Pemprov DKI Berkomitmen Tingkatkan Kesejahteraan Pekerja
Pemerintahan
17 jam yang lalu
Kadis Nakertransgi: Pemprov DKI Berkomitmen Tingkatkan Kesejahteraan Pekerja
5
Prilly Latuconsina Bikin Film Horor 'Temurun' Jadi Ajang Fun Run
Umum
14 jam yang lalu
Prilly Latuconsina Bikin Film Horor Temurun Jadi Ajang Fun Run
Home  /  Berita  /  Ekonomi

Akademisi: Pembatasan BBM Bersubsidi Lebih Rasional Jaga Daya Beli Rakyat

Akademisi: Pembatasan BBM Bersubsidi Lebih Rasional Jaga Daya Beli Rakyat
Ilustrasi subsidi bahan bakar minyak (bbm). (foto: ist.)
Rabu, 24 Agustus 2022 18:49 WIB
JAKARTA - Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah dalam suatu keterangan, Rabu (24/8/2022), menyatakan, seharusnya pemerintah memilih opsi pembatasan ketimbang penaikan harga BBM subsidi. Hal itu disampaikan Trubus menanggapi sejumlah opsi yang disiapkan pemerintah terkait dengan kebijakan BBM bersubsidi.

"Kalau saya, pilihan pemerintah pada pembatasan saja, tidak menaikkan. Karena kalau menaikkan dampaknya ke inflasi. Inflasi kita sudah 4,9% sekarang. Ini 4,9% karena pemerintah mengeluarkan kebijakan menaikkan Ojol berpengaruh (inflasi) naik jadi 4,9%. Kalau BBM itu naik bisa jadi 8% nanti," kata Trubus sebagaimana dikutip GoNEWS.co.

Baca Juga: Pengamat: Pembatasan Pertalite Khusus Motor dan Angkutan Umum Bisa Hemat 60% Konsumsi BBM 

Baca Juga: Menteri Jokowi Diminta Tak Bikin Gaduh Terkait Wacana Kenaikan BBM 

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan akan segera melaporkan skema alternatif harga bahan bakar minyak (BBM) ke Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Pertama, pemerintah menaikkan subsidi sampai mendekati Rp700 triliun dengan risiko semakin membebani fiskal. Kedua, pengendalian volume konsumsi BBM bersubsi jenis Pertalite dan Solar dengan menentukan kategori yang berhak mengkonsumsi BBM bersubsidi. Ketiga, menaikkan harga BBM bersubsidi.

Baca Juga: Pembatasan BBM Bersubsidi Dinilai Lebih Tepat Ketimbang Naikkan Harga BBM 

Baca Juga: Atasi Kenaikan BBM, PKS Minta Pemerintah Tingkatkan Target Lifting 

Hal itu didasari atas sejumlah pertimbangan, terutama soal inflasi. Menurut Trubus, kebijakan pemerintah dalam penaikan tarif ojek daring atau ojol hingga 30% pada akhir bulan ini turut menyebabkan kenaikan inflasi. Kebijakan itu tertuang dalam Keputusan Menteri (KM) Perhubungan Nomor KP 564 Tahun 2022 Tentang Pedoman Perhitungan Biaya Jasa Penggunaan Sepeda Motor.

Alokasi volume subsidi BBM jenis Pertalite dan Solar diperkirakan habis pada Oktober 2022, sehingga akan membengkak sampai 29 juta kiloliter hingga akhir tahun. Harga BBM bersubsidi berpeluang naik untuk mengantisipasi naikknya anggaran subsidi energi hingga Rp700 triliun dari Rp502 triliun.

Baca Juga: Jurus Andalan, Puan Ngaku Kaget Harga BBM Bersubsidi Bakal Naik: Ya Ampun 

Baca Juga: Cadangan BBM Subsidi Menipis, PKS Minta Perketat Pengawasan 

Trubus mengungkapkan pemerintah patut menghindari memilih opsi penaikan BBM subsidi. Trubus mengungkapkan kekhawatiran jika pemerintah memilih opsi penaikan BBM subsidi. Hal itu dinilainya bisa memunculkan ketidakpercayaan publik terhadap pemerintah.

"Saya khawatir dampak lanjutannya terjadi public distrust. Situasi sosial-politik jadi kacau. Karena ini ekonomi nanti jadi politik, itu repotnya. Karena ini menjelang 2024, partai-partai akan berlomba untuk mencari massa dengan memanfaatkan kenaikan BBM. Jadi pemerintah harus prudent," ujarnya.

Baca Juga: BLT Lebih Tepat Ketimbang Subsidi BBM, Menurut Indef 

Baca Juga: Solar Langka, Polda Riau Tangkap 18 Penimbun BBM Subsidi 

Trubus berpandangan pemerintah perlu membuat kebijakan bersifat khusus dengan memberikan memberikan langsung pada masyarakat yang terdampak.
"Jadi maksud saya masyarakat kategori miskin yang ada di DTKS. Itu saja dulu," tambahnya.

Selain itu, pembatasan konsumsi BBM subsidi juga diterapkan pada kendaraan dengan kategori sektor esensial dan non-esensial. Seperti transportasi publik, kendaraan logistik, sepeda motor di bawah 150 cc, dan mobil berkapasitas mesin 1.000 cc.

Baca Juga: Di Depan Ratusan Konstituennya, Misbakhun Puji Keputusan Jokowi Pertahankan Subsidi BBM 

Baca Juga: CORE Indonesia: Kurangi Beban APBN Harus dengan Benahi Mekanisme Penyaluran Subsidi 

"Menurut saya semua mobil dialihkan ke Pertamax. Kalau mau subsidi yang 1.000 cc. Jadi saya tidak setuju dengan My Pertamina, tambah rumit itu. Kasihan orang yang tidak tahu," tegasnya.

Trubus mengajukan skema lain agar pemerintah bisa menyelamatkan keuangan negara tanpa membebani masyarakat kecil. Ia menyarankan pemerintah membeli minyak dengan harga murah, menunda proyek ambisius, dan mengefisiensikan anggaran birokrasi.

Baca Juga: Pengamat: Pembatasan Pertalite Khusus Motor dan Angkutan Umum Bisa Hemat 60% Konsumsi BBM 

Baca Juga: DPR Desak Pertamina Transparan soal Stok Pertalite 

"Ada cara lain yaitu pemerintah harus mencari sumber penghasilan lain, misal membeli minyak dari Rusia. Kan ada diskon 30%. Pemerintah menunda dulu proyek ambisius, PSN yang ambisius. IKN kan belum urgen, infrastruktur yang kira-kira tidak strategis dicoret dulu, ditunda. Efisiensi di birokrasi, jadi misalnya anggaran-anggaran yang tidak perlu, pejabat negara yang suka jalan-jalan, itu dipangkas semua," tambahnya.

Trubus berharap pemerintah saat ini memberi perhatian lebih pada upaya menjaga daya beli masyarakat dan mempertahankan kestabilan harga.

Baca Juga: Puan Ingatkan Pemerintah Siapkan Rencana Cadangan Hadapi Krisis Pertalite 

Baca Juga: Ini Jenis Mobil Mesin 2.000 Cc ke Atas yang 'Haram' Sedot Pertalite 

"Pemerintah fokus saja menjaga kestabilan harga dengan memberikan insentif pada masyarakat untuk bisa menjangkau harga-harga," pungkasnya.


Inflasi Terkendali

Sementara itu, Ekonom Bank Mandiri, Faisal Rahman mengatakan opsi untuk menaikkan harga BBM secara berkala dinilai tidak efisien.

Baca Juga: Anda Pemilik Motor Jenis Ini? Siap-siap Enggak Bisa Lagi Gunakan BBM Pertalite 

Baca Juga: Ingat, Mulai 1 Juli, Beli Pertalite dan Solar Wajib Daftar Aplikasi MyPertamina 

"Kalau berkala tapi ujungnya tetap akan ke 10 ribu maka dampak inflasi diujung tahun ya akan tetap sama ya. Mungkin sedikit lebih rendah karena dampak second round-nya tidak sebesar kalo langsung dinaikan ke 10ribu," katanya.

Dalam proyeksi Office of Economist Bank Indonesia, jika pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi Pertalite ke Rp10.000 dan Solar ke Rp8.500, potensi kenaikan inflasi hanya berada di 6%.

Baca Juga: Dana Subsidi Ditambah, Menteri Erick Sebut Harga Pertalite Hingga LPG 3 Kg Batal Naik 

Baca Juga: Kata Ahok, Pertamina Belum Berencana Naikkan Pertalite dan Elpiji 3Kg 

Lalu dengan kenaikan harga BBM, potensi minus pertumbuhan ekonomi hanya -0.17%. Bank Mandiri masih optimis, meski masih ada sejumlah tantangan misalnya geo politik, potensi kenaikan harga BBM bersubsidi, namun proyeksi pertumbuhan di 2022 disebut masih mampu tumbuh diatas 5%.

"Jadi ini memang pelonggaran PPKM yang meningkatkan mobilitas publik serta kinerja ekspor yang baik karena masih tingginya harga-harga komoditas masih mampu menopang pertumbuhan. Tetapi kalau BBM harganya dinaikkan pasti ada dampaknya ke growth. Namun secara net momentum pertumbuhan ekonomi 2022 masih lebih baik," ungkap Faisal.***

Editor:Muhammad Dzulfiqar
Kategori:Ekonomi, Nasional, DKI Jakarta
wwwwwwhttps://143.198.234.52/sonic77https://159.223.193.153/https://64.23.207.118/http://152.42.220.57/